Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16 -- bertemu untuk ke dua kali nya
Langit sore mulai meredup ketika Aruna menyalakan mesin mobil sport merahnya. Suara mesin yang halus tapi bertenaga terdengar menggema di garasi perusahaan milik ayahnya. Ia baru saja menyelesaikan rapat panjang—bahunya terasa kaku, tapi ekspresinya tetap tenang. Di balik setelan kerja elegan dan wangi parfum lembutnya, Aruna adalah definisi wanita karier yang tegas, mandiri, dan berkelas.
Ia menatap pantulan wajahnya di kaca spion. Rambutnya yang sedikit berantakan ia rapikan dengan jari, lalu tersenyum kecil. “Hmm… lumayanlah, masih kelihatan anggun meskipun udah kerja seharian. Good job, Aruna,” gumamnya sambil mengedip ke diri sendiri.
Mobil melaju keluar dari gedung Surya Group dengan kecepatan sedang. Jalanan awalnya ramai, tapi semakin jauh dari pusat kota, suasana mulai sunyi. Aruna membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam masuk, menenangkan pikirannya yang lelah. Namun, beberapa menit kemudian, sesuatu terasa aneh.
“Hmm?” alisnya bertaut. Jalanan yang biasanya ramai mendadak lengang. Tak ada satu pun kendaraan di depan atau belakang. Lampu jalan berkelip samar, angin malam berdesir tanpa suara lain.
Bulu kuduk Aruna perlahan berdiri. Tapi bukannya panik, ia justru menarik napas dalam, menatap lurus ke depan dengan tenang.
“Oke, Aruna, ini cuma jalan sepi biasa. Jangan paranoid. Nggak semua hal menyeramkan itu berarti kau bakal diculik, kan?” katanya sambil terkikik kecil, mencoba menenangkan diri sendiri.
Namun, tawa itu langsung hilang ketika di ujung jalan, dari arah tikungan, muncul beberapa motor besar dengan suara knalpot menggelegar. Mereka melaju cepat, lalu berhenti mendadak di tengah jalan, membentuk barikade. Satu mobil hitam dengan kaca gelap mengikuti di belakang, memotong jalurnya.
“Eh…” Aruna memelankan gas, jantungnya mulai berdetak cepat. “Oke, ini… ini udah nggak lucu.”
Dua pengendara motor menurunkan helm mereka. Wajah mereka tertutup masker, tubuh tegap, dan sorot mata tajam mengarah padanya. Sementara dari mobil hitam, seorang pria berbadan besar keluar, mengenakan jas gelap.
Aruna menelan ludah. Ia menatap cepat ke kanan dan kiri, mencari jalan lain—tak ada. Jalan sempit, satu arah, dan kini sepenuhnya dikuasai orang-orang asing itu.
“Astaga…” bisiknya pelan. “Baru juga satu hari kerja lancar, masa udah mau diserang mafia begini?”
Pria bertubuh besar itu berjalan mendekat, langkahnya berat. Ia mengetuk kaca mobil Aruna dua kali. “nona, keluar. Kami hanya ingin berbicara sebentar.”
Nada suaranya datar, tapi mengandung ancaman halus.
Aruna menegakkan punggungnya. Wajahnya yang tadi sedikit panik kini berubah—dingin dan tegas.
“Kalau mau bicara, bisa pakai telepon. Jalan bukan tempat negosiasi, apalagi dengan cara seperti ini,” katanya sambil menatap pria itu melalui kaca mobil.
Pria itu tidak menjawab, hanya menatap tajam. Dari sisi kiri, dua motor bergerak maju, mempersempit ruang gerak mobilnya.
Aruna menarik napas panjang. “Oke, kau minta sendiri…” gumamnya.
Dengan cepat, ia menekan tombol kunci otomatis dan menggenggam setir lebih erat. Tatapannya tajam, wajahnya penuh konsentrasi.
“Kalian pikir aku akan keluar dengan mudah, hah? Salah orang, sayang.”
Tanpa pikir panjang, Aruna menginjak pedal gas dalam-dalam. Ban mobil berdecit keras, dan mobil merah itu melesat maju dengan kecepatan tinggi, menabrak salah satu motor yang terlalu dekat. Suara benturan terdengar, diikuti teriakan pria yang terpental ke pinggir jalan.
“Aku udah bilang jangan ganggu aku kalau aku lagi lapar dan lelah!” teriaknya dari dalam mobil, setengah kesal setengah panik, tapi wajahnya penuh tekad.
Motor lain langsung mengejar dari belakang. Mereka berusaha menyalip, tapi Aruna melambung cepat ke kanan, menyalip mobil hitam yang mencoba memotongnya. Jalanan mulai menurun ke arah lembah kecil, dan Aruna dengan gesit memutar kemudi, nyaris menabrak pembatas jalan.
“Aruna… fokus… jangan panik, kau pernah belajar defensive driving, kan? Ya Tuhan, semoga nggak lecet mobilnya… ayah marah besar kalau lihat bumper lecet lagi!” gumamnya cepat sambil menahan napas.
Salah satu motor menyalip dari kanan, berusaha menendang pintu mobilnya. Aruna menyipit, menekan tombol di setir yang menyalakan klakson keras. Suara itu memekakkan telinga, membuat pengendara motor terkejut dan kehilangan keseimbangan.
“Hah! Kena kau!” serunya, kali ini dengan tawa kecil di tengah adrenalin yang memuncak.
Namun kesenangan itu tak berlangsung lama. Mobil hitam di belakang menambah kecepatan dan menabrak bagian belakang mobil Aruna hingga hampir membuatnya kehilangan kendali. Ia menahan setir kuat-kuat, wajahnya kini benar-benar serius.
“Oke… kalau kalian pikir aku cuma cewek manja yang nggak bisa nyetir—kalian salah besar,” ucapnya pelan, bibirnya membentuk senyum tajam.
Mobil sport merah Aruna melesat kencang di jalan menurun, suara mesinnya meraung tajam membelah udara malam. Wajahnya tegang tapi matanya fokus. Namun, baru saja ia hendak mengambil belokan, terdengar suara aneh dari bawah—seperti letupan kecil yang disusul getaran.
“Eh, apaan tuh…” gumamnya pelan, mencoba menjaga keseimbangan setir. Tapi dalam hitungan detik, roda depan mobilnya oleng hebat.
“ASTAGA!” Aruna berteriak, tubuhnya terhentak ke depan saat mobil meluncur miring. Ia memutar kemudi dengan panik, berusaha menstabilkan arah, tapi suara krak-krak dari ban jelas tak bisa disangkal.
Ia melirik kaca spion—dan matanya langsung membelalak. Di belakang, kilau benda-benda kecil memantul di bawah lampu jalan. “Paku…!? Mereka nyebar paku di jalan!?”
Suara ban pecah terdengar nyaring. Mobilnya berhenti mendadak dengan hentakan keras. Asap tipis mengepul dari roda. Aruna memukul setir dengan kesal.
“Ya ampun! Ini serius banget, aku belum sempat ngerasain jadi istri CEO sempurna, udah mau mati lagi?!”
Dari kaca depan, tampak para pemotor yang tadi mengejarnya sudah berhenti, mengepung mobilnya dari segala arah. Suara mesin mereka meraung, melingkari mobil Aruna seperti hiu mengintai mangsanya.
Salah satu pria memukul kaca depan mobil dengan tongkat besi.
BRAK! Aruna menjerit kecil, tangannya refleks menutupi kepala.
“Ya Tuhan… kalau aku mati lagi, tolong jangan reinkarnasiin aku di dunia penuh orang aneh kayak gini…” ucapnya setengah menangis, setengah jengkel.
Kaca mobil bergetar, suara pukulan bertubi-tubi makin keras. Aruna menatap sekeliling—tak ada jalan keluar. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena kesal.
“Aku udah kerja seharian, udah capek, udah lapar, dan sekarang malah mau dibunuh di tengah jalan! Kalian nggak punya belas kasihan, hah?!”
Ia menunduk, memejamkan mata, napasnya berat. “Oke… mungkin ini waktunya lagi. Aku siap… tapi tolong kali ini, kalaupun aku mati, jangan bikin aku bangun lagi… please… mati ya mati aja udah,mau nyantai di surga sambil ngemut permen kaki” bisiknya lirih, mencoba pasrah pada takdir yang terasa seperti bercanda dengannya.
Namun, sebelum para pria itu sempat memecahkan kaca depan, suara lain tiba-tiba terdengar dari kejauhan—suara mesin rendah dan dalam, berbeda dari motor-motor biasa. Aruna membuka matanya perlahan, menatap ke arah belakang melalui kaca spion.
Cahaya lampu depan yang menyilaukan mendekat cepat, dan dari kabut malam muncul mobil hitam berkilau dengan desain yang… terlalu mewah untuk dunia nyata. Mobil itu berderum halus, tapi auranya seperti binatang buas yang baru keluar dari kandang.
“Mata aku nggak salah liat kan… itu… Bugatti…?!” Aruna menegakkan tubuhnya, mulutnya sedikit terbuka. “Astaga… itu mobil termahal di dunia! Siapa yang nyetir mobil kayak gitu malam-malam di tengah pengepungan begini?!”
Motor-motor yang tadi mengepungnya mendadak berhenti. Semua menoleh ke arah mobil hitam itu dengan wajah tegang. Suara mesin perlahan mereda, dan pintu mobil terbuka perlahan—dengan gaya slow motion yang seolah dibuat khusus untuk menonjolkan aura pemiliknya.
Aruna menatap sosok itu lekat-lekat. Langkah-langkahnya berat, berirama, namun begitu tenang seolah tidak peduli dengan ancaman di sekitarnya. Lampu jalan memantul di permukaan topeng hitam berlapis emas yang menutupi sebagian wajah pria itu—menutupi sebelah mata kanan, hidung, dan sebagian mulut, sementara sisi kirinya tampak jelas memperlihatkan rahang tegas dan kulit pucat dingin.
Entah kenapa, pemandangan itu terasa… familiar.
Aruna memicingkan mata. "Tunggu… aku pernah lihat dia," gumamnya lirih, jantungnya berdetak cepat tanpa alasan.
Pria itu berhenti beberapa langkah di depan, tubuhnya tinggi besar nyaris menutupi seluruh pandangan Aruna yang berdiri di belakangnya. Dari posisinya, wajah Aruna hanya setinggi bahu pria itu
Ia mendongak, menatap punggung bidang yang diselimuti jas hitam panjang, lalu menelan ludah. “Kok rasanya… aku pernah nolong orang ini…”
Kilasan memori menyeruak. Malam resepsinya bersama Leo—
Deg.
“Dia…” bisiknya, mata membulat. “Pria itu…”
Suara logam ditarik memecah lamunannya. Pria bertopeng itu mengeluarkan pistol dari balik jasnya—hitam, ramping, dan memantulkan cahaya redup malam.
Aruna terpaku. Ada aura dingin menguar dari tubuh pria itu, semacam ketenangan berbahaya yang justru membuat udara di sekitarnya seolah berhenti berputar. Ia mengangkat tangan kirinya sedikit, memberi isyarat tanpa menoleh, seperti ingin berkata, tetap di situ.
Aruna, dengan spontan, mengangguk cepat walau pria itu tidak melihat. “Baik, aku diem, aku nggak kemana-mana…” bisiknya gugup, lalu menambahkan pelan,
“Aku cuma nonton aja, sumpah.”
Deru mesin dan langkah kaki terdengar. Beberapa pria bersenjata muncul dari balik semak, menodongkan pistol ke arah pria bertopeng itu. “Berhenti di situ, bajingan!”
Pria bertopeng tidak menjawab. Ia hanya menoleh sedikit, mata kirinya menatap tajam seperti elang. Lalu, tanpa aba-aba, suara tembakan menggema.
Bang!
Bang!
Bang!
Aruna terlonjak kaget dan spontan menunduk di balik mobil. Tapi rasa penasaran lebih kuat daripada takutnya—ia mengintip pelan dari sela kaca yang retak. Gerakan pria itu terlalu cepat. Ia melangkah maju dengan ketenangan mengerikan, menembak dengan akurasi nyaris sempurna, peluru melesat tanpa ragu mengenai sasaran.
Dalam hitungan detik, dua penyerang tumbang. Sisanya berusaha kabur, tapi pria itu tidak memberi kesempatan. Ia berputar, mengokang pistol dengan satu tangan, lalu menembak lagi tanpa mengubah ekspresi.
Bang!
Peluru menembus bahu salah satu pria yang mencoba melarikan diri. Ia jatuh berteriak, namun suara itu langsung hilang ditelan keheningan malam.
Aruna menatap punggung pria itu, matanya membesar. “Astaga… dia bukan cuma dingin, dia dingin banget,” bisiknya pelan, setengah kagum, setengah takut. Tapi di saat yang sama, jantungnya berdetak begitu cepat hingga ia sendiri tak paham perasaannya.
Saat pria itu menunduk sedikit untuk mengganti peluru, Aruna malah berseru tanpa sadar,
“Semangat! Kena dia tuh! Ayo, satu lagi di kanan! Ih, keren banget gaya tembaknya!”
Suara Aruna cukup keras hingga pria bertopeng itu menoleh sedikit ke belakang. Aruna langsung menutup mulutnya cepat-cepat, wajahnya memanas. “Hehe… aku nggak bantu, sumpah. Cuma… ya… nyoraki doang…”
Sorot mata pria itu menusuk sebentar—dingin, tapi anehnya tidak menakutkan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali ke depan, seolah benar-benar fokus menyelesaikan tugasnya.
Tersisa satu pria lagi, berlari menuju motor di ujung jalan. Pria bertopeng itu menarik pelatuk tanpa ragu.
Bang!
Peluru menghantam ban motor, membuatnya terguling dan jatuh menghantam tanah.
Semua hening lagi. Hanya suara angin yang kembali berhembus, membawa aroma asap dan mesin.
Aruna berdiri perlahan, menepuk rok kerjanya yang berdebu. “Ya Tuhan… ini beneran barusan terjadi?” gumamnya pelan. Ia menatap punggung pria itu lagi, menahan senyum kecil yang entah kenapa muncul tanpa alasan.
Pria itu menyarungkan senjatanya, lalu menoleh setengah—menatap Aruna sekilas dari balik topeng. Mata hitamnya berkilat di bawah cahaya jalan. Suara beratnya terdengar rendah, nyaris bergema di dada Aruna.
“Lain kali, jangan pulang sendiri lagi” ujarnya datar.
Nada suaranya seperti perintah, tapi di telinga Aruna terdengar seperti… perhatian.
Ia mengangguk cepat. “I-iya. Maaf… aku nggak bakal ngulangin, sumpah.”
Pria itu menatapnya sebentar lagi sebelum akhirnya berbalik. Ia berjalan menuju mobil hitam yang baru saja berhenti di ujung jalan, jasnya berkibar tertiup angin. Aruna masih berdiri di tempat, menatap punggungnya yang menjauh dengan campuran heran dan rasa tak percaya.
Begitu mobil itu melaju pergi, Aruna menarik napas panjang.
“Ya ampun…” katanya pelan, senyum tipis muncul di bibirnya. “Jadi dia… yang waktu itu aku tolong…”