Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Dua hari kemudian
Malam itu langit kota tampak kelabu. Hujan turun pelan, membasahi kaca jendela rumah sakit dan menimbulkan gemericik yang samar. Lampu-lampu jalan di luar memantulkan cahaya kekuningan ke dinding kamar tempat Arum duduk sendirian.
Revano sudah tertidur pulas, nafas bocah itu tenang, meskipun infus masih menempel di tangannya yang mungil. Arum menatap anak itu lama sekali, seolah ingin menanamkan bayangannya dalam ingatan. Setiap kali ia menatap wajah itu, ia merasa nyeri dan bersyukur bersamaan, nyeri karena harus terus berjuang, dan bersyukur karena anak itu masih hidup.
Suara ketukan lembut terdengar dari pintu. Arum mengira itu Gavin, tapi langkah yang masuk terlalu berat, terlalu hati-hati. Ketika ia menoleh, di sana berdiri Reghan, mengenakan kemeja hitam dan mantel panjang. Rambutnya sedikit basah oleh hujan, namun matanya, mata yang dulu selalu ia hindari menatapnya lembut tapi penuh tekanan.
Arum langsung berdiri, tubuhnya menegang.
“Aku sudah bilang, jangan muncul lagi di hadapan aku,” ucapnya lirih tapi tegas.
Reghan tidak menjawab. Ia hanya memandang Arum beberapa detik, lalu menatap ke arah tempat tidur kecil di belakang wanita itu. “Aku cuma mau lihat dia sebentar. Aku janji nggak akan ganggu.”
Arum hendak menolak, tapi tatapan Reghan melembut ketika ia melangkah mendekat ke sisi ranjang. Ia menatap Revano dengan tangan bergetar.
“Dia … mirip banget waktu aku kecil,” gumamnya pelan.
Arum menahan napas, suaranya pecah, “Karena dia anak kamu.”
Suasana hening, yang terdengar hanya detak mesin monitor dan bunyi hujan di luar.
Reghan menunduk, mengatur napasnya. “Aku tahu … aku udah dengar semuanya dari dokter. Tentang donor, tentang kondisi kamu. Dan … tentang kemungkinan terakhir itu.”
Nada suaranya menekan di akhir kalimat.
Arum langsung menatapnya dengan marah. “Jangan bawa-bawa hal itu lagi, Reghan. Aku nggak mau dengar.”
“Arum...”
“Aku bilang aku nggak mau dengar!” potongnya keras, matanya berair. “Aku nggak mau kamu campur tangan lagi. Aku udah cukup dihancurin dulu, dan aku nggak mau Revano lihat aku jatuh lagi karena kamu.”
Reghan menarik napas panjang, menatapnya dengan sorot mata yang hancur tapi penuh tekad.
“Kalau waktu bisa diulang, aku rela ambil semua rasa sakit kamu, semua cambuk, semua air mata itu, asal bukan kamu yang ngalamin. Tapi sekarang cuma ada satu cara buat aku nebus semuanya. Aku rela, Arum.”
Arum menatapnya dengan bingung dan marah bersamaan. “Rela apa? Rela ngulangin luka itu lagi? Rela bikin aku ngelahirkan anak cuma buat nyelametin anak yang lain? Kamu pikir itu gampang buat aku?!”
Reghan mendekat, suaranya menurun tapi tajam, penuh luka.
“Kalau itu bisa nyelametin Revano, aku akan lakukan, Arum. Aku nggak peduli dengan apa pun meskipun kamu akan tetap membenci aku,"
Arum menatapnya, air matanya jatuh deras.
Dia tak tahu harus menampar Reghan atau memeluknya.
"Apa tidak ada salahnya untuk mencoba memiliki bayi lagi, Arum? Mungkin itu bisa menye..."
Plak!
Dan pada akhirnya tangannya bergerak refleks, suara tamparan memecah hening ruangan. Reghan tidak menghindar, dia menatap Arum dengan rahang yang mengeras.
“Jangan pernah ngomong hal itu lagi, Reghan,” ucap Arum dengan suara parau. “Aku bukan perempuan yang bisa kamu atur sesuka hati demi menebus dosa kamu. Kalau Tuhan mau ambil Revano, aku akan biarkan. Tapi aku nggak akan jual diriku sendiri lagi atas nama penebusan.”
Dia berbalik memeluk dirinya menghadap ke arah jendela. Reghan berdiri diam beberapa detik, menatap punggung Arum yang bergetar. Ia ingin mendekat, tapi kakinya berat, hatinya seperti diremas.
“Aku cuma mau kamu tahu satu hal,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar, “aku nggak pernah berhenti mencintai kamu, Arum. Bahkan di saat kamu paling benci sama aku.”
Arum tidak menjawab, hanya isak tangis yang terdengar, melebur dengan suara hujan di luar. Reghan menatapnya sekali lagi sebelum berbalik meninggalkan ruangan.
Di luar, Gavin berdiri di ujung koridor. Tatapannya tajam dan dingin, menahan emosi yang jelas membuncah.
“Kalau Anda benar-benar cinta sama dia,” kata Gavin rendah namun menusuk, “jangan siksa dia lagi dengan masa lalu yang sama.”
Reghan berhenti sejenak, lalu menatap lurus ke depan tanpa menoleh.
“Kalau cinta artinya harus kehilangan diri sendiri untuk dia hidup … maka aku siap, Dok.”
Dan ia melangkah pergi, meninggalkan jejak air hujan dan kesedihan di lantai rumah sakit.
Pagi itu, suasana di ruang rawat Revano terasa begitu tegang. Arum duduk di sisi ranjang anaknya, menggenggam tangan mungil yang masih lemah dengan selang infus menempel di punggungnya. Ia menatap wajah pucat Revano yang tampak tidur pulas, sementara mesin di samping tempat tidur berdentang pelan memantau detak jantung.
Pintu terbuka perlahan, seorang perawat masuk dengan berkas di tangan dan wajah yang tampak gugup. Dia sempat menatap Arum beberapa detik sebelum akhirnya berkata dengan nada canggung,
“Bu Arum … sebentar lagi Revano akan dipindahkan ke ruang operasi. Pendonornya sudah siap.”
Kepala Arum spontan terangkat. “Pendonor?” tanyanya cepat, suaranya parau karena belum makan dan belum tidur semalaman. “Siapa?”
Perawat itu diam, dia menunduk, menggigit bibir, seperti mencari kata yang aman untuk diucapkan.
“Saya ... saya tidak tahu pasti, Bu. Tapi dokter bilang pendonornya sudah dalam proses persiapan. Kami akan segera membawa Revano ke sana.”
Arum berdiri, mendekat cepat hingga perawat itu mundur setengah langkah.
“Kamu pasti tahu siapa orangnya! Katakan!” serunya, nadanya meninggi.
Perawat itu semakin panik, jemarinya mencengkeram map berisi dokumen. “Maaf, Bu, saya tidak bisa...”
“Katakan sekarang!” bentak Arum. “Aku ibunya! Aku berhak tahu siapa yang menjadi pendonor untuk anakku!”
Suara Arum menggema di ruangan itu. Beberapa perawat lain yang lewat di koridor menoleh, tapi tak berani masuk.
Gavin muncul, wajahnya tegang, napasnya agak tersengal. Ia memandang Arum dengan tatapan ragu sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan tapi jelas,
“Tuan Reghan ... Tuan Reghan yang menjadi pendonor,”
Arum mematung di tempatnya, tubuhnya terasa ringan seolah separuh jiwanya tertarik keluar.
“Apa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Gavin menelan ludah, menatap Arum dalam-dalam.
“Tuan Reghan yang jadi pendonor, Arum. Dia udah di ruang operasi sekarang.”
Bunyi monitor jantung di samping Revano terus berdentang, tapi bagi Arum, suara itu seolah menghilang. Ia menatap kosong ke arah Gavin beberapa detik sebelum tiba-tiba menjerit dan berlari keluar ruangan.
“Tidak! Tidak mungkin! Dia nggak boleh lakukan itu! Reghan..."
Gavin berusaha mengejar, tapi Arum sudah lebih dulu berlari melewati koridor rumah sakit dengan rambut berantakan dan langkah tergesa, menabrak troli perawat, menyingkirkan siapa pun yang mencoba menghentikannya.
“Bu! Tidak boleh masuk ke area steril!” teriak seorang suster.
Namun Arum tak mendengar. Suara darahnya sendiri bergemuruh di telinga, dan satu-satunya yang bisa ia pikirkan hanya menghentikan Reghan.
Di ujung lorong, lampu merah di atas pintu bertuliskan operasi sedang berlangsung, menyala terang. Dua perawat jaga berusaha menghadang Arum, tapi wanita itu berteriak histeris sambil memukul pintu logam berkali-kali.
“Reghan! Jangan lakuin ini! Aku nggak mau! Kamu denger nggak?!”
Gavin akhirnya berhasil menyusul dan menarik tubuh Arum ke belakang, tapi wanita itu meronta hebat dalam pelukannya, menangis sampai suaranya pecah.
“Dia udah cukup menderita, Gavin! Aku nggak mau dia mati buat anakku! Aku nggak mau kehilangan dia!”
Akhirnya, Gavin sadar satu hal. Alasan dia tak pernah bisa berada di hati Arum, karena wanita ini masih mencintai Reghan.
Pintu operasi tetap tertutup. Dari balik kaca kecil, Arum bisa melihat sekilas wajah Reghan di atas meja operasi, pucat, tubuhnya sudah diselimuti kain biru, dan alat-alat medis menempel di sekujur tubuhnya. Air mata Arum jatuh deras tanpa henti.
“Reghan ... jangan lakukan itu. Aku mohon, jangan…”
Suara mesin di dalam ruangan terus berbunyi pelan, seirama dengan doa yang tak berhenti keluar dari bibir Arum, penuh panik, cinta, dan ketakutan kehilangan yang tak terukur. Ketika dua perawat mendorong ranjang Revano masuk ke dalam, tubuh Arum lunglai napasnya tercekat, dan kemudian dia terjatuh.
"Arum," bisik Gavin pelan.
atw.biselawan keluarga suami my
simak.seru baca ny
athor.
cuma diawal bab sampai hampir 1/3 ke belakang ada bagian yang seperti hilang ketika pindah settingnya ataupun pindah hari.jadi seperti Tidak menyatu kayak terkotak2 gitu jadi kadang bacanya sambil mikir.sama pengulangan tentang luka yang bikin agak ngebosenin.kalau ide ceritanya dan alurnya sudah mantul thor
terus semangat berkarya thor 🥰🥰🥰🥰🥰