“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Selama perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa hangat dan penuh tawa kecil. Elvino duduk di balik kemudi dengan tenang, sementara Nayla duduk di sampingnya. Di kursi belakang, Dio bersandar lemah tapi tersenyum, dan Lili, bocah lima tahun yang penuh semangat, terus saja melontarkan pertanyaan polosnya.
“Om, itu gedung apa?” tanyanya sambil menempelkan wajah di jendela.
“Itu kantor, tempat orang-orang kerja,” jawab Elvino penuh kesabaran.
“Kalau itu?”
“Itu restoran. Biasanya orang makan di sana.”
“Om sering makan di situ?”
“Kadang-kadang,” jawab Elvino sambil tersenyum kecil.
Nayla hanya bisa tertawa pelan melihat keakraban keduanya.
Lili memang cepat akrab dengan siapa pun yang membuatnya nyaman, tapi berbeda dengan Elvino, ada sesuatu dalam cara pria itu menjawab setiap pertanyaannya, sabar, dan tulus.
Sejak hari ketika Elvino berjanji kepada Lili bahwa ia akan berusaha membuat kakaknya, Nayla, bahagia, bocah lima tahun itu merasa pria itu benar-benar baik. Dalam hatinya yang polos, Lili menyimpan harapan sederhana, semoga Elvino dan kakaknya bisa selalu bersama.
Begitu mereka tiba di rumah kontrakan, Elvino segera membantu menurunkan barang-barang dari bagasi. Nayla sibuk membantu Dio turun dari mobil, tubuh adiknya itu masih tampak lemah. Sementara itu, Lili sudah lebih dulu meloncat keluar, dan berlari kecil dengan boneka kelinci kesayangannya di tangan.
“Yey… kita sudah pulang!” serunya riang, membuat semua yang mendengar ikut tersenyum.
Namun, senyum Elvino perlahan memudar ketika ia melangkah masuk ke dalam kontrakan itu. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan sempit yang hanya memiliki satu kamar tidur. Dinding-dindingnya tampak kusam dan berjamur, udara di dalamnya lembap dan pengap. Meskipun ini bukan kali pertama ia datang, tapi baru kali ini ia benar-benar memperhatikan tempat itu dengan hati yang tenang.
Ada sesak yang menyeruak di dadanya.
Ia membayangkan bagaimana Nayla dan kedua adiknya hidup di tempat sesempit ini, berjuang setiap hari tanpa keluhan.
Suara lembut Nayla memecah lamunannya.
“Duduklah dulu. Aku buatkan kamu kopi, ya,” ucapnya pelan.
Elvino menoleh, menatap wajah perempuan itu yang tampak lelah tapi tetap berusaha tersenyum. Ia hanya mengangguk dan menuruti ucapannya. Ia duduk di atas tikar anyaman yang sudah mulai lapuk, satu-satunya alas di ruang tamu kecil itu. Tak ada kursi, tak ada sofa, apalagi pendingin ruangan.
Beberapa menit kemudian, Nayla kembali dari dapur, membawa secangkir kopi hangat di tangannya. Uapnya mengepul lembut, memenuhi ruangan dengan aroma sederhana namun menenangkan.
“Silakan diminum kopinya,” katanya sambil menyodorkan cangkir itu.
Elvino menerima dan menyeruputnya perlahan. Rasa kopi itu jauh berbeda dari kopi mahal yang biasa ia minum, tapi entah mengapa terasa jauh lebih nikmat, mungkin karena diseduh dengan ketulusan.
...
Setelah menyesap tegukan terakhir kopi buatan Nayla, Elvino menatap cairan hitam yang tersisa di dasar cangkir. Hangatnya sudah memudar, sama seperti waktu yang terus berjalan tanpa bisa ia hentikan. Ia melirik jam tangannya sekilas, waktu hampir menunjukkan pukul dua siang.
Sebenarnya, ia masih ingin duduk di sana lebih lama lagi, menikmati kehangatan sederhana yang entah mengapa terasa sulit ia dapatkan di tempat lain. Namun, realitas memanggil. Jadwal rapat sudah ditentukan, dan sebentar lagi rekan-rekannya pasti menunggunya di kantor.
Ia menarik napas pelan, lalu bangkit dari duduknya.
“Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lembut sambil menatap Nayla.
Nayla menegakkan tubuhnya, sedikit tergesa, namun senyumnya tetap tenang.
“Terima kasih untuk segalanya.” katanya lirih. Ada ketulusan di balik suaranya, seolah ucapan itu bukan sekadar basa-basi.
Elvino hanya mengangguk kecil.
“Aku yang seharusnya berterima kasih, terima kasih untuk kopinya.” balasnya singkat, sebelum melangkah menuju mobil yang terparkir di depan rumah.
Baru saja ia hendak membuka pintu mobil, sebuah suara kecil yang ceria memecah keheningan sore itu.
“Om! Hati-hati di jalan, ya!”
Elvino menoleh. Di ambang pintu, Lili berdiri sambil melambaikan tangan kecilnya, boneka kelinci yang kemarin ia berikan masih ia peluk erat. Sedangkan Nayla berdiri di sampingnya, dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.
Elvino membalas senyuman itu, senyum yang kini terasa jauh lebih mudah ia lepaskan. Sejak mengenal keluarga kecil itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Wajah yang dulu datar dan dingin kini perlahan mencair, menampakkan sisi lembut yang bahkan ia sendiri nyaris lupa jika pernah ada.
“Jangan lupakan janji kita ya!” seru Lili lagi, dengan nada polos namun penuh semangat.
Ucapan itu membuat Nayla menatap adiknya dengan dahi berkerut.
“Janji apa, Lili?” tanyanya sambil menunduk ke arah bocah kecil itu.
Lili hanya tersenyum misterius. Elvino terkekeh pelan sambil menggeleng.
“Tentu saja, aku nggak akan lupa,” jawabnya.
“Janji apa di antara kalian?” tanya Nayla lagi, menyiratkan rasa ingin tahu.
Elvino menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Ada deh…” jawabnya bersamaan dengan Lili.
Keduanya saling berpandangan dan tertawa kecil. Lili bahkan menutup mulutnya, berusaha menahan tawa geli.
Nayla memutar bola matanya, berpura-pura kesal, tapi sudut bibirnya terangkat menahan senyum. Suasana menjadi ringan kembali, dan tawa kecil Lili menggema di halaman kecil itu, menutup perpisahan sore itu dengan kehangatan yang menenangkan.
Elvino mengangguk singkat, lalu membuka pintu mobil. Sebelum masuk, ia sempat menatap Nayla sekali lagi, tatapan hangat yang hanya berlangsung sepersekian detik, tapi cukup membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat.
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭