NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 Badai di Atas Laut Jawa

Waktu seolah membeku. Van pengiriman biru tua itu kini menjadi peti mati logam mereka. Di depan, deretan kendaraan taktis dan puluhan laras senapan mengunci pandangan. Di belakang, raungan Unit Alpha 7 yang siap menabrak mereka hingga hancur. Suara desisan menandakan ban van yang sudah ditembak dan mulai kempes.

“Penyu, mundur!” teriak Sasha, tubuhnya membungkuk ke bawah, menghindari kemungkinan peluru nyasar.

“Tidak ada tempat untuk mundur, Sasha!” balas Penyu, wajahnya pucat. “Mereka hanya berjarak lima puluh meter di belakang. Kalau aku berbalik, kita jadi target yang lebih mudah!”

Zega, meskipun pincang, merangkak ke kursi depan. Ia memegang liontin Bara, yang kini terasa panas di telapak tangannya. Matanya memindai garis pertahanan di depan. Mereka bukan hanya menghadapi tentara bayaran, mereka menghadapi infrastruktur digital. Express Teknologi tidak hanya membeli senjata; mereka membeli kontrol.

“Penyu, beri aku akses penuh ke antena radio van,” perintah Zega, suaranya tenang, kontras dengan kepanikan di sekitarnya. “Dan lepaskan sisa daya dari baterai cadangan. Aku akan menggunakannya untuk menembakkan sinyal frekuensi sangat tinggi.”

“Apa yang akan kau lakukan? Menggoreng otak mereka?” tanya Penyu skeptis sambil menekan beberapa tombol di dasbor. “Mereka menggunakan sistem komunikasi terenkripsi militer, Zega!”

“Tepat. Mereka terlalu mengandalkan teknologi itu,” jawab Zega. “Mereka mengira komunikasi digital mereka adalah benteng. Kita akan menembakkan sesuatu yang lebih primitif, lebih kacau: 'White Noise' di frekuensi yang salah. Mereka akan tuli selama sepuluh detik, dan itu sudah cukup.”

Zega menyambungkan ponselnya ke panel kontrol yang sudah terbuka, membiarkan jarinya menari di atas layar, mengetikkan kode-kode burst yang tidak masuk akal bagi siapa pun kecuali dirinya. Di seberang jalan, Riksa, si sniper, mengangkat tangannya, memberi sinyal kepada timnya untuk maju perlahan.

“Tiga, dua, satu… sekarang!” teriak Zega.

Sebuah bunyi ‘zzzzzzzzzz’ yang hampir tidak terdengar meletus dari antena van yang rusak, tetapi efeknya langsung terasa di sekeliling mereka. Bukan suara ledakan, melainkan suara ketiadaan. Seluruh pria berseragam taktis di depan tiba-tiba berhenti. Radio komunikasi di helm mereka mengeluarkan jeritan frekuensi tinggi yang memekakkan telinga, melumpuhkan koordinasi mereka. Beberapa dari mereka refleks mencengkeram kepala, kaget dan disorientasi.

“Penyu, GAS! Sekarang!” teriak Zega.

Penyu tidak menunggu lagi. Van itu meraung, meskipun ban depannya sudah compang-camping, ia membelok tajam ke kiri. Sasaran mereka bukanlah garis pertahanan di depan, melainkan celah sempit di antara gudang penyimpanan tua dan laut, tempat dermaga kapal penangkap ikan berada.

Saat van itu melaju, Riksa berhasil mengatasi kebisingan itu. Ia mengangkat senapan snipernya dan membidik. Tetapi Zega sudah memperhitungkan hal ini.

“Sasha, merunduk dan pegang erat!”

Zega mengaktifkan perintah terakhir. Van itu tiba-tiba melepaskan cairan hidrolik yang seharusnya digunakan untuk pengereman darurat. Cairan itu menyembur ke aspal, tepat di depan Riksa dan timnya yang baru saja pulih. Riksa, yang mencoba mendapatkan posisi menembak yang jelas, terpeleset. Tembakannya meleset jauh di atas atap van.

Van itu meluncur liar di antara tumpukan jaring ikan dan kotak styrofoam. Mereka hampir menabrak sebuah forklift, tetapi Penyu, dengan keahliannya di jalanan Bali yang padat, berhasil mengendalikan setir.

Mereka mencapai ujung dermaga, tempat air laut yang gelap beriak. Di sana, sebuah kapal penangkap ikan tua yang dicat biru dan putih, bernama 'Si Kancil', terlihat siap berangkat. Kapal itu diikat dengan tali tambang usang, dan seorang pria tua berjanggut tebal, yang Penyu kenal sebagai Kapten Wayan, berdiri di geladak, melambai dengan gugup.

“Kapal!” teriak Sasha, rasa lega membanjiri dirinya.

Namun, Unit Alpha 7 dari belakang tidak mau menyerah. Mobil SUV hitam itu, meskipun baret di sana-sini, melaju ke dermaga, mengabaikan risiko jatuh ke laut.

“Penyu, turunkan aku dekat buritan kapal!” perintah Zega.

Van itu mengerem mendadak di ujung dermaga. Zega, mengabaikan rasa sakit di pergelangan kakinya, membuka pintu van dan melompat keluar, berlari pincang menuju Kapal Si Kancil. Sasha dan Penyu mengikutinya.

Unit Alpha 7 hanya berjarak dua puluh meter. Tembakan mulai terdengar lagi, kali ini mengenai van dan dermaga kayu.

“Cepat! Lepaskan tali tambang!” teriak Sasha kepada Kapten Wayan.

Kapten Wayan sudah memotong tali depan. Saat Zega melompat ke geladak, ia memotong tali belakang dengan pisau lipat. Kapal Si Kancil mulai bergerak, mesin dieselnya menderu, menjauh dari dermaga.

Tiba-tiba, seorang anggota Unit Alpha 7 membuat gerakan nekat. Ia melompat dari SUV dan berhasil mendarat di ujung buritan kapal yang menjauh. Ia mengangkat senjatanya, siap menembaki mereka.

“Zega!” Sasha berteriak, menarik Zega mundur.

Zega melihat ke sekeliling. Di geladak kapal, hanya ada jaring dan ikan yang baru ditangkap. Ia meraih jaring ikan yang berat, dipenuhi pemberat timah dan bau laut. Tanpa berpikir panjang, ia mengayunkannya sekuat tenaga, membungkus pria bersenjata itu.

Pria itu tersandung, senapannya terlepas ke air. Ia berjuang melepaskan diri dari jaring yang basah dan amis. Saat kapal itu membelok tajam, gelombang besar menghantam, dan pria itu, yang terjerat oleh jaring, terlempar ke laut. Kapal Si Kancil melaju kencang, meninggalkan jeritan frustrasi dan raungan sirene di belakang mereka.

...****************...

Setelah sepuluh menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka berada jauh dari garis pantai. Lampu-lampu pelabuhan Bali mulai memudar menjadi titik-titik samar di horizon. Suara mesin kapal yang berirama menggantikan dentuman tembakan dan sirene.

Sasha bersandar di dinding kabin, mengambil napas dalam-dalam. Ia melihat ke Kapten Wayan yang fokus pada kemudi. Penyu, yang terlihat kelelahan, menyalakan sebatang rokok, asapnya hilang tertiup angin laut.

Zega duduk di geladak, memegangi pergelangan kakinya yang bengkak. Sasha berlutut di sebelahnya, memeriksa lukanya yang tergores.

“Kau selalu punya rencana cadangan untuk kekacauan,” ujar Sasha, menyeka darah di tangan Zega dengan tisu basah.

“Kekacauan adalah habitat alami saya,” balas Zega, berusaha bercanda. “Kau juga. Tampil di panggung, menghadapi Paman Hadi, itu… gila. Tapi brilian.”

“Kita berdua gila,” kata Sasha, memberinya sedikit senyuman. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak P3K darurat. “Ini akan sakit.”

Saat Sasha membersihkan dan membalut luka Zega, keheningan di antara mereka terasa berbeda. Bukan keheningan profesional yang dingin seperti di kantor DigiRaya, melainkan keheningan yang intim dan tegang—keheningan dua orang yang baru saja mempertaruhkan nyawa satu sama lain.

“Liontin Bara,” kata Zega, menunjuk liontin yang kini melingkari leher Sasha. “Kau akan menyimpan Final Code itu selamanya.”

“Ini adalah warisan yang menyakitkan,” bisik Sasha. “Bara menjual data. Dia mengkhianati kepercayaan kita demi pendanaan awal. Bagaimana aku bisa menerima itu?”

“Dia melakukan kesalahan fatal yang menjadi kartu truf Paman Hadi,” kata Zega serius. “Tapi dia mati karena dia menolak menjual dirinya kepada Express Teknologi. Dia mati karena dia mencoba memperbaiki kesalahannya. Itu yang penting, Sasha. Dia pahlawan yang cacat. Sama seperti kita semua.”

Sasha menatap mata Zega, mencari kejujuran di sana. Zega, si sinis anti-korporasi, kini justru meyakinkannya tentang integritas mantan tunangannya.

“Jadi, kemana kita akan pergi?” tanya Sasha, mengubah topik pembicaraan, menghindari keintiman yang tumbuh.

“Kita akan ke timur. Pulau Lombok,” jawab Zega, menunjuk ke kegelapan. “Ada desa nelayan di sana yang terpencil. Aku punya teman lama di sana. Kita bisa mendapatkan perbekalan dan bersembunyi. Mereka tidak akan pernah menduga seorang CEO DigiRaya bersembunyi di gubuk nelayan.”

Penyu menghampiri mereka, matanya menyipit ke arah lautan yang luas.

“Tempat persembunyian yang bagus, Zega. Tapi aku tidak yakin kita punya waktu,” kata Penyu, suaranya tegang. Ia menunjuk ke arah buritan, di mana gelombang memecah.

Sasha dan Zega menoleh. Di antara riak ombak dan kegelapan malam, ada dua titik cahaya merah yang bergerak cepat dan memotong ombak dengan kecepatan yang mustahil untuk kapal nelayan biasa.

“Kapal patroli,” bisik Sasha, hawa dingin merayap di tulang punggungnya. “Itu bukan Kapal Penyu, itu kapal perang Express Teknologi.”

Zega meraih teropong malam di kabin. Dua kapal cepat, ramping, dan berwarna abu-abu gelap, melaju kencang ke arah mereka, didorong oleh mesin jet yang kuat. Mereka telah dilacak di tengah lautan.

“Paman Hadi mungkin sudah kalah di darat, tapi Express Teknologi memiliki armada. Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja,” kata Zega, wajahnya berubah gelap. Ia melihat ke arah Kapten Wayan, yang sudah mulai memutar kemudi, berusaha menghindar.

“Kapten, kita tidak akan berhasil melarikan diri dengan kecepatan ini!” teriak Penyu.

“Si Kancil sudah tua, Nak! Dia tidak bisa lari dari monster itu!” balas Kapten Wayan, tangannya mencengkeram kemudi.

Sasha melihat ke kejauhan. Kapal patroli itu kini berjarak kurang dari satu kilometer, dan lampu sorot mereka mulai menyala, menyapu permukaan air.

“Mereka akan menembak kita,” ujar Sasha. “Di tengah laut, tidak ada saksi. Mereka bisa menenggelamkan kita dan tidak ada yang tahu.”

Zega kembali pincang ke kabin. Ia membuka panel kontrol kapal, melihat mesin diesel tua dan sistem navigasi yang primitif. Mereka tidak punya senjata, dan mereka tidak bisa berlari lebih cepat. Mereka hanya punya satu kartu as: kecerdasan Zega.

“Penyu, Kapten Wayan,” kata Zega, matanya berbinar dengan tekad putus asa. “Aku akan melakukan sesuatu yang gila. Kita akan membuat kapal ini hilang dari radar mereka, secara harfiah.”

“Bagaimana? Mematikannya?” tanya Penyu.

“Lebih baik dari itu,” jawab Zega, meraih perkakas di kabin. “Kita akan mengubah Kapal Si Kancil menjadi hantu. Tapi ini akan membutuhkan waktu lima menit. Sasha, kau harus membelikan kami waktu.”

Sasha melihat dua lampu sorot itu kini tepat di belakang mereka, mengunci mereka di lautan. “Bagaimana caranya aku membelikan waktu di tengah laut?”

Zega melemparkan sepotong logam kecil padanya. Itu adalah chip dari pelacak Unit Alpha 7 yang ia cabut dari van. “Kau CEO. Kau pandai bernegosiasi. Cobalah bernegosiasi dengan mereka. Tapi hanya empat menit. Jika mereka mulai menembak sebelum empat menit, kita mati.”

Sasha menatap chip yang dingin di tangannya. Ia harus berbicara dengan para pembunuhnya. Ia harus mempertaruhkan nyawanya lagi, kali ini bukan di panggung, melainkan di kegelapan samudra yang luas.

Saat kapal patroli itu mendekat, memperlihatkan logo Express Teknologi yang menyeramkan di lambungnya, Sasha melangkah ke buritan, menghadapi sorotan lampu yang membutakan, siap melancarkan negosiasi yang paling berbahaya dalam hidupnya.

Kapal patroli pertama melambat, tetapi kapal kedua mulai bermanuver, mengapit Kapal Si Kancil. Dari pengeras suara yang dipasang di kapal patroli, sebuah suara berat dan mekanis bergema di atas lautan:

“Kapal penangkap ikan. Matikan mesin. Jika Anda mencoba melarikan diri, kami akan menganggap Anda sebagai ancaman maritim dan menggunakan kekuatan mematikan.”

Sasha mengangkat tangannya, membiarkan cahaya menembus siluetnya. Ia harus bersandiwara. Demi empat menit.

“Saya CEO Sasha dari Digital Raya! Saya punya tawaran untuk CEO Anda, Ethan Cole!” teriak Sasha, suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh otoritas. “Kami punya bukti yang akan menjatuhkan Express Teknologi!”

Suara berat itu terdiam sesaat. Jeda itu adalah harapan kecil yang dipegang Sasha, sementara di belakangnya, Zega mulai meretas mesin kapal tua itu.

Tiba-tiba, dari kapal patroli yang lebih dekat, bukan suara mekanis yang menjawab, melainkan suara yang akrab dan dingin, suara yang Sasha dengar terakhir kali di BICC, suara Riksa.

“Kami tidak tertarik dengan tawaranmu, Sasha. Kami di sini hanya untuk mengumpulkan sisa-sisa kegagalanmu. Tiga menit tersisa. Jatuhkan senjatamu, atau kami akan tenggelamkan kapalmu tanpa kenangan!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!