Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersedia kah kamu...
…suamimu.”
Keheningan yang mengikuti dua kata itu jauh lebih memekakkan daripada alarm darurat yang pernah meraung di kamar ini. Suara monitor EKG Gilang, yang biasanya menjadi latar denyut kehidupan, kini terasa seperti hitung mundur yang kejam. Lila membeku di tempatnya, botol air mineral di tangannya nyaris terlepas. Otaknya mencoba memproses, merangkai kalimat terakhir Angkasa dari babak sebelumnya dengan sambungan yang baru saja diucapkan, tetapi hasilnya terlalu absurd, terlalu menyakitkan untuk diterima.
“Apa?” bisik Lila, suaranya seperti embusan napas yang rapuh.
“Mas… kamu ngomong apa?”
Gilang, yang sedari tadi menunduk dalam isak tangisnya, mengangkat kepala dengan bingung. Matanya yang merah beralih dari Angkasa ke kakaknya, mencoba memahami percakapan orang dewasa yang tiba-tiba melesat ke dimensi lain.
“Suami?” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Angkasa tidak mengalihkan pandangannya dari Lila. Ada ketenangan baru di matanya, kedamaian yang lahir dari penerimaan total, yang justru membuat Lila semakin takut.
“Aku mau seminggu ini nyata, La. Bukan sebagai pasien dan perawat. Bukan sebagai dua orang yang terperangkap takdir. Aku mau kita menjalaninya sebagai suami dan istri.”
Lila menggeleng pelan, sebuah penolakan refleksif.
“Jangan gila, Mas. Kamu lagi sakit. Kita semua lagi… lagi kacau.”
“Justru karena aku sakit. Justru karena waktuku tinggal seminggu,” balas Angkasa lembut, tetapi nadanya tak tergoyahkan.
“Aku nggak mau pergi sebagai Angkasa si anak panti, si penderita anemia aplastik. Jika aku pergi, aku mau pergi sebagai suamimu.”
Melihat wajah Gilang yang semakin pucat dan bingung, Angkasa mengalihkan perhatiannya. Ia menepuk pundak remaja itu.
“Lang, maafin gue, ya. Obrolan berat di waktu yang nggak tepat.”
Gilang buru-buru mengusap sisa air matanya.
“Nggak, Kak. Gue… gue yang salah. Harusnya gue nggak ngeluh kayak tadi. Bikin suasana jadi aneh.” Ia menatap Angkasa dengan rasa bersalah yang mendalam.
“Lo mau operasi besar, tapi gue malah cengeng mikirin diri sendiri. Gue emang beban, ya?”
“Hus, jangan ngomong gitu,” sela Angkasa cepat, suaranya kembali hangat.
“Lo dengerin gue baik-baik. Lo sama sekali bukan beban. Dan lo bukan cuma penonton di cerita hidup orang lain.”
Angkasa menarik napas, napas yang terdengar dangkal dan berat.
“Gue tahu persis rasanya jadi penonton, Lang. Rasanya nonton orang lain punya keluarga, nonton orang lain bahagia, sementara kita cuma bisa nempel di kaca jendela, kedinginan di luar.”
Lila menatap Angkasa, tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ini adalah luka yang jarang sekali Angkasa sentuh.
“Waktu gue umur delapan belas,” lanjut Angkasa, matanya menerawang, seolah melihat film lama yang diputar di dinding kamar rumah sakit.
“Gue harus keluar dari panti. Aturannya begitu. Gue dikasih sedikit pesangon, cukup buat sewa kamar kos sempit selama sebulan, sisanya buat makan mi instan.”
Sebuah jeda hening menyelimuti mereka. Gilang mendengarkan dengan saksama, melupakan sejenak kesedihannya sendiri.
“Gue sendirian, Lang. Bener-bener sendirian. Nggak ada kakak, nggak ada siapa-siapa. Malam pertama di kamar kos itu, gue cuma bisa nangis sambil meluk ransel. Rasanya kayak gue dilempar ke tengah lautan tanpa tahu caranya berenang.” Angkasa tersenyum getir.
“Gue kira, sayap gue udah patah total sejak lama. Tapi ternyata, gue salah. Sayap itu nggak patah, cuma belum pernah dipakai. Jadi, gue harus belajar memperbaikinya sendiri.”
Lila maju selangkah, ingin menyentuh lengan Angkasa, tetapi ia menahan diri, membiarkan pria itu menyelesaikan perjalanannya.
“Gue kerja serabutan. Jadi tukang cuci piring di warteg, baunya minta ampun. Jadi kuli angkut di pasar, punggung gue rasanya mau copot tiap malam. Tangan gue yang sekarang lo lihat ini,” Angkasa mengangkat tangannya yang pucat dan penuh bekas jarum infus.
“Dulu kapalan dan lecet di mana-mana. Setiap malam gue pulang ke kamar, badan pegal semua, cuma bisa makan nasi sama garam. Gue sering mikir, buat apa ini semua? Buat apa bertahan hidup kalau hidupnya sendiri sesakit ini?”
Mata Angkasa kembali fokus, menatap lurus pada Gilang.
“Saat itu, gue cuma bertahan. Gue nggak hidup. Gue cuma memastikan gue nggak mati besok. Gue pikir, tujuan hidup gue cuma itu, bertahan. Tapi rasanya hampa, Lang. Kosong.”
Ia terdiam sejenak, mengatur napasnya yang mulai memendek. Lila dengan sigap membetulkan posisi bantal di punggungnya.
“Lalu gue sadar,” sambung Angkasa setelah berterima kasih pada Lila dengan tatapan matanya.
“Hidup ini bukan cuma soal memperbaiki sayap sendiri biar bisa terbang. Kadang… hidup ini soal membiarkan sayap kita yang sudah rapuh ini menjadi tempat berteduh buat orang lain. Hidupku yang penuh kehilangan ini, yang gue kira cuma serpihan nggak berguna, ternyata punya makna di ujungnya. Maknanya itu kamu, Lang. Maknanya itu kakakmu.”
Penerimaan diri dalam suara Angkasa begitu murni, begitu utuh, hingga menembus lapisan sinisme Gilang. Remaja itu menatap Angkasa dengan kekaguman yang meluap. Ini bukan lagi sekadar kakak angkat atau teman sekamar. Ini adalah seorang pahlawan yang berdiri di ambang pintu kematian dengan kepala tegak.
“Hidupku nggak akan sia-sia karena sebagian dari diriku akan terus hidup di dalam diri lo,” bisik Angkasa.
“Dan itu bukan pengorbanan. Itu… kehormatan. Jadi, jangan pernah lagi mikir lo itu beban. Lo itu tujuan. Lo alasan kenapa pertunjukan ini harus berakhir dengan indah.”
Air mata yang baru saja kering di pipi Gilang, kini mengalir lagi. Tapi kali ini bukan air mata putus asa, melainkan air mata pemahaman. Ia mengangguk berkali-kali, tak sanggup berkata-kata.
Dengan kedamaian yang sama, Angkasa kembali menatap Lila. Wajah wanita itu basah oleh air mata yang mengalir tanpa isak. Ia telah menjadi saksi bisu dari pengakuan jiwa yang paling dalam.
“Sekarang kamu ngerti, La?” tanya Angkasa lembut.
“Kenapa aku mau seminggu ini jadi nyata?”
Genggamannya pada jemari Lila mengerat. Lemah, tetapi sarat makna.
“Aku sudah berdamai dengan masa laluku. Aku sudah berdamai dengan kematianku. Cuma ada satu hal yang belum selesai. Satu hal yang harus aku resmikan sebelum aku pergi.”
Napas Lila tercekat di tenggorokan.
“Aku nggak bisa mengubah takdirku, tapi aku bisa memilih statusku saat menghadapinya. Aku nggak mau pergi sebagai Angkasa yang sebatang kara,” katanya, suaranya bergetar menahan emosi.
“Aku mau pergi sebagai Angkasa, suami dari Lila, wanita paling kuat dan paling hebat yang pernah aku kenal. Aku mau Gilang, secara teknis, jadi adik iparku.”
Sebuah senyum kecil yang menyayat hati tersungging di bibirnya.
“Jadi, aku tanya sekali lagi, La. Maukah kamu menikah denganku? Menjadi istriku selama tujuh hari ke depan? Memberi nama belakangmu untukku di nisan nanti?”
Permintaan itu, yang dibungkus dengan kejujuran brutal dan cinta yang begitu besar, meruntuhkan seluruh pertahanan Lila. Ini bukan kegilaan. Ini adalah permintaan terakhir yang paling logis dari seorang pria yang telah menemukan arti dari akhir hidupnya. Ia menatap dua laki-laki di hadapannya, satu yang akan menjadi masa depannya, satu lagi yang akan menjadi kenangan abadinya. Dan di antara dua kutub takdir yang sama-sama merobek jiwa itu, ia harus memilih.
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras