Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diakhiri dengan First kiss
Nurma menarik Satria menjauh dari hiruk pikuk kantin. Begitu tiba di koridor yang sepi, ia melepaskan cengkeraman tangannya dari Pak Satria. Napasnya terengah-engah karena tegang dan rasa bersalah.
Wajahnya Pak Satria tampak kesal dan juga kecewa "Paman? Kamu bilang Saya ini pamanmu? Apa kamu sadar, Nurma, kita ini adalah suami istri! Saya terpaksa mengiyakan kebohongan konyol itu di depan banyak orang!"
Kemudian Nurma menunduk, merasa bersalah "Maaf, Pak Satria... Maaf. Aku panik! Aku tidak mau pernikahan kita terbongkar. Itu satu-satunya cara tercepat untuk meredam gosip dan menolak Damar sekaligus."
Pak Satria menghela napas berat, mencoba menahan amarahnya "Baik. Kali ini saya maafkan. Tapi, kita harus bahas ini. Kamu sudah membuat masalah baru dengan kebohongan itu, Nurma!"
"Iya Pak, Aku tahu. Aku juga ingin menjelaskan tentang gosip pagi tadi."
"Tapi tidak di sini. Nanti di rumahmu saja. Saya harap Ibu tidak ada di rumah."
Saat bel pulang berbunyi, Satria dan Nurma sepakat untuk pulang bersama. Di gerbang sekolah, mereka berjalan beriringan menuju motor Pak Satria yang terparkir di area parkiran sekolah. Mereka berdua berlagak seperti Paman dan keponakan yang pulang bersama. Jarak mereka memang sedikit lebih dekat dari biasanya, sebagai "bukti" kebohongan Nurma.
Di kejauhan, Santi dan Rena memperhatikan mereka dengan mata menyipit.
"Lihat, mereka pulang bersama. Mereka memang dekat!"
"Aku tidak percaya dia itu Pamannya. Kalau benar Paman, kenapa dia sampai digosipkan begitu? Nurma pasti bohong agar terhindar dari Damar dan Pak Satria."
"Yah, setidaknya kita berhasil membuat kekacauan. Tunggu saja, kita akan cari bukti lain."ucap Santi tersenyum licik.
Setibanya di rumah Nurma, suasana sepi menyambut mereka.
" Ternyata Ibu sudah pergi. Pasti ke toko Bude Minah."
Kemudian Satria meletakkan helmnya, ia merasa lega. "Bagus. Saya bisa bernapas lega. Kita harus selesaikan masalah ini sekarang."
Akhirnya mereka berdua duduk di sofa ruang tamu. Nurma di satu sisi, sedangkan Satria di sisi lainnya.
Nurma akhirnya membuka percakapan dengan nada kesal.
"Oke, sekarang jelaskan. Kenapa Bapak harus tidur di kamarku dan bahkan... memelukku semalam?" Wajahnya Nurma kembali memerah mengingat kejadian itu.
Satria mengusap tengkuk pelan, ia merasa canggung.
"Tunggu, sebelum kamu membahas yang itu, biarkan saya klarifikasi tentang gosip tadi pagi. Saya tidak tahu kenapa kamu marah sekali padaku pagi tadi di kelas."
"Tentu saja aku marah! Bapak memelukku!"
"Dengarkan saya dulu, Nurma ! Semalam... Ibumu yang memaksa saya tidur di kamarmu! Beliau bilang tidak baik Suami istri tidur terpisah, dan saya sempat menolak, tapi Ibumu tetap memaksa dan akhirnya saya terpaksa ,tidak enak juga untuk menolaknya lagi." Ucap Satria berusaha menjelaskan sedetail mungkin.
Nurma tertegun sejenak. "I-Ibu yang menyuruh?" Rasa marah Nurma karena tadi disuruh maju di kelas bercampur dengan rasa bersalah karena kesalahpahaman ini.
"Oh. Aku paham soal itu."
"Tapi... soal Bapak memelukku, itu bagaimana, ayo jelaskan?" tanya kembali Nurma.
Satria menghela napas, menatap Nurma dengan pandangan yang aneh, ada campuran rasa bersalah dan kenangan manis di dalamnya
"Itu...eh...bukan Saya yang memulai. Tapi kamu duluan yang memeluk saya, Nurma. Mungkin kamu sedang mengigau. Kamu merengek dan memeluk saya erat sekali, sehingga saya tidak bisa bergerak."
Tiba-tiba wajahnya Nurma memerah padam, ia sangat malu. "Aku, memeluk Pak Satria duluan? Ini tidak mungkin!" Nurma terkekeh tak percaya.
"Sungguh, Saya mengatakan yang sebenarnya, kamu memeluk saya, dan saya..." Satria menghentikan kalimatnya, matanya menatap intens ke arah Nurma...." Saya hanya terbawa suasana. Maaf."
Tiba-tiba, suasana menjadi sangat hening dan canggung. Nurma menatap Satria, dan Satria menatap Nurma. Debaran aneh yang mereka rasakan di kantin kini kembali, namun lebih kuat. Mereka adalah pasangan suami istri, namun jarak di antara mereka terlalu besar—jarak seorang guru dan siswi, jarak usia, dan jarak pernikahan yang tanpa cinta.
Namun, di momen keheningan ini, jarak itu seolah sirna. Wajah merona terlihat jelas di pipi keduanya. Mereka saling memandang tanpa kata, seolah mencari jawaban atas perasaan canggung yang tiba-tiba menyerang.
Tanpa disadari, Satria perlahan mendekat. Nurma tidak menghindar, matanya tetap terpaku pada Satria. Dalam keheningan yang menyesakkan itu, bibir mereka perlahan menyatu.
Ini adalah ciuman pertama Nurma. Hangat dan lembut, namun mendadak dan mengejutkan. Satria, suaminya sendiri, telah mengambil ciuman itu begitu saja, mengakhiri kecanggungan di antara mereka dengan cara seperti itu.
Ciuman itu singkat, hanya sentuhan lembut bibir yang terjadi di tengah keheningan yang penuh ketegangan. Namun, dampaknya terasa seperti gelombang kejut yang merambat ke seluruh tubuh mereka.
Satria segera menarik diri. Ia menatap Nurma dengan mata melebar, wajahnya menunjukkan campuran antara penyesalan dan keterkejutan. Ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan; ia telah mencium muridnya, istrinya, yang selama ini ia perlakukan dengan cukup baik namun sedikit dingin.
Kemudian Satria Berbisik, suaranya tercekat.
"Nurma, Saya... Saya minta maaf. Saya tidak seharusnya..."
Sebelum Satria menyelesaikan kalimat penyesalannya, Nurma sudah bangkit dari duduknya. Wajahnya memerah padam, tetapi bukan karena marah. Dengan gerakan cepat, ia bergegas meninggalkan Satria di ruang tamu dan langsung menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya, memutar kunci dengan cepat hingga berbunyi 'klik' yang keras.
Nurma bersandar di balik pintu, matanya terpejam, dan napasnya memburu. Debaran aneh di dadanya kini tak lagi canggung, melainkan terasa seperti sayap kupu-kupu yang berterbangan. Ia perlahan mengangkat jari-jarinya, menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat. Kenangan ciuman singkat itu kembali terulang di benaknya. Ia tersenyum, senyum yang penuh arti, senyum seorang gadis yang baru saja merasakan pengalaman cinta pertamanya, meskipun itu dilakukan oleh suaminya sendiri.
Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, menenggelamkan wajahnya pada bantal. Hatinya terasa aneh, meluap-luap, dan berbunga-bunga. Ini adalah ciuman pertamanya, dan rasanya sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasa kesal pada Satria yang sempat menguasai dirinya kini menghilang, berganti dengan rasa penasaran dan harapan yang samar.
Di sisi lain, Satria merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Ia menatap langit-langit, tangannya menutupi wajah. Rasa sesal karena telah mengambil kesempatan dan melanggar batas kembali menghantuinya, namun segera diikuti oleh perasaan lain yang asing dan kuat.
Ia menurunkan tangannya, tersenyum seorang diri. Ia membayangkan kembali mata Nurma yang terkejut, rona merah di pipinya, dan keheningan saat bibir mereka bertemu.
'Apa yang baru saja kulakukan? Aku mencium Nurma...' batinnya.
Ia menghela napas, namun sudut bibirnya masih tertarik ke atas.
Kemudian Satria Bergumam pelan pada dirinya sendiri.
"Ciuman yang singkat, tapi... begitu bermakna. Ya Tuhan, mungkinkah? Mungkinkah aku sudah jatuh cinta pada gadis kecil ini? Pada istri rahasia yang terpaksa kunikahi ini?"
Satria menutup matanya. Hubungan yang awalnya hanya berupa tanggung jawab dan kewajiban tanpa cinta, kini terasa mulai bergeser. Getaran canggung, rasa cemburu di kantin, dan kini ciuman tak terduga itu, semuanya menuntunnya pada satu kesimpulan yang ia takuti sekaligus harapkan. perasaannya terhadap Nurma, sang siswi, sang istri, telah berubah menjadi cinta.
Bersambung...