Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Rahasia Kecil Ivy
Di ruang kerjanya yang luas, Calix duduk bersandar di kursi kulit sambil menatap layar laptop. Trevor masuk dengan wajah menahan tawa, membawa selembar laporan tipis.
“Saya baru menerima laporan dari tim pengawal yang Anda tugaskan untuk mengikuti Nyonya Ivy secara diam-diam,” ucap Trevor, meletakkan map di atas meja dengan rapi. “Ada beberapa hal yang … menarik untuk dibaca.”
Calix menutup laptopnya, Mengangkat alis. “Menarik?”
Trevor membuka berkas itu, lalu membaca dengan intonasi datar seolah benar-benar membacakan laporan resmi. "Nyonya terlihat masuk ke butik mewah bersama rekan kerjanya. Saat salah satu rekan berkomentar tentang harga tas, subjek dengan santainya menawarkan untuk membelikan sebagai hadiah. Rekan-rekan tampak terkejut dan mulai mencurigai nyonya sebagai orang kaya. Nyonya mengalihkan perhatian dengan mengajak mereka ke restoran Jepang di lantai atas."
Calix menatapnya tanpa ekspresi. “… dia benar-benar menawarkan membelikan tas?”
“Betul, Tuan.” Trevor menutup berkas sebentar, Trevor terbahak. “Bukan cuma itu. Di restoran, saat mereka semua syok dengan harga, Nyonya dengan polosnya mengatakan, ‘Bukankah ini normal?’ Dan pada akhirnya … nyonya yang mentraktir mereka semua!”
Calix menutup wajah dengan satu tangan, mendesah berat. “Dia benar-benar tidak bisa menghilangkan kebiasaan lamanya.”
Trevor tertawa makin keras. “Anda tahu apa yang lebih lucu? Rekan-rekan kerjanya sepakat menyimpulkan kalau nyonya itu orang kaya yang bekerja hanya karena bosan.” Ia menirukan gaya orang sok serius. “Kesimpulan pengawal, penyamaran nyaris gagal total karena nyonya terlalu natural sebagai orang berada.”
Hening sejenak, lalu Calix menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat tipis. “Setidaknya mereka hanya menebak bahwa dia orang kaya bosan. Tidak ada yang benar-benar berbahaya.”
Trevor mengangguk sambil menahan senyum. “Benar, Tuan. Namun, bila nyonya terus bertingkah demikian, lambat-laun ada kemungkinan orang-orang mulai menghubungkan identitasnya lebih jauh.”
“Dia memang ceroboh dalam hal ini,” gumam Calix, lalu menyandarkan diri lagi. Senyum tipis yang jarang sekali muncul menghiasi wajahnya.
Calix hanya menghela napas, menutup laporan itu rapat-rapat. Tapi sorot matanya tidak bisa menutupi rasa hangat yang muncul tanpa ia sadari.
“Lanjutkan pantauan. Jangan sampai dia benar-benar ketahuan.”
“Baik, Tuan.” Trevor menunduk hormat, tapi begitu berbalik keluar, ia tidak bisa menyembunyikan senyum tipis di wajahnya.
-
-
-
-
Mansion Theodore
Malam itu, setelah semua selesai, Ivy pulang lebih dulu ke mansion. Begitu pintu besar itu tertutup, suara langkahnya bergema di lorong sepi yang dipenuhi cahaya lampu temaram.
Dia melepaskan sepatu haknya, diletakkan begitu saja di lantai marmer kamarnya. Rasanya tubuhnya remuk. Senyumnya, tawanya, komentar kecil yang ia pakai sepanjang hari untuk "menutupi" semuanya terasa berat.
Ia menjatuhkan diri ke sofa panjang, menutup mata. Sunyi. Hanya bunyi jam berdetak perlahan.
“Aku benar-benar … lelah,” gumamnya lirih, meski tidak ada siapa pun yang mendengar.
Tadi di butik, ia harus tertawa agar tidak tampak aneh. Di restoran, ia harus berpura-pura santai saat teman-temannya mulai menebak-nebak. Semua hal itu kecil, tapi lama-lama menggerogoti tenaganya. Seperti panggung yang harus ia mainkan tanpa henti.
Tangannya terulur, meraih bantal sofa, lalu menekannya ke wajah. “Kenapa aku harus repot-repot menutupi semua ini? Kalau mereka tahu pun … apa yang sebenarnya bisa terjadi?”
Ia tahu jawabannya.
Bukan masalah keluarganya, bukan juga masalah Calix — keduanya tidak peduli. Yang ia takutkan justru sederhana, teman-temannya tidak akan lagi memanggilnya Ivy. Tidak akan lagi bercanda bebas atau mengomel seenaknya.
Tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi celetukan bodoh, tidak ada lagi pertengkaran kecil yang membuatnya merasa — normal.
Mia mungkin akan berhenti ceplas-ceplos. Audriel akan menjaga kata-kata. Daniel akan bicara sopan dengan nada formal. Semua kehangatan itu —akan hilang.
“Aku tidak mau … kehilangan itu,” bisiknya, suaranya pecah. Ia menggenggam bantal erat-erat, matanya panas. “Aku cuma ingin … punya teman. Bukan orang yang sibuk mengingatkan posisiku.”
Untuk pertama kalinya hari itu, Ivy tidak tersenyum. Wajahnya kosong, rapuh, dan jujur—sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan di luar.
Beberapa jam kemudian, pintu kamar terbuka dengan suara mekanis yang tenang. Calix masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya masih rapi meski sudah larut malam.
Pandangan pertamanya langsung jatuh pada sosok Ivy. Tergeletak di sofa, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah tapi tenang dalam tidur. Calix berhenti, diam sejenak, seakan semua kesibukan kantor tadi lenyap begitu saja.
"Dasar ceroboh," gumam Calix halus.
Ia mendekat, berdiri di sisi sofa. Akhirnya ia membungkuk, menggeser bantal dari pelukan Ivy, lalu perlahan mengangkat tubuh istrinya itu. Ivy bergumam kecil, tapi tidak benar-benar terbangun. Kepala mungilnya jatuh ke bahu Calix, membuat napas hangatnya menyentuh leher pria itu.
Ia menurunkan Ivy perlahan ke ranjang besar, menyibakkan selimut. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, menatap wajahnya yang tertidur pulas.
Pandangannya turun ke pakaian kerja Ivy yang masih lengkap. Dengan hati-hati, ia melepas jas tipis yang masih menempel di bahu Ivy. Kancing blus dibuka pelan, satu per satu, tanpa niat membangunkan. Gerakannya tenang, seolah ini sudah jadi kebiasaan.
Ivy menggeliat samar saat blusnya diganti dengan kaus tidur longgar yang selalu ada di lemari. Tapi matanya tetap terpejam, tenggelam dalam lelah. Calix bahkan menurunkan resleting rok dan menyingkirkannya, lalu merapikan selimut hingga menutupi tubuhnya.
Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ivy yang kini tampak lebih nyaman. Jemarinya terulur, mengusap pelipis wanita itu perlahan.
“Kau selalu memiliki cara untuk lelah, ya,” bisiknya nyaris tanpa suara.
Calix kemudian bangkit, mematikan lampu samping ranjang. Namun sebelum benar-benar pergi, ia kembali menunduk sebentar, membiarkan bibirnya menyentuh kening Ivy dengan lembut.
“Tidurlah. Aku yang akan menjagamu.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Besok lagi dilanjutkan dengan yang manis manis eaa wkwk. Aku masih pengen membuat momen2 mereka. Semoga tidak bosan, ya....
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪