Aku Yang Diabaikan

Tiga tahun telah berlalu, Sekar tak lagi tinggal di rumah pamannya, ia telah memiliki rumah pribadi. Ia dibantu saudara dan kerabat membangun rumah diatas tanah milik mendiang ayahnya. Arya juga bersekolah tak jauh dari kediaman Paman Rahmat.

Sekar tak lagi bekerja di restoran dan sekarang membangun usahanya sendiri yaitu toko cemilan. Sekar juga telah memiliki 5 orang karyawan yang membantunya.

Hubungan pertemanannya dengan Ryan juga sudah berakhir. Ryan dikabarkan pindah ke luar negeri 1 tahun lalu sehingga tak ada komunikasi lagi diantara keduanya.

Reno tetap mengirimkan uang bulanan kepada Arya meskipun nominalnya sedikit berkurang dari biasanya. Alasannya karena Reno kini sudah menikah lagi.

"Mbak Sekar, ini pesanan sudah siap diantar!" kata salah seorang karyawan wanita.

"Ini alamatnya!" Sekar menyodorkan secarik kertas kepada karyawannya.

Sekar kembali membantu karyawan yang lainnya memeriksa beberapa produk yang masa kadaluarsanya akan berakhir.

"Mbak Sekar!" seorang karyawan pria menghampirinya.

"Ya, ada apa?" tanya Sekar membalikkan badannya.

"Ini ada paket buat Mbak Sekar!" jawabnya.

"Dari siapa?" tanya Sekar.

"Kata kurirnya dari Ryan," jawabnya lagi.

Sekar menerima paket tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada karyawannya itu.

Sekar lantas mengintip sekilas tas kantong kertas yang dipegangnya. Isinya sebuah kotak berukuran sedang dengan tulisan jam tangan.

Sekar lalu membawanya ke ruangan khusus untuknya. Tempat dirinya mengerjakan pekerjaan dan beristirahat selama di toko. Sekar meletakkannya di atas meja. Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya memeriksa stok penjualannya.

Siang harinya, Sekar berangkat menaiki motornya menjemput putranya. Ia tak segera pulang ke rumah melainkan membawanya ke toko.

"Ini apa, Bu?" tanya Arya melihat paper bag di atas meja.

"Jam tangan dari Om Ryan," jawab Sekar.

"Om Ryan yang mana orangnya?" tanya Arya.

"Kamu sudah lupa wajahnya?" tanya Sekar balik.

"Aku tidak ingat, Bu." Jawab Arya dengan jujur.

"Ya sudah kalau kamu tidak ingat, sekarang makanlah. Ini lauk dan sayurnya!" Sekar mengeluarkan wadah makanan dari kantong tas kain yang selalu dibawanya.

Sekar meletakkan lauk dan sayur di atas piring berisikan nasi, ia lalu menyodorkannya kepada putranya.

"Bu, tadi teman-teman ku sekolah mengejekku. Mereka bilang kalau aku tidak punya ayah," kata Arya.

"Kamu bilang kepada mereka kalau ayahmu tidak tinggal di sini!" ucap Sekar.

"Mereka bilang aku bohong," kata Arya lagi.

"Biarkan saja mereka berkata begitu, asal kamu tidak berbohong," nasihat Sekar.

"Kapan ayah mau mengantar dan menjemput aku sekolah?" tanya Arya.

"Ibu enggak tahu, kamu telepon saja ayahmu!" jawab Sekar.

Selesai makan siang menggunakan ponsel milik ibunya, Arya lantas menghubungi Reno kebetulan pria itu juga sedang istirahat kerja.

Setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon, Arya menghampiri ibunya di meja kasir dan mengembalikan ponselnya.

"Apa yang dikatakan ayahmu?" tanya Sekar penasaran isi obrolan putra dan mantan suaminya.

"Ayah bilang nanti kalau cuti kerja dia akan menyempatkan waktunya ke sini dan mau mengantarkan aku sekolah," jawab Arya.

Sekar manggut-manggut mendengarnya.

"Aku pergi main dulu, ya, Bu!" pamit Arya.

"Iya, jangan terlalu jauh dan lama. Ingat, kamu harus tidur siang!" kata Sekar.

"Iya, Bu!" Arya berlari ke luar toko.

Sekar kembali melayani pembeli yang hendak membayar dan sesekali matanya mengarah ke arah luar toko mengawasi putranya bermain dengan teman sebayanya.

-

Dikediaman Lulu dan suaminya...

Lulu baru saja selesai mencuci piring bekas makan siang seluruh anggota keluarganya. Sejak mertua dan kakak iparnya tinggal di rumahnya. Pekerjaannya semakin menumpuk, biasanya setelah makan siang Lulu dapat beristirahat dengan tenang. Ini malah tak bisa menikmati waktu santai.

Dua bulan lalu, rumah mertuanya terjual karena terlilit utang. Terpaksa kedua mertuanya dan kakak iparnya yang seorang janda dengan 2 anak tinggal di rumah milik Jaka.

"Lulu... sudah selesai cuci piringnya?" tanya Dewi, ibu mertua.

"Sudah, Bu. Ada apa, ya?" Lulu balik bertanya.

"Ambilkan pakaian kakakmu di rumah Bu Ida!" perintah Dewi.

"Kak Ulfa 'kan bisa sendiri yang ambil. Dia 'kan tidak ke mana-mana!" kata Lulu yang enggan diperintah.

"Oh, jadi kamu tidak bisa lagi di suruh?" tanya Dewi dengan nada tinggi.

"Aku capek, Bu. Apalagi cuacanya sangat panas, motor juga lagi dipakai bapak!" jawab Lulu beralasan.

"Kamu pikir kakakmu tidak kepanasan kalau berjalan kaki. Sekarang, ambil pakaian di rumah Bu Ida!" paksa Dewi.

"Nanti sore saja, ya, Bu!" kata Lulu.

"Sekarang!" desak Dewi.

"Memangnya Kak Ulfa mau ke mana?" tanya Lulu.

"Bukan urusan kamu!" jawab Dewi ketus kemudian berlalu dari dapur.

Lulu pun dengan terpaksa berangkat ke rumah Bu Ida yang seorang penjahit. Selang 30 menit, Lulu telah kembali ke rumah. Ia menyodorkan kantong plastik kepada kakak iparnya.

"Lulu, buatkan mie rebus, dong. Aku lapar!" kata Ulfa.

"Buat sendiri, aku capek!" Lulu bergegas meninggalkan kamar kakak iparnya.

Ulfa memanyunkan wajahnya karena adik iparnya tak mau menuruti perintahnya. Ia lalu melaporkannya kepada ibunya.

Dewi menghampiri Lulu yang sedang menonton drama di ponselnya sembari menemani anaknya tidur siang.

"Ada apa, Bu?" Lulu menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka.

"Ulfa meminta tolong, kenapa kamu tidak mau membantunya?" tanya Dewi.

"Makanan masih ada di meja, mengapa tidak mau membuatnya sendiri? Aku sudah capek berjalan kaki ke rumah Bu Ida. Bagaimana jika aku sakit? Siapa yang akan mengurus rumah ini? Apa Ibu mau menggantikan aku bebersih dan mencuci piring?" Lulu balik bertanya menyindir.

Dewi yang mendapatkan sindiran, raut wajahnya berubah masam. "Ya sudahlah, istirahatlah!" ia kembali menutup pintu kamar menantunya.

Dewi menemui putrinya di ruang tamu dan berkata, "Biarkan dia beristirahat, kalau dia sakit kita juga yang repot. Jaka pasti akan memarahi kita."

"Tapi, aku ingin makan mi rebus, Bu!" kata Ulfa.

"Masak sendiri, jangan lupa cuci piringnya. Kamu mau kita diusir dari sini!" ucap Dewi mengingatkan.

"Ini rumah Jaka, dia adikku. Si Lulu tak berhak mengusirku dari sini!" kata Ulfa lagi dengan angkuhnya.

"Enggak ada yang tak mungkin. Sudah sana, kerjakan sendiri. Kamu pun malas sekali, pantas saja mantanmu itu selingkuh!" singgung Dewi.

"Kenapa jadi membahas dia lagi, 'sih, Bu?" protes Ulfa.

"Biar kamu sadar!" tukas Dewi.

***

Di kampung halamannya Sekar...

Seperti biasanya sebelum ke toko, Sekar mengantarkan putranya ke sekolah. Di sana ia bertemu beberapa wali murid teman sekelasnya Arya.

"Mbak Sekar, si Arya ikut lomba mewarnai?" tanya seorang wanita muda.

"Hmm, enggak tahu. Dia belum ada bilang," jawab Sekar.

"Ikut saja, Mbak Sekar. Arya kata anakku, sangat jago mewarnai," ucap wanita itu lagi dan disetujui ibu-ibu yang lainnya.

"Nanti saya tanya Arya, apakah dia berminat atau tidak," kata Sekar.

Setelah mengobrol dengan wali murid, Sekar berangkat ke tokonya. Begitu sampai ada sebuah mobil merah yang terparkir di halaman toko.

"Mbak Sekar, ada yang ingin ketemu," kata seorang karyawan wanita sembari mengarahkan pandangannya kepada sosok wanita dengan kacamata hitam dan tas dijinjing.

"Saya akan temui dia, lanjutkan pekerjaanmu!" ucap Sekar dan karyawannya itupun berlalu.

Sekar lalu menghampiri tamunya dan tersenyum. "Ada apa, ya, mencari saya?"

"Kamu namanya Sekar?" tanya wanita itu dengan angkuhnya.

"Iya, nama saya Sekar," jawab Sekar tetap tersenyum ramah.

"Aku ingatkan kepadamu jangan coba-coba mendekati suamiku!" katanya tegas.

"Memangnya siapa suaminya, Mbak?" tanya Sekar.

"Enggak usah pura-pura tidak tahu!" jawabnya dengan nada kesal.

"Saya memang tidak tahu," kata Sekar jujur.

"Suamiku itu kepala desa di kampung sebelah, jadi kamu jangan coba-coba merayunya!" tudingnya.

"Astaghfirullah, Mbak. Saya dan Mas Wiro cuma teman, kebetulan dia teman sepupu saya dan sering membeli di toko ini," jelas Sekar agar tak salah paham.

"Tak usah berbohong, dia sering belanja di sini untuk mencari perhatian kamu!" kata wanita itu lagi.

"Masalah itu saya tak tahu, selama ada yang membeli di toko ini saya malah senang. Saya menganggap semuanya adalah pelanggan," jelas Sekar lagi.

Wanita itu tersenyum sinis mendengar penjelasan Sekar.

"Saya tidak memiliki hubungan dengan siapapun, termasuk suami orang lain. Jadi, Mbak hanya salah paham saja," kata Sekar.

"Jika kamu terbukti memang menggoda suamiku, maka aku tidak akan segan menghancurkan tokomu ini!" ancam wanita itu kemudian berlalu.