Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Suara bel apartemen yang terus-menerus berbunyi memecah kesunyian malam. Diandra mengerutkan dahi, pandangannya langsung terarah ke jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari.
'Siapa yang datang jam segini?' batinnya gusar.
Sempat terlintas kemungkinan kalau itu Lingga. Tapi ia segera menggeleng pelan, mustahil bukan. Kalau memang Lingga, pria itu tak akan repot-repot menekan bel berkali-kali. Lingga selalu masuk seenaknya dengan kunci yang ia pegang sendiri.
Rasa penasaran yang bercampur cemas membuat Diandra bangkit dari ranjang. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan melewati ruang tamu yang gelap, lalu meraih gagang pintu.
Begitu pintu terbuka, matanya langsung terbelalak. Di sana berdiri James, dengan wajah lelah, memapah tubuh Lingga yang tampak tak sadarkan diri. Kepala pria itu terkulai, nafasnya berat, aroma alkohol begitu menusuk dari tubuhnya.
“Dia kenapa?” suara Diandra bergetar, meski ia berusaha keras terdengar tenang.
“Mabuk,” jawab James singkat, suaranya datar tapi jelas ada nada kesal.
Diandra menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. Antara khawatir, kesal, dan bingung. Ia lalu membuka pintu lebih lebar sambil bergeser ke samping.
“Tolong bawa masuk, Mas. Saya nggak mungkin bisa angkat dia sendirian,” ujarnya akhirnya, mencoba tidak terpancing emosi melihat Lingga kembali dengan keadaan mabuk seperti itu.
James mengangguk, menyeret tubuh besar Lingga dengan susah payah hingga ke ruang tengah, lalu merebahkannya di sofa. Tubuh pria itu tampak lunglai, wajahnya pucat, napasnya berat dan jauh dari sosok tegas yang biasanya ia tampilkan.
James menatap Diandra sejenak, nada suaranya serius, “saya titip Lingga. Saya tahu kalian sedang tidak baik-baik saja… tapi, hanya kamu yang dia butuhkan sekarang.”
Diandra terdiam, keningnya berkerut. “Saya?” tanyanya tak percaya.
James mengangguk mantap. “Kamu istrinya.”
Jawaban itu membuat Diandra menarik napas panjang, lelah. Ironis sekali, sosok yang barusan bertengkar hebat dengannya, kini justru terkapar tak berdaya di hadapannya.
“Saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabari saya.” James berpesan, lalu beranjak pergi.
Diandra mengantarnya sampai pintu, kemudian mengunci rapat-rapat setelah James benar-benar pergi. Saat ia kembali ke ruang tengah, pandangannya jatuh pada Lingga.
Pria itu benar-benar kacau malam ini. Kemejanya kusut, dasinya sudah longgar, sepatu masih melekat di kaki. Sesuatu di dalam diri Diandra mengerut, antara iba dan getir.
“Maaf kalau gue udah jahat sama lo, Lingga… tapi gue cuma pengen lo sadar. Anak bukan solusi dari semua ini,” bisik Diandra pelan. Suaranya hampir seperti doa yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri, agar tak benar-benar sampai ke telinga pria itu.
Tangannya terulur hati-hati, melepas sepatu Lingga satu per satu. Lalu jemarinya menyentuh dasi yang sudah longgar di leher pria itu. Meski sebenarnya tak terlalu mengganggu, ia tetap melepaskannya. Entah kenapa, ia hanya ingin Lingga tidur dengan tenang malam ini.
Setelah memastikan suaminya terlelap, Diandra kembali masuk ke kamar. Ia mengambil iPad dan mulai mencari informasi yang sejak lama menghantui pikirannya—kejadian sepuluh tahun lalu, dan sosok pria yang kini menjadi suaminya.
Bagaimanapun caranya, Lingga adalah suaminya sekarang. Pernikahan mereka sah, baik secara hukum maupun agama, meski proses yang mengantarkan mereka ke titik ini jauh dari kata wajar.
Diandra membuka beberapa email dari Marissa. Di sana terdapat berkas-berkas dan potongan informasi tentang Lingga dan keluarganya.
Dan benar saja, kabar mengenai hubungan retak antara ayah dan anak itu bukan sekadar rumor. Lingga nyaris tak pernah terlihat menghadiri acara perusahaan, bahkan absen dari pertemuan keluarga besar. Anehnya, ia justru menduduki posisi CEO di perusahaan tersebut. Kontradiksi yang terlalu mencolok untuk diabaikan.
Diandra menggulir layar, matanya terhenti pada sebuah artikel lama. Judulnya menyebut insiden memalukan di mana Yudhistira Wijaya—ayah Lingga yang menampar putranya di depan umum. Tak ada penjelasan jelas tentang penyebabnya, hanya spekulasi media yang bertebaran.
Diandra menghela napas panjang. Kalau masalah sekecil itu bisa meledak di depan publik, apa yang bakal terjadi saat keluarga besar Wijaya tahu soal pernikahan kami?
____
Diandra bangun lebih dulu pagi itu. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Lingga yang masih tertidur di sofa ruang tengah. Wajah pria itu tampak damai, seolah tidak menyimpan beban apa pun. Tapi Diandra tahu, kenyataannya jauh berbeda.
Ada sisi dirinya yang kasihan. Tidak ada anak yang benar-benar baik-baik saja tanpa dukungan orang tua. Dan dari sedikit informasi yang ia dapat, Lingga sejak kecil memang tidak pernah memiliki hubungan baik dengan ayahnya. Entah apa pun alasannya, luka itu pasti meninggalkan bekas.
Menghela napas, Diandra memilih beranjak ke dapur. Ia mengikat rambutnya asal, lalu berdiri di depan kulkas sambil bergumam pelan, “Masak apa ya?”
Matanya menangkap beberapa potong ayam. Ia langsung teringat semalam Lingga pulang dalam keadaan mabuk. Akhirnya, ia memutuskan membuat sup ayam hangat. Tidak lupa ia juga menyeduh segelas teh jahe. Setidaknya, ia masih punya rasa kemanusiaan meski hatinya penuh kesal pada suaminya itu.
Begitu selesai, ia membawa sup dan teh ke ruang tengah. Dengan hati-hati diletakkannya di atas meja. Lalu, ia menepuk lengan Lingga tiga kali, cukup keras untuk membuat pria itu terusik.
Mata Lingga perlahan terbuka. Tidak ada sapaan, tidak ada ucapan selamat pagi. Hanya tatapan singkat yang saling bertemu, penuh diam yang terasa lebih berat daripada seribu kata.
"Di minum.” Suara Diandra terdengar datar, nyaris tanpa intonasi. Ia meletakkan segelas teh jahe hangat beserta semangkuk sup di atas meja. Tanpa menunggu respon sedikit pun, langkah kakinya segera menjauh, meninggalkan Lingga yang hanya bisa menatap hening ke arah hidangan itu.
Lingga terduduk sambil memijit pelipis. Kepalanya berdenyut hebat, efek terlalu banyak minum semalam. Ingatannya buram, potongan-potongan kejadian berkelebat tak jelas kecuali pertengkarannya dengan Diandra sebelum akhirnya memutuskan pergi ke bar.
Bar. Tempat yang sebenarnya asing baginya. Tapi semalam pikirannya begitu sesak, seolah satu-satunya cara melepaskan adalah dengan menenggelamkan diri dalam gelas-gelas alkohol.
Lingga menarik napas panjang, menahan sesal yang menumpuk di dada. Ia tahu, mereka berdua sama-sama salah. Namun untuk kembali bersikap seolah semuanya baik-baik saja? Tidak semudah itu. Terlalu banyak luka, terlalu banyak jarak, hingga kata suami-istri kini terdengar begitu asing di antara mereka.
Di ambang pintu kamar, langkah Diandra terhenti. Ia menoleh sekilas, sorot matanya tajam, menusuk hingga ke dasar hati Lingga. Suaranya dingin, tapi penuh ketegasan.
“Cukup sekali kamu datang ke apartemen ini dengan keadaan mabuk seperti semalam.”
Kalimat itu jatuh seperti palu, singkat, tegas, tanpa ruang untuk dibantah.
Lingga terdiam. Kata-kata itu menancap lebih dalam daripada sakit kepalanya sendiri. Lidahnya kelu, hatinya memberontak ingin membela diri, tapi ia tahu semua itu hanya akan sia-sia. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarah sekaligus rasa bersalah yang bercampur jadi satu.
Ia menunduk, menatap teh yang mengepulkan uap tipis di hadapannya. "Entah mengapa, bahkan dalam marahku… kamu tetap membuatku merasa bersalah.”