NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:420
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6

Sudah hampir satu minggu berlalu sejak makan malamnya dengan Intan, tidak bisa dipungkiri setiap perkataan dan bujukkan yang terlontar dari mulut tantenya berhasil mengganggu pikiran Marvin dan membuat pemuda itu tidak bisa tidur. Perilaku dingin ibunya selama bertahun-tahun membuatnya terus merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada keluarga mereka. Ayah yang mengabaikannya selama ini juga membuat Marvin selalu berpikir bahwa kehadirannya tidak diharapkan. Jika waktu itu bukan adiknya yang hanyut di sungai mungkinkah orang tuanya akan berperilaku sama?

Rasa bersalah, terluka, kecewa, dan kerinduan kepada orangtuanya membuat Marvin tidak dapat memutuskan apa yang harus ia lakukan. Disatu sisi ia merindukan ayah dan ibunya, di sisi lain ia masih merasa bersalah atas kematian adiknya dan kerenggangan keluarganya, ditambah perasaan tidak diinginkan oleh orang tuanya selama bertahun-tahun. Marvin seolah hidup dalam kegelapan yang tidak ada ujung.

Baik Saka dan ibunya seringkali membujuk agar Marvin setidaknya menemui orang tuanya meski hanya sebentar, untuk mengetahui keadaan mereka, Tapi Marvin masih enggan untuk melakukannya.

“Ada kabar tentang bokap gue, Ka?” tanya Marvin ketika Saka memasuki ruangannya. Ruangan Marvin dan Saka memang berada di lantai yang sama.

“belum ada, nanti gue mau jenguk ke rumah sakit. Mau ikut?” Saka melontarkan pertanyaan yang ia sendiri tahu akan direspon dengan sebuah gelengan kepala dari sepupunya itu. “Kapan balik konsul?” tanya Saka kemudian.

“Hari Kamis.” Jawab Marvin singkat, setelah menyadari belum ada update apapun dari sepupunya Marvin kembali fokus pada kerjaannya, hanya cara itu yang dapat ia lakukan agar tidak terus memikirkan hal yang menyesakkan dirinya sendiri.

Saka memutuskan beranjak dan meninggalkan Marvin yang sudah kembali berkutat dengan dokumen yang ada di hadapannya, ia juga harus segera menyelesaikan beberapa pekerjaannya sebelum meninggalkan kantor.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore ketika Saka menyelesaikan laporan yang akan digunakan pada rapat besok pagi, pemuda itu meninggalkan ruangannya dan sebelum kakinya melangkah menuju lift meninggalkan gedung pencakar langit itu sekali lagi ia mendatangi sepupunya berharap Marvin merubah pikirannya.

“Pak Marvin tidak ada di tempat, Pak Saka.” Sabrina bangkit berdiri memberi hormat pada Saka kemudian menyampaikan informasi yang membuat Saka menyipitkan matanya.

“kemana dia?”

“Pak Marvin sedang meeting untuk proyek minggu depan, Pak.” Saka memutar tubuhnya dan meninggalkan Sabrina.

*

“Hai, Om.” Sapa Saka ketika ia sudah berada di samping pembaringan pamannya. Anton yang melihat keponakannya datang tersenyum sambil terus memerhatikan pintu seolah masih ada orang yang akan masuk.

“Bagaimana keadaan Om hari ini?” tanya Saka mengalihkan perhatian Anton yang masih tertuju ke pintu.

“Om sudah lebih baik, nak. Hanya masih diperlukan observasi beberapa hari lagi.” jawab Anton, Saka mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan pamannya itu. “Apa Marvin tidak datang bersamamu?” tanya Om Anton kemudian, karena putra yang ia tunggu muncul dari pintu ruang rawat tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.

“Marvin tidak bisa datang, Om. Dia sedang menghadiri meeting untuk proyek baru yang akan mulai minggu depan.” Saka memberikan alasan semasuk akal mungkin, ia menyadari sedari tadi pamannya masih menunggu kemunculan putranya.

Anton hanya mengangguk lemah, ia tahu jawaban Saka hanyalah alasan yang keponakannya buat untuk tidak membuatnya kecewa.

“Tante Febi kemana Om?” Saka memerhatikan seisi ruang rawat Anton, sedari tadi ia belum melihat tantenya di ruangan itu.

“Sedang keluar makan dengan mamamu.” Jawab Anton apa adanya. Istrinya memang sedang keluar makan bersama Intan, Mama Saka. Mendengar jawaban Anton, Saka hanya mengangguk kemudian mengambil kursi dan duduk di sisi ranjang Anton.

“Bagaimana keadaan Marvin dan kantor?” Saka menoleh dan mendapati Anton sedang menatapnya, menunggunya memberikan kabar baik mengenai putra dari pria paruh baya yang sedang terbaring lemah itu.

“Marvin baik-baik saja, Om begitupun dengan kantor. Marvin benar-benar pekerja keras seperti Om Anton.” Jawab Saka merespon pamannya. “Om tenang saja perusahaan aman, Om. Marvin melakukan tanggung jawabnya dengan baik.” Lanjut Saka lagi. Anton tersenyum mendengar jawaban Saka, ada kelegaan dan rasa bangga mendengar penuturan keponakannya

“Apa Marvin sudah memiliki pasangan?” Anton masih menatap keponakannya, ada rasa ingin tahu yang besar dalam nada suaranya. Tidak bisa dipungkiri ia memang kehilangan banyak momen dengan putra sulungnya sampai melewatkan banyak hal yang mungkin dilalui putranya hanya seorang diri.

“Sepertinya belum, Om. Marvin hanya fokus menjalankan perusahaan.” Mendengar jawaban Saka, Anton hanya memejamkan mata sesaat seolah memikirkan sesuatu namun kemudian ia kembali menatap Saka dan tersenyum.

Suara pintu ruang rawat yang terbuka mengalihkan perhatian kedua orang yang sedang berbincang itu, mengurungkan niat Anton untuk bertanya lebih lanjut mengenai putra sulungnya. Dari balik pintu muncul Intan dan Febi disana.

“Eh, ada Saka.” Suara Febi terdengar memenuhi ruangan yang sesaat hening itu, wanita paruh baya yang dikenal sebagai Ibu Marvin menghampiri Saka dan memeluk pemuda itu.

“Hai, tante. Apa kabar?” balas Saka sambil membalas pelukan tantenya.

“tante baik, nak.” Jawab Febi sambil mengurai pelukan mereka. “kamu datang sendiri?” tanya tante Febi ketika menyadari hanya ada suami dan keponakannya di ruangan itu sebelum kedatangan dirinya dan Intan. Saka mengangguk sebagai jawaban.

“Raut wajah Febi seketika berubah dingin, “Apa memang sejak dulu dia tidak peduli dengan keluarganya?” Perubahan nada suara Febi membuat Anton menghela nafas perlahan, istrinya selalu seperti itu ketika menyinggung putranya, padahal beberapa menit lalu wanita itu masih sangat ramah pada keponakan mereka.

Intan yang melihat perubahan pada raut wajah istri kakak iparnya menepuk bahu Febi pelan, “tidak seperti itu, Mba. Mana mungkin Marvin tidak peduli pada kalian. Tutur Intan lembut, sejak dulu Febi jarang bersikap ramah, perilakunya selama ini lah yang membuat Marvin meninggalkan rumah dan berpikir ribuan kali untuk mendatangi orang tuanya.

“”untuk sekedar melihat papanya saja dia tidak mau, apa namanya kalau tidak peduli?” sahut Febi menimpali jawaban Intan tadi, Intan menghela nafas panjang, ia memutuskan untuk tidak lagi menjawab kakak iparnya itu.

“Marvin ada meeting penting hari ini, tante. Dia juga menitipkan salam untuk Om dan tante.” Kali ini suara Saka terdengar berharap Febi dapat mengerti bahwa putranya memang memiliki kesibukan mendesak.

“Meetingnya memang lebih penting daripada papanya sendiri.” Ketus Febi lagi.

“sudahlah, Marvin bukan tidak peduli dia memang memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, sayang.” Meski ragu Anton pun akhirnya ikut bersuara, memberi pengertian kepada istrinya yang selalu sensitif dengan putra mereka. Anton menyadari kerinduan Febi kepada putranya tapi istrinya itu terlalu gengsi mengakui penyesalannya.

Perbincangan hangat berlanjut memenuhi ruang rawat Anton, kehadiran Intan dan keponakannya cukup membuat Anton lebih baik terutama karena setidaknya ia bisa mendengar sedikit tentang putranya, Putra sulung yang ia rindukan, meskipun ia sadar putranya sudah tumbuh menjadi pria dewasa tapi ia tetap merindukan putra yang dulu sering ia abaikan.

“Sampaikan pada Marvin, kami merindukannya, pulanglah biarpun hanya untuk melihat kami sebentar.” Itu merupakan kalimat terakhir yang Anton katakan sebelum akhirnya Intan dan Saka meninggalkan ruang rawatnya.

*

Saka berjalan memasuki gedung kantor dimana perusahaan keluarga Dirgantara berdiri. Hari sudah malam tapi ia tidak bisa menghubungi dan menemukan sepupunya di apartmen. Satu-satunya tempat yang akan digunakan oleh Marvin sebagai tempat melarikan diri untuk mengalihkan pikirannya adalah kantor dan pekerjaan.

Saka melangkah menuju lantai teratas gedung itu dimana ruangan sepupunya berada. Sesuai dugaannya, sekertaris Marvin masih duduk di meja kerjanya menunggu bosnya untuk pulang dan ruangan Marvin terlihat masih terang.

“Selamat malam Pak Saka.” Sapa Sabrina yang langsung berdiri begitu Saka berjalan menuju kearahnya. Saka mengangguk merespon sapaan Sabrina.

“Pulang saja, Na. Nanti saya yang bicara dengan Marvin.” Perintah Saka meminta sekretaris sepupunya untuk pulang lebih dulu, Saka yakin bahkan Marvin mungkin tidak ingat kalau sekretarisnya baru akan pulang kalau dia meninggalkan ruangannya.

“Terima kasih, Pak Saka.” Ujar Sabrina sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. Saka meninggalkan sekertaris Marvin dan melangkah masuk ke dalam ruangan sepupunya itu.

“kenapa?” tanya Saka setelah mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangan Marvin.

“Bagaimana kondisi bokap gue?” tanya Marvin tidak menjawab pertanyaan Saka. Sejak kepergian Saka ke rumah sakit, pikiran Marvin terus berbicara tentang segala hal yang terjadi adalah kesalahannya, semua perandaian terus berputar di kepalanya, seandainya adiknya tidak mati, seandainya ia bisa menjaga adiknya lebih baik, seandainya ia tidak ada, dan semua seandainya yang terlintas dalam benaknya.

“Om Anton sudah lebih baik, lu sendiri kenapa?” Saka melemparkan pertanyaan yang belum dijawab Marvin setelah mengabari kondisi ayah sepupunya.

“Apa semua gara-gara gue, Ka?” tanya Marvin mulai menjambak rambutnya, rasa frustrasi mulai menghinggapi dirinya.

“tidak, Vin. Berhentilah menyalahkan diri sendiri karena semua kejadian.” Ucap Saka tenang. “Udah yuk, pulang aja, istirahat.” Ajak Saka kemudian. Marvin terdiam sesaat menimbang ajakan Saka untuk pulang. Tapi akhirnya ia mengambil ponsel dan kunci mobil yang tergeletak di meja kerjanya dan mengikuti Saka meninggalkan kantor.

Saka meminta Marvin meninggalkan mobilnya di kantor dan pulang ke apartemen menggunakan mobil Saka. Saka tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan sepupunya nyetir pulang dengan pikiran kacau. Marvin tidak membantah saran dari Saka.

Sesampainya di apartemen, Saka dan Marvin mendudukkan diri mereka di sofa, tidak ada yang memulai pembicaraan. Marvin masih sibuk dengan pikirannya yang ia skenariokan di kepalanya, sedangkan Saka memberikan waktu untuk sepupunya.

“Apa bokap gue kayak sekarang juga karena gue, Ka?” pertanyaan Marvin memecah keheningan yang dari tadi meliputi mereka.

“Kenapa mikir kayak gitu?” tanya Saka tidak menjawab pertanyaan sepupunya. Marvin menggeleng menandakan ia juga tidak tahu kenapa ia berpikir begitu hanya terlintas kalau kejadian itu tidak terjadi ayahnya tidak mungkin sakit.

“Kalau adik gue masih ada, bokap gak mungkin sakit.” Ucapan Marvin berhasil membuat Saka mendorong lengan sepupunya, ia ingin sekali tertawa mendengar ucapan Marvin.

“siapa yang bisa menjamin kalau adik lu masih hidup bokap lu engga punya sakit jantung?.” Balas Saka akhirnya, “bokap lu sakit ya memang karena doi engga jaga pola makannya, bukan karena kejadian yang menimpa adik lu, Vin.” Lanjut Saka lagi. Marvin tidak menjawab ia hanya memejamkan matanya berusaha mencerna perkataan Saka.

“Udah waktunya lu harus berbagi tentang luka lu, Vin. Langkah lu bertemu profesional menurut gue udah tepat, tinggal gimana lu mau terbuka aja.” Saka berucap lagi. Marvin perlahan mengangguk kemudian menyandarkan tubuhnya.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!