NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pergerakan cepat Dewangga

Mobil Dewangga berhenti tepat di depan gerbang kayu villa itu.

Angin Lembang sore menjalar pelan, namun tidak memberi ketenangan sedikit pun—justru menambah sunyi yang terasa janggal.

Begitu keluar dari mobil, Dewangga berdiri beberapa detik, memeriksa sekeliling.

Sunyi.

Tidak ada suara musik kecil.

Tidak ada tawa.

Tidak ada obrolan dua gadis yang seharusnya memenuhi udara villa.

Halaman villa itu terlalu hening.

Tekanan aneh di dadanya semakin mengeras.

Dewangga melangkah masuk melalui gerbang yang tidak terkunci.

Pandangan matanya menyapu cepat dari teras, jendela, hingga pekarangan samping.

Tak ada sandal atau sepatu, tak ada tas, tak ada minuman tertinggal.

Seolah villa itu kosong sejak pagi.

Namun dari tanah dekat pintu, matanya menangkap sesuatu—bekas ban mobil, masih baru, masih lembab.

Ada dua pola jejak: satu bekas mobil yang datang, satu lagi bekas mobil yang pergi.

Dewangga menunduk, menyentuh bagian tanah yang gepeng.

“Baru saja…” gumamnya rendah.

Semakin kuat firasat buruk itu menghantamnya.

Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, mengamati jendela yang tertutup rapat.

Tidak ada gerakan di dalam.

Tidak ada suara napas manusia.

“Mentari…”

Namanya terselip di antara desah napas yang berat.

Ponselnya bergetar—laporan singkat dari "R".

Dewangga membaca cepat, matanya menyipit.

Pemilik villa bukan keluarga Andin.

Bukan keluarga siapapun yang Mentari kenal.

Jejak mobil.

Hening yang tidak alamiah.

Live location yang tetap di titik yang sama.

Semua potongan itu menyatu menjadi satu kesimpulan yang membuat tengkuknya dingin.

Ia menegakkan badan, rahangnya mengeras.

“Kau harus baik-baik saja…”

Ada ancaman halus dalam nada suaranya—bukan pada Mentari, tapi pada siapa pun yang mungkin menyentuhnya.

Dewangga menoleh ke arah jalan keluar.

Bekas ban itu mengarah lurus, keluar kompleks villa.

Ia kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan mengikuti jejak itu.

Dan di dalam hati, ia membuat satu janji:

Siapapun yang ada di balik ini… akan dia habisi tanpa ampun.

.......

Di sisi lain, Andin mengemudi dengan tangan gemetar.

Hujan tipis turun, seperti mengikuti resah yang memenuhi dadanya.

Rautnya pucat.

Napasnya tidak teratur.

Ia memandangi kaca depan sementara pikiran berputar tanpa henti.

Mentari… aku minta maaf…

Kalimat itu terus terulang di kepalanya.

Dari awal OSPEK sampai semester ini, Andin selalu menganggap Mentari sebagai teman dekat—teman cerita, teman tugas, teman yang selalu membawa tawa.

Tapi sekarang…

Ia menggenggam setir erat-erat.

Perintah itu.

Kesepakatan itu.

Ancaman halus dari seseorang yang tidak bisa ia lawan.

Satu sisi ia ingin membatalkan semuanya.

Ingin putar balik ke villa dan membangunkan Mentari.

Ingin berteriak memohon maaf.

Tapi di sisi lain—ia takut.

Ada konsekuensi yang diberikan padanya jika ia mengkhianati rencana itu.

Dan yang tadi ia lakukan…

Meninggalkan Mentari tertidur sendirian di dalam villa itu…

Andin meremas bibir bawahnya hingga memutih.

Ia tidak tahu siapa yang akan datang menjemput Mentari selanjutnya.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada sahabatnya.

Andin menepikan mobil di pinggir jalan.

Ia menunduk, wajahnya tertutup kedua tangan.

“Ya Tuhan… apa yang aku lakukan…”

Air mata menetes.

Bukan tangis keras, hanya isakan kecil—tanda perang batin yang menyakitkan.

Setelah beberapa menit, ia kembali menghidupkan mobil.

Dengan hati yang semakin berat, ia kembali menuju kos, memaksa dirinya menatap jalan.

Namun bayangan Mentari…

Tawa gadis itu…

Senyumnya ketika membicarakan Dewangga…

Semuanya menikam Andin berkali kali.

Ia berbisik lirih sebelum mobilnya melaju lagi:

“Semoga kamu baik-baik saja, Tari.… semoga.”

______

Arsenio membopong tubuh Mentari yang mulai kembali limbung keluar dari mobil menuju apartemennya. Obat bius dosis rendah membuat gadis itu tidak sadarkan diri lagi, namun napasnya masih teratur. Ia memindahkannya ke kamar—ruangan luas bernuansa gelap dengan aroma cologne maskulin yang kuat.

Dengan tergesa namun tetap terkalkulasi, Arsenio membaringkan Mentari di atas ranjang king-size. Ia memeriksa denyut nadi Mentari, memastikan gadis itu tak benar-benar pingsan berat.

Dengan timing yang seolah sudah diatur—Arsenio langsung melancarkan aksinya. Ia berjalan cepat menuju lemari—mengeluarkan sebuah gaun tidur tipis yang terlihat cukup... berani.

Tak mau menyiakan kesempatan, pria dengan obsesi penuh pada putri Wiradiredja itu langsung bergegas menggantikan pakaian yang di kenakan Mentari dengan gaun tidur itu. Matanya seolah enggan berkedip sepanjang melakukan aksi yang terbilang gila itu.

Lalu ia memasang tripod dan kamera, mengatur sudut ruangan, pencahayaan, serta fokus. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena ragu, tapi karena obsesi yang semakin menguasai pikirannya.

“Dewangga…” gumamnya lirih sambil menatap Mentari yang tak berdaya. “Kau yang mulai permainan ini.”

Ia berjalan mendekat, hanya menatap wajah Mentari dari jarak sangat dekat, namun tidak menyentuhnya lebih dari sekadar mengecek kesadarannya. Ia menyalakan kamera—bukan untuk membuat sesuatu yang tak pantas, melainkan untuk memotret kondisi Mentari yang terlihat seperti sedang tertidur pulas, seolah berada di tempat dan waktu yang salah.

Arsenio duduk di tepi ranjang dan mengambil satu foto lagi: dirinya sedang berada cukup dekat dengan Mentari, wajahnya diarahkan ke kamera. Tidak ada kontak tubuh yang melanggar. Tapi sudut foto itu akan mampu memutarbalikkan realitas.

“Kau pikir aku tidak bisa menyentuh dunia kecilmu?” bisiknya berbahaya. “Dengan satu foto, dengan satu narasi… aku bisa menghancurkan apa pun yang ingin kau bangun dengannya.”

Ia tersenyum miring, dingin.

“Kali ini, aku yang memegang kendali, Tuan Danurengga.”

.......

Beberapa menit kemudian, Mentari mengerang pelan. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka dengan berat—dunia yang samar dan buram perlahan membentuk wujud nyata.

Langit-langit asing. Aroma ruangan yang tak familiar. Detak jantungnya langsung melonjak.

Ia menelan ludah, menahan rasa mual dan pusing yang menyerang. Kepalanya berat—seperti baru bangun dari tidur paksa. Dengan gemetar ia mengangkat tubuhnya, duduk perlahan… dan langsung tercekat.

Gaun tidur tipis.

Ruangan asing.

Tidak ada tas, tidak ada ponsel.

Tidak ada Andin.

“Ya Tuhan…” bisiknya parau. Panik mulai merayapi tubuhnya.

Ia meraba lengan, leher, memastikan tidak ada luka atau tanda bahaya lain. Segalanya terasa utuh—tapi itu tak menenangkan sama sekali. Ia memandang sekeliling kamar luas, mencoba mengenali apa pun.

Lalu suara air di kamar mandi berhenti.

Jantung Mentari mencelos.

Pintu terbuka.

Arsenio muncul, rambut basah, kemeja hitamnya hanya terpasang setengah, dan senyumannya—senyum yang membuat darah Mentari serasa membeku.

“Sudah bangun, sayang” ucapnya santai, seolah semua ini hal biasa.

Mentari seketika bangkit berdiri, meski lututnya masih lemas. Naluri bertahan hidup memaksanya mundur, mencari pintu, mencari apa pun.

“Jangan dek—”

Mentari berbalik dan berusaha lari, tapi Arsenio lebih cepat. Ia meraih lengan Mentari dan menariknya kembali, mengurung tubuh rapuh itu di antara lengannya dan dinding kamar.

“Mentari, dengarkan aku dulu—”

“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Mentari, napasnya tak beraturan, wajahnya pucat ketakutan.

Arsenio menahan bahunya, tak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Mentari tak bisa lari.

“Tolong jangan panik. Aku tidak menyentuhmu. Kamu hanya—”

BRAK!!!

Pintu kamar terpelanting—terbuka dengan hentakan keras yang menggema seperti ledakan.

Arsenio tercekat.

Mentari membeku.

Tubuh tinggi itu berdiri di ambang pintu dengan aura gelap yang begitu pekat hingga membuat udara terasa berat.

Dewangga.

Sorot matanya… bukan sekadar marah—itu murka yang siap menghabisi. Tatapan yang langsung mengunci pada tubuh Mentari, dari rambut kusutnya, wajah pucatnya, hingga gaun tidur tipis yang kini tampak sangat tidak pantas.

Rahang Dewangga mengeras. Nafasnya memburu. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Arsenio.”

Hanya satu kata. Tapi cukup untuk membuat udara seperti retak.

Arsenio hendak bicara—

Namun sebuah tendangan keras melayang cepat.

DUKK!!

Tubuh Arsenio terpental menghantam sisi ranjang, mengerang keras menahan sakit. Mentari terlonjak kaget, tubuhnya gemetar hebat.

Tanpa menunggu satu detik pun, Dewangga menghampiri Mentari. Tatapannya menyapu seluruh tubuh gadis itu sekali lagi—dan amarah dalam dirinya meledak semakin kuat.

Ia meraih selimut tebal di ranjang, tanpa bicara membalut tubuh Mentari dari bahu hingga mata kaki, memastikan setiap inci tertutup.

Lalu, perlahan tapi mantap, ia meraih gadis itu ke dalam gendongannya.

“Mas…” Mentari berbisik, suaranya hampir tak terdengar.

“Shh. Kamu aman sekarang,” ucap Dewangga, suaranya pelan—tapi getaran murka masih sangat terasa.

Ia membawanya keluar kamar, keluar ruang tamu, keluar apartemen—tanpa menoleh sedikit pun pada Arsenio.

Di belakangnya, asisten Dewangga bergerak cepat. Ia melihat kamera di tripod. Dalam satu gerakan sigap, ia mematikan rekaman dan menghapus seluruh file terkait Mentari.

Arsenio yang masih meringis berusaha bangkit, tapi tangan asisten lain menahannya. Ponsel Arsenio sudah lenyap dari saku—diambil tanpa ia sadari.

Asisten itu menatap Arsenio tajam.

“Permainanmu selesai.”

Sementara itu, di ujung koridor, Dewangga mengencangkan pelukan pada Mentari, membawa gadis itu pergi tanpa menoleh ke belakang.

Dan untuk pertama kalinya, Mentari merasa benar-benar ingin menangis—bukan karena takut pada Arsenio, tapi karena kenyamanan dan aman yang begitu cepat datang dari sosok yang selalu melindunginya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!