kisah cinta di dalam sebuah persahabatan yang terdiri atas empat orang yaitu Ayu , Rifa'i, Ardi dan Linda. di kisah ini Ayu mencintai Rifa'i dan Rifa'i menjalin hubungan dengan Linda sedangkan Ardi mencintai Ayu. gimana ending kisah mereka penasaran kaaan mari baca jangan lupa komen, like nya iya 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Husnul rismawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 34 tragedi di lapangan
Setelah berpamitan pada Ayu dan ibunya, Rifa'i dan Ardi keluar dari rumah Ayu. Mereka berjalan berdampingan menuju tempat parkir motor yang tak jauh dari rumah Ayu.
"Oke, Di, gue duluan ya. Lo hati-hati di jalan," kata Ardi sambil mengulurkan tangannya pantau terus perkembangan Ayu," pesan Rifa'i.
Ardi mengangguk. "Pasti. Lo juga jangan lupa fokus belajar. Jangan sampai pikiran lo ke Ayu terus," goda Ardi sambil tersenyum.
Rifa'i tertawa kecil. "Siap, komandan! Gue usahain," jawab Rifa'i.
Mereka berdua kemudian berpisah menuju motor masing-masing. Ardi menaiki motornya yang berwarna hitam, sementara Rifa'i menghampiri motor Honda Beat miliknya yang berwarna pink dan hitam.
Ardi melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Pikirannya masih tertuju pada Ayu dan Rifa'i. Ia merasa lega karena sudah menceritakan semuanya pada Rifa'i. Meskipun masih ada sedikit rasa bersalah, ia yakin bahwa ini adalah keputusan yang terbaik untuk semua orang.
Sesampainya di kantor, Ardi langsung disambut oleh tumpukan pekerjaan yang sudah menantinya. Ia menghela napas panjang dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya satu per satu.
Meskipun sibuk dengan pekerjaan, Ardi tetap menyempatkan diri untuk memantau perkembangan Ayu. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Ayu, menanyakan kabarnya dan menawarkan bantuan jika Ayu membutuhkan sesuatu.
"Yu, lagi apa? Semangat ya hari ini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama gue," tulis Ardi dalam pesannya.
Tidak lama kemudian, Ayu membalas pesannya. "Makasih, Di. Lo emang sahabat terbaik gue. Gue baik-baik aja kok. Lo juga semangat ya kerjanya."
Ardi tersenyum membaca balasan dari Ayu. Ia merasa senang karena Ayu sudah mulai terbuka padanya. Ia berharap, Ayu bisa segera menyelesaikan masalahnya dan kembali ceria seperti dulu.
Sementara itu, Rifa'i menghampiri motor Beat pink-hitamnya. Ia selalu menjaga kebersihan motor kesayangannya itu. Baginya, motor itu bukan hanya sekadar alat transportasi, tapi juga teman setianya.
Rifa'i menyalakan mesin motornya. Suara mesin yang halus menandakan bahwa motor itu terawat dengan baik. Ia memakai helmnya dengan hati-hati, memastikan terpasang dengan benar. Rifa'i memang selalu mengutamakan keselamatan dalam berkendara.
Rifa'i melajukan motor Beat pink-hitamnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai. Pagi itu, matahari bersinar cerah, menambah semangatnya untuk pergi ke sekolah. Warna pink di motornya sedikit mencolok di antara kendaraan lain, tapi Rifa'i tidak peduli. Baginya, yang penting adalah kenyamanan dan keamanan.
Sambil mengendarai motor, Rifa'i memikirkan tentang Ayu. Ia merasa sedikit bersalah karena selama ini tidak menyadari perasaan Ayu padanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain di sekitarnya.
Sesampainya di sekolah, Rifa'i memarkirkan motor Beat pink-hitamnya di tempat parkir yang sudah disediakan. Ia melepas helmnya dan berjalan menuju kelasnya.
Di gerbang sekolah, ia bertemu dengan beberapa temannya. Mereka saling menyapa.
"Selamat pagi, Pak Rifa'i," sapa salah satu guru, Pak Budi, yang kebetulan berpapasan di koridor.
"Pagi juga, Pak," jawab Rifa'i, tersenyum sopan. Ia memang dikenal sebagai sosok guru BK yang ramah namun tegas, mudah bergaul dengan siapa saja, baik sesama guru maupun siswa. Ia baru saja selesai memarkirkan motor Honda Beat pink-hitam kesayangannya dan sedang menuju ruang BK.
Saat Rifa'i sedang mengobrol ringan dengan Pak Budi, tiba-tiba terdengar keributan hebat dari arah lapangan sekolah yang tak jauh dari sana. Suara teriakan dan dorongan keras memecah keheningan pagi.
"Ada apa itu?" tanya Pak Budi, mengerutkan kening.
Tanpa menunggu lama, Rifa'i langsung tanggap. Sebagai guru BK, nalurinya langsung bergerak. Ia tahu, keributan di lapangan sekolah biasanya berarti ada anak yang berantem.
"Saya cek dulu, Pak!" seru Rifa'i sambil bergegas menuju sumber suara. Langkahnya cepat dan mantap, menunjukkan pengalamannya dalam menangani situasi seperti ini.
Sesampainya di lapangan, pemandangan yang ia duga benar-benar terjadi. Dua orang siswa laki-laki, dengan seragam yang sudah sedikit kusut, saling dorong dan nyaris baku hantam, dikelilingi oleh kerumunan siswa lain yang bersorak-sorai atau mencoba melerai.
Lapangan sekolah pagi ini berubah menjadi arena gladiator. Bukan pedang dan perisai, tapi tinju dan umpatan yang menjadi senjatanya. Kerumunan siswa membentuk lingkaran rapat, wajah-wajah mereka diliputi rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan. Aroma keringat dan adrenalin menguar di udara, bercampur dengan debu lapangan yang beterbangan.
Di tengah lingkaran, Jaka dan Bagas saling berhadapan, seperti dua ekor banteng yang siap bertarung. Jaka, si anak baru yang berani menantang tradisi, mengepalkan tinjunya erat-erat. Matanya menyala penuh amarah, menatap Bagas dengan tatapan menantang. Sementara Bagas, sang penguasa lapangan yang terbiasa menang, memasang seringai meremehkan. Ia merendahkan Jaka dari atas ke bawah, seolah mengukur seberapa besar nyali lawannya.
"Jaka hajar dia , jangan kasih ampun" teriak dari salah satu murid
Suara itu memecah keheningan, menyulut api yang sudah membara di antara kedua siswa. Jaka semakin mengepalkan tinjunya, siap melayangkan pukulan.
"bagas jangan mau kalah tunjukin juga kekuatan mu bikin dia babak belur," suara teriakan dari siswa lain nya
Bagas menyeringai semakin lebar, seolah menikmati tekanan yang ia berikan pada Jaka. Ia melompat-lompat kecil, memancing Jaka untuk menyerang. Jaka tak tahan lagi. Ia maju menerjang, melayangkan pukulan keras ke arah wajah Bagas.
Namun, Bagas dengan sigap menghindar. Pukulan Jaka meleset, membuatnya kehilangan keseimbangan. Bagas tertawa mengejek, lalu mendorong Jaka dengan kasar hingga hampir tersungkur.
dengan nafas terengah engah Jaka berteriak " lo pikir lo siapa hah, jangan mentang-mentang lo anak orang kaya, lo bisa seenaknya sendiri."
Bagas mendengus, lalu membalas dengan nada merendahkan.
bagas pun mendorong Jaka dengan kasar " lo yang siapa anak baru sok jagoan. jangan macem macem sama gue."
Seorang siswa bertubuh kecil mencoba melerai, namun tanpa sengaja terkena sikut Bagas dan terhuyung mundur, meringis kesakitan. Tak ada yang mempedulikannya. Semua mata tertuju pada Jaka dan Bagas.
"udah udah jangan berantem ntar ketahuan pak Rifa'i tamat kalian".teriak salah satu siswa lain nya
Ancaman itu seolah menjadi angin lalu. Bagas semakin bersemangat, ia kembali melayangkan pukulan telak yang mengenai pipi Jaka. Jaka tersungkur ke tanah, memegangi pipinya yang terasa panas dan berdenyut.
"mampus lo rasain tuuhhh".
Jaka bangkit dengan wajah penuh amarah, matanya menyala seperti bara api. Ia melompat ke arah Bagas yang lengah dan mencoba membalas pukulan dengan membabi buta. Namun, Bagas terlalu cepat. Ia dengan mudah menghindari serangan Jaka.
"Woy! Udah woy! Jangan diterusin! Ntar ada yang luka parah!" teriak salah satu siswa lagi dengan panik
Namun, teriakan itu tenggelam dalam riuhnya sorak-sorai dan umpatan. Beberapa siswa mencoba melerai dengan sia-sia, terjebak di antara kedua siswa yang sedang kalap. Sementara yang lain hanya menonton dengan tatapan kosong, tegang, atau justru bersemangat. Mereka seolah lupa bahwa mereka adalah siswa, bukan penonton arena gladiator.
Tiba-tiba, suara menggelegar membelah keributan, membuat semua orang terdiam membeku. Suara itu bukan berasal dari siswa, melainkan dari seseorang yang memiliki wibawa dan kekuasaan.
"CUKUP!"
Semua mata tertuju pada sumber suara. Di antara kerumunan siswa, berdiri Rifa'i, guru BK yang disegani sekaligus ditakuti. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya tajam mengamati kedua siswa yang bersitegang. Suasana langsung berubah drastis, dari riuh menjadi sunyi senyap.
Rifa'i melangkah maju dengan tenang, membelah kerumunan siswa yang langsung memberi jalan. Ia berhenti tepat di depan Jaka dan Bagas, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kalian berdua, ikut saya ke ruang BK sekarang! Dan kalian semua, bubar! Kembali ke kelas masing-masing! Sekarang!"
Tanpa bantahan, kerumunan siswa perlahan membubarkan diri, meninggalkan lapangan dengan perasaan campur aduk. Jaka dan Bagas, dengan wajah tertunduk lesu, mengikuti Rifa'i menuju ruang BK, menyadari masalah besar menanti mereka. Pagi yang seharusnya ceria, berubah menjadi mimpi buruk bagi mereka berdua.