Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Bunga dan Pengkhianatan
Aku menghabiskan hari itu di butik Kak Naira. Aku berusaha sekeras mungkin untuk menjadi adik yang baik, membantu Naira menata busana, melayani pelanggan, dan mendengarkan keluh kesahnya. Ini adalah upaya terakhirku untuk meyakinkan diriku bahwa kesetiaan pada Kakakku jauh lebih penting daripada gairah terlarang yang ditawarkan Raka.
Namun, setiap kalimat Naira justru menjadi bumerang.
"Tadi pagi Mas Raka manis banget, ya, Lun. Sampai mau beliin bunga segala. Tumben banget," kata Naira sambil menyortir bahan kain. Wajahnya terlihat lega, seolah gesture Raka sudah menghapus semua kecurigaan semalam.
Aku tersenyum dipaksakan. "Itu bagus, Kak. Artinya Mas Raka sayang sama Kakak."
"Iya, aku tahu dia sayang. Cuma dia memang terlalu kaku. Aku senang dia mau berusaha lebih. Mungkin kamu benar, Lun, dia hanya stres berat karena kerjaan. Setelah deadline ini selesai, mungkin dia akan lebih baik."
Aku merasakan gelombang rasa bersalah yang menusuk. Naira sedang menenangkan dirinya sendiri dengan alibi yang Raka dan aku ciptakan. Bunga itu, yang sebentar lagi akan dibeli Raka, adalah simbol pengkhianatan kami.
"Semoga saja, Kak," kataku pelan.
Saat Naira berbalik untuk mengambil minuman, ponselku bergetar. Aku tahu itu bukan email, karena aku mengatur notifikasi untuk mode senyap. Aku membuka chat pribadi Raka.
Dia menggunakan aplikasi perpesanan yang jarang digunakan Naira.
Raka: Bunga akan kubeli jam 5 sore. Pesanmu sudah kubaca.
Raka: Kamu sudah memilih, Lun. Dan kamu tahu betul kenapa kamu tidak bisa melupakanku. Karena kamu juga ingin lari.
Aku mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak membanting ponsel. Kata-katanya sangat persuasif, seolah dia tahu setiap celah dalam jiwaku.
Aluna: Mas, jangan begitu. Aku takut.
Raka: Ketakutan itu wajar. Itu bumbu dalam rahasia kita. Aku ingin bertemu. Sekarang. Naira sibuk, kan?
Aku menoleh ke arah Naira, yang sedang berbicara dengan telepon.
Aluna: Aku tidak bisa, Mas. Aku di butik sama Kak Naira.
Raka: Kita tidak bisa hanya mengandalkan tengah malam lagi. Terlalu berbahaya.
Raka: Aku tunggu kamu di kafe Sebelah Butik. Sepuluh menit. Datanglah sendirian. Bilang kamu mencari udara segar.
Raka: Ini penting. Aku tidak mau bicara serius lagi di depan pintu kamarmu.
Perintah itu terasa seperti magnet yang tak tertahankan. Ini adalah undangan ke pertemuan rahasia di siang hari. Risiko yang jauh lebih besar, tetapi juga janji akan kedekatan yang lebih nyata.
Aku menatap Naira yang masih sibuk. Ini gila.
Aku memasukkan ponselku ke saku. Aku harus melakukannya.
"Kak, aku keluar sebentar, ya. Kepala pusing. Mau cari kopi di kafe sebelah," kataku cepat.
Naira menoleh, sedikit terkejut. "Tumben? Jangan lama-lama ya, nanti bantu aku packing pesanan."
"Iya, Kak."
Aku berjalan keluar butik, jantungku berdentum kencang, setiap langkah terasa seperti menjauh dari kesetiaanku.
Kafe Sebelah Butik ramai, dipenuhi pekerja kantoran.
Aku mencari Raka. Dia duduk di sudut paling tersembunyi, di balik rak buku, mengenakan jaket kulit yang menutupi kemejanya—upaya sederhana untuk berkamuflase. Di depannya, ada kopi hitam yang masih penuh.
Aku duduk di depannya, napasku terengah-engah.
"Aku cuma punya lima menit, Mas," bisikku.
Raka tersenyum, senyum yang kali ini tidak dingin, tapi hangat dan penuh perhatian. "Terima kasih sudah datang. Kamu berani, Lun."
"Kenapa Mas Raka harus bertemu sekarang?"
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku harus memastikan kamu tidak lari setelah semalam."
"Aku tidak lari," kataku, meski seluruh tubuhku ingin berbalik.
"Bagus. Karena aku punya solusi untuk masalah kita."
Aku menatapnya tajam. "Masalah apa? Aku tidak punya masalah dengan Mas Raka."
"Masalah jarak, Lun. Masalah waktu. Kita tidak bisa hanya bicara sebentar-sebentar."
Raka mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar kartu. Itu adalah kartu akses parkir.
"Ini adalah kartu akses parkir kantor baruku, di lantai basement P3. Ada mobil pribadiku di sana yang jarang ku pakai. Mobil itu kedap suara, dan di jam kerja, basement itu sepi."
Aku menatap kartu itu, ketakutan menjalari tulangku. Ini adalah undangan untuk bertemu secara fisik, di tempat yang sunyi.
"Mas Raka, ini..."
"Aku tidak memintamu melakukan hal yang tidak kamu mau, Lun," potong Raka, nadanya melembut. "Aku hanya meminta waktu yang tidak akan dicuri Naira. Tempat di mana kita bisa bicara tanpa alibi kunci mobil atau air minum."
Dia mendorong kartu itu ke depanku. "Pikirkan baik-baik. Kalau kamu setuju, nanti malam saat Naira tidur, kirim chat dengan emoticon kunci."
Dia bangkit. "Waktumu habis. Kembali ke butik sebelum Naira curiga. Aku akan membelikan bunga sekarang."
Raka menyentuh pundakku sekilas, sentuhan yang sama cepatnya dengan pagi tadi, lalu berjalan pergi, meninggalkan aku dengan kartu akses di atas meja.
Aku mematung di kafe itu. Kartu di tanganku terasa dingin dan berat. Itu bukan hanya kunci parkir; itu adalah kunci menuju rahasia yang jauh lebih gelap.
Aku kembali ke butik, membawa serta rasa cemas yang tak terkira. Aku melihat Naira, yang tersenyum padaku. Dia tidak tahu. Dia tidak tahu bahwa suaminya baru saja memberiku kunci ke tempat tersembunyi mereka.
Malam itu, saat aku menatap ponselku, kartu akses itu tergeletak di samping bantal.
Aku tahu aku akan mengirim emoticon kunci itu. Bukan karena aku ingin lari dari Naira, tapi karena aku ingin tahu seberapa jauh Raka akan membawaku, dan seberapa dalam aku akan jatuh untuknya.