Ketika cinta berubah menjadi luka, dan keluarga sendiri menjadi pengkhianat. Dela kehilangan segalanya di hari yang seharusnya menjadi miliknya cinta, kepercayaan, bahkan harga diri.
Namun dalam keputusasaan, Tuhan mempertemukannya dengan sosok misterius yang kelak menjadi penyelamat sekaligus takdir barunya. Tapi apakah Dela siap membuka hati lagi, ketika dunia justru menuduhnya melakukan dosa yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 50 Miliar
"Memangnya Papa mau bicara apa?" Tanya Arsen to the point.
"Ini soal pekerjaan. Perusahaan Papa sedang menghadapi masalah keuangan karena produk baru yang kami luncurkan tidak laku di pasaran," jawab Fahmi.
"Langsung ke intinya saja Pa. Jangan terlalu bertele-tele."
"Jadi maksud Papa, ingin meminta Kak Arsen memberikan suntikan dana ke perusahaan. Perusahaan kita sekarang sedang kacau karena masalah keuangan," jawab Refan menyela.
"Betul Ar. Hanya kamu satu-satunya harapan Papa. Papa sudah berusaha meminjam uang ke sana kemari dan mencari investor juga, tapi semua gagal," imbuh Fahmi.
Mendengar itu, Arsen menghela napas kasar. Arsen sudah tidak ingin ikut campur dengan urusan perusahaan milik Papanya. Ia merasa keberatan jika harus memberikan suntikan dana sebesar itu untuk perusahaan yang dulunya dirintis kedua orang tuanya dari nol. Setelah perusahaan itu sukses, Papanya malah membawa orang luar untuk menikmati hasilnya. Jujur Arsen tidak rela, apalagi Ibu dan saudara tirinya terkesan ingin menguasai seluruh harta kekayaan Papanya.
"Kalau untuk itu Arsen tidak bisa," jawab Arsen tegas.
Jawaban Arsen yang menolak keinginan sang Papa tentu saja membuat Fahmi dan Refan marah dan sangat kecewa.
"Apa kenapa tidak bisa? Aku lihat perusahaan yang Kak Arsen kelola sedang maju pesat. Masa iya membantu perusahaan Papa sendiri saja tidak bisa? Itu perusahaan Papa loh!" ujar Refan mulai menunjukkan taringnya.
"Iya, itu memang perusahaan Papaku, tapi kalian semua yang menikmati hasilnya. Bahkan aku tidak pernah tahu berapapun hasilnya, dan tidak pernah merasakan keuntungan sama sekali sejak Mama meninggal," gumam Arsen dalam hati.
Andai saja Arsen langsung mengatakan itu, pasti akan memicu pertengkaran besar.
"Papa mohon Arsen. Tolong bantu berikan suntikan dana ke perusahaan Papa. Tidak banyak paling hanya 50 miliar," ujar Fahmi.
Dela tersentak kaget saat mendengar nominal angka 50 miliar dari Papa mertuanya.
"Apa hanya 50 miliar? Gila, banyak sekali," gumam Dela dalam hati.
"Cuma 50 miliar pasti nominal yang sangat kecil untukmu, secara perusahaan yang kamu pegang itu kan perusahaan besar," imbuh Refan mengucapkannya dengan enteng.
Dela yang mendengar pembicaraan Papa dan anak itu mulai merasa pusing. Dela mengira perusahaan yang dipegang suaminya adalah perusahaan orang tuanya, tapi kenapa sekarang Papanya malah meminta suntikan dana sebesar itu kepada suaminya? Dela tidak tau jika perusahaan yang Arsen kelola adalah perusahaan milik keluarga Ibunya, keluarga Mahendra. Sementara yang Fahmi pegang adalah perusahaan hasil jerih payah dengan istri pertamanya dulu, dan sekarang orang luar yang menikmati hasilnya tanpa bersusah payah lebih dulu.
Di balik suksesnya perusahaan yang dipegang Papanya, Ibunya memiliki andil besar, karena modal awalnya juga berasal dari almarhumah Ibundanya. Papanya dulu hanya berasal dari keluarga sederhana yang kebetulan bisa menikah dengan Ibunya.
"Arsen tetap tidak bisa Papa. Di perusahaan itu memang Arsen yang mengelolanya, tapi Arsen tidak punya wewenang mengambil uang sebesar itu. Perusahaan itu masih sah milik Nenek," alasan Arsen, padahal ia bisa berbuat apa saja dengan perusahaan itu.
Jangankan mengambil uang 50 miliar, mau sampai triliunan pun Arsen bisa. Arsen sudah sangat kecewa dengan sikap Papanya yang tidak adil. Refan hanyalah anak tiri Papanya, Ningsih juga hanya istri kedua yang tidak punya hak apa-apa atas perusahaan yang dipegang Papanya. Arsen lebih rela perusahaan itu hancur dibandingkan sukses tapi akan dikuasai oleh saudara tirinya.
"Semuanya harus ada persetujuan dari Oma Mira," lanjut Arsen .
"Apa? Masa iya apa-apa harus minta persetujuan dari dia dulu? Bukankah dia sudah tua, kenapa tidak semuanya dia percayakan saja padamu?" Ujar Refan tidak percaya.
"Pada kenyataannya memang seperti itu," balas Arsen.
"Tolong Ar. Tolong kamu yakinkan Oma supaya dia bersedia memberikan suntikan dana untuk perusahaan Papa," pinta Fahmi.
"Baiklah nanti aku coba membicarakan masalah itu sama Oma. Tapi aku tidak bisa janji apa-apa," ujar Arsen. "Papa tau sendiri bagaimana keras kepalanya Oma," lanjutnya.
"Papa tau, atau nanti Papa bisa langsung datang saja ke Oma-mu untuk minta bantuan." Mendengar perkataan Papanya, Arsen langsung mengepalkan tangannya.
"Sial aku harus bicara dengan Oma soal ini lebih dulu sebelum Papa yang akan bicara," gumam Arsen dalam hati.
"Oh iya. Malam ini kamu menginap di sini kan?" Tanya Fahmi.
"Maaf Pa aku tidak bisa habis ini aku mau ke rumah mertuaku. Ayah mertuaku baru saja pulang dari rumah sakit aku dan Dela ingin menjenguknya," ujar Arsen. Arsen memang tidak bohong, karena Ayah mertuanya memang baru pulang dari rumah sakit.
"Jadi Papa kamu sakit Dela?" Tanya Fahmi.
"I... iya Om. Baru saja beliau pulang dari rumah sakit pagi tadi," jawab Dela yang memang tidak banyak bicara, karena takut salah ucap.
"Kenapa memanggilnya Om? Panggil Papa dong, sama seperti Arsen," ujar Fahmi.
"Eh maaf Papa maksudnya," ralat Dela.
"Kapan-kapan kamu harus kenalkan keluarga Dela sama kami Arsen. Masa iya Papa tidak kenal dengan besannya sendiri," ujar Fahmi.
Dela semakin ketar-ketir mendengar perkataan Papa mertuanya, karena ia tau mulut keluarganya sangat ceplas-ceplos, terutama Ibu dan kedua saudaranya. Dela takut keluarganya dipandang remeh oleh Amel yang terlihat sombong.
"Kalau masalah itu bisa diatur Pa," ujar Arsen.
"Ya sudah kalau begitu Arsen mau langsung pamit pulang dulu."
"Ya sudah, kalian berdua hati-hati." Arsen langsung menyalami Ayahnya diikuti Dela. Dela berusaha menirukan apa yang dilakukan suaminya di sana. Fahmi ikut mengantar Arsen sampai ke depan.
"Loh kalian mau langsung pulang? Tidak menginap?" Tanya Amel yang melihat Arsen dan Dela hendak pergi.
"Tidak, Arsen mau langsung pulang saja karena masih ada urusan," jawab Arsen.
Amel langsung menyenggol lengan Ratu agar Ratu menjalankan aksinya. "Ah kalau begitu Ratu juga mau pulang ya Tante. Sudah malam juga."
"Loh kamu mau pulang juga Sayang?" Tanya Amel. "Ya sudah kalau begitu kebetulan, bisa bareng sama Arsen saja. Tadi kamu datang ke sini naik taksi kan," ujar Amel.
Mendengar itu, tentu saja Dela keberatan. Ratu bisa pulang naik taksi lagi, kenapa harus disuruh bareng suaminya?
"Memangnya Arsen mau mengantarkan Ratu?"
"Pasti mau lah iya kan Arsen? Lagian ini sudah malam Ar. Bahaya kalau seorang wanita cantik seperti Ratu harus pulang sendirian," ujar Amel.
"Aku tidak bisa. Lagi pula kenapa mesti aku yang mengantar Ratu pulang? Aku masih ada urusan penting setelah ini. Lagian kalau memang tidak berani pulang malam, kenapa sehabis makan bersama tidak langsung pulang saja," tolak Arsen terang-terangan, tanpa ada rasa sungkan sedikit pun.
Dela merasa lega mendengar suaminya berani menolak perintah Amel dengan tegas.
"Huh syukurlah kalau Mas Arsen tidak mau. Lagian kenapa sih Tante Amel kesannya mau mendekatkan suamiku dengan Ratu? Sudah tau Mas Arsen sudah punya istri," gerutu Dela dalam hati.
Ratu langsung menggeram marah dalam hatinya karena Arsen menolaknya secara terang-terangan.
"Tuh kan Tante Arsen nya saja tidak mau," rengek Tika pura-pura sedih.
"Ya ampun Arsen. Kamu tega banget sih sama Tika. Lagian apa salahnya kamu mengantarkan Ratu dulu sebelum pulang?" Ujar Amel.
"Kenapa Mama tidak menyuruh Refan saja untuk mengantar Tika? Aku lihat dia sedang menganggur. Bukankah kalau Refan yang mengantarkannya itu malah bagus? Mereka bisa lebih dekat. Siapa tau mereka berdua jodoh, bukankah Mama tadi bilang Ratu itu menantu idaman Mama?"
Amel dan Ratu melotot mendengar perkataan Arsen. Andai saja Amel tidak punya maksud lain dengan Arsen, mungkin sudah ia tampar mulut Arsen yang dianggapnya sangat lancang.
"Ya ampun Arsen. Jaga bicaramu! Tante Amel ini Mama-mu loh. Apa kamu tidak takut perkataanmu akan melukai hati Mama-mu?" Tegur Tika.
"Sudahlah Tika. Mama sudah biasa kok begini," ujar Amel.
"Arsen bicaralah yang sopan sama Mama kamu," tegur Fahmi, karena istrinya seakan tidak dihargai oleh anak kandungnya.
"Tahu nih. Jadi Kakak bukannya jadi panutan yang baik," imbuh Refan.
"Sudahlah ayo Sayang kita pulang saja," tanpa banyak bicara, Arsen langsung menarik tangan istrinya untuk pergi dari sana.
"Ih menyebalkan banget sih dia. Padahal tadi Mama bicara baik-baik loh. Makanya Papa itu lebih keras sedikit sama Arsen supaya dia tidak berlaku kurang ajar sama Mama," ujar Amel kesal.
"Masalahnya Papa sedang butuh bantuannya Ma. Kalau Papa terlalu keras sama dia, takutnya dia tidak akan mau membantu Papa. Mama tolong mengerti," jawab Fahmi.
"Tante, lalu Ratu bagaimana ini?" Rengek Tika karena gagal pulang bareng Arsen.
"Ya sudah, kamu terpaksa diantarkan sama Refan. Tidak apa ya. Refan kamu tolong antarkan Ratu pulang ya," ujar Amel.
Kalau kemarin mungkin Refan akan mau-mau saja disuruh mengantar Ratu pulang. Tapi setelah melihat istri Kakak tirinya lebih cantik dari Tika, Refan jadi tidak mau kalah. Bagi Refan, Ratu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Dela, sehingga Refan jadi ilfeel dengan Tika. Pokoknya Refan tidak mau sampai kalah dari Arsen termasuk dalam urusan istri.
"Loh kok jadi Refan sih Ma," protesnya.
"Ya mau bagaimana lagi. Arsen kan tidak mau."
Akhirnya terpaksa Refan mengantarkan Ratu pulang.