Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Tawa yang Asing
Ivy melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe kecil tak jauh dari kediaman Joevanva. Matanya langsung menangkap sosok Gwen yang sedang duduk di kursi dekat jendela. Wanita itu mengenakan gaun longgar, rambutnya tergerai rapi, satu tangannya mengusap perut yang semakin membesar.
“Kau kelihatan seperti tokoh drama — duduk termenung dengan wajah sendu,” celetuk Ivy, menjatuhkan diri ke sofa tanpa basa-basi.
Gwen tersenyum samar. “Haruskah aku menangis juga seperti tokoh drama?"
“Kalau kau mau aku membawamu kabur dari rumah itu, silakan saja.” Nada Ivy tajam, tapi matanya melembut menatap Gwen.
Gwen menghela napas pendek, masih tersenyum walau jelas matanya lelah. “Aku baik-baik saja. Bayinya sehat, itu cukup.”
“Cukup untukmu, mungkin. Tapi aku muak melihatmu pura-pura kuat.” Ivy menyilangkan tangan di dada. “Kau pantas dapat suami yang tahu cara menghargaimu, bukan lelaki beku macam Alec.”
Calix yang dingin dan kaku saja tidak memperlakukan istrinya seperti itu! Bisa-bisanya kakak laki-lakinya berwatak seperti itu.
Gwen terdiam sebentar, lalu menoleh penuh pada Ivy. “Aku tahu dia dingin. Tapi dia tidak jahat, Ivy. Dia hanya … tidak bisa memberiku hal yang aku harapkan.”
“Kenapa? Karena dia dipaksa menikah denganmu? Bahwa kau telah egois karena cinta sepihak yang kau miliki?” ketus Ivy.
Alih-alih tersinggung, Gwen terkekeh lembut. “Alec punya dunianya sendiri, Ivy. Aku tidak pernah ingin mengganggunya.”
Ivy terdiam sejenak. “Kau bicara seperti orang yang sudah menyerah.”
“Aku tidak menyerah,” Gwen menggeleng, suaranya masih tenang. “Aku hanya belajar tidak menaruh harapan yang terlalu tinggi. Itu lebih aman untukku … dan untuk bayi ini.” Tangannya refleks mengusap perut.
Ivy mengetukkan jarinya ke meja, mulai gusar. “Terkadang aku merasa kau sedang menyiapkan sesuatu yang akan membuatku terkejut.”
Senyum Gwen melembut dengan kekehan kecil kembali ia perlihatkan. “Kau berlebihan, Ivy. Aku hanya berhenti memaksa. Mencintai seseorang yang tidak menoleh padamu — kau tahu, rasanya seperti berteriak di ruang kosong. Lama - lama suara sendiri pun tidak terdengar lagi.”
“Apa yang kau pikirkan?” Gwen akhirnya bertanya, saat melihat Ivy tidak merespon dan hanya menatap kearahnya dengan intens.
Ivy bersedekap. “Aku masih mengingat ucapanmu waktu itu.”
“Yang mana?” Gwen menoleh, matanya lembut.
“Kau bilang, kalau tidak salah, kau akan perlahan menghilangkan perasaanmu. Menjaga jarak supaya tidak jatuh lebih dalam.” Ivy mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Pertanyaanku … apa kau sudah siap kalau perasaan itu benar-benar hilang?”
Gwen terdiam sesaat. Menatap cangkir tehnya di meja. Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. “Mungkin itu memang yang terbaik, Ivy. Kalau hilang, aku tidak akan lagi menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.”
Ivy mengetukkan jari ke meja kecil di samping kursinya, nada suaranya ketus. “Kau yakin? Kau tidak takut menyesal, suatu hari nanti, kalau ternyata Alec mulai menoleh tapi kau sudah menutup pintu?”
Ada jeda hening. Gwen menatap adik iparnya lama, senyumnya tidak berubah tapi jelas lebih getir. “Aku sudah terlalu sering berharap. Menyesal atau tidak … itu urusan nanti. Yang sekarang harus kupikirkan adalah bayiku. Dia butuh ibunya tetap waras, bukan hancur.”
Ivy menggertakkan giginya, gusar sendiri. Gwen terlalu tenang, terlalu pasrah. Dan justru itulah yang membuat Ivy merasa ada bahaya yang Alec tak lihat.
Aku tidak akan sudi membantumu, Alec! Lihat saja jika terjadi sesuatu.
...***...
Ivy melangkah keluar dari kafe setelah Gwen berpamitan lebih dulu. Udara sore terasa lebih lembut dibanding hatinya yang penuh kekesalan. Baru beberapa langkah, suara tawa pecah di trotoar.
Dua anak berlari ke arahnya — seorang anak perempuan dengan rambut kepang kembar, dan seorang anak laki-laki yang wajahnya identik. Keduanya kira-kira sepuluh tahun, membawa balon warna-warni.
“Hati-hati!” Ivy spontan menahan balon yang hampir terlepas dari tangan si gadis.
“Terima kasih, Nona!” suara mereka nyaris bersamaan, ceria dan penuh sopan.
Ivy sempat tertegun. Senyum yang dilemparkan dua bocah itu terasa … asing, tapi hangat. Senyum yang tidak pernah ia rasakan di dalam rumah Joevanva, bahkan dari saudara kandungnya sendiri.
“Kalian kembar?” tanya Ivy akhirnya, sedikit kagum.
Anak laki-laki itu mengangguk bangga. “Iya! Aku lima menit lebih tua!”
Anak perempuan langsung memotong, “Tapi aku lebih pintar, kata guru.”
Tawa mereka pecah lagi, membuat Ivy tak bisa menahan senyum tipis di wajahnya. Ada sesuatu yang menekan dadanya, semacam rasa rindu pada hal yang tak pernah ia punya — kehangatan keluarga sederhana.
Seorang wanita datang menghampiri dengan langkah tenang. “Kalian berdua, jangan lari jauh-jauh. Ibu sudah bilang, hati-hati di jalan.”
Anak-anak itu langsung mengangguk patuh, masih dengan senyum polos. Sang ibu lalu melirik Ivy sekilas. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang hanya muncul sekejap sebelum ia tersenyum sopan.
“Ikut Ibu, ayo,” ucapnya lembut sambil merangkul kedua anaknya.
“Maaf, Nona, mereka memang terlalu bersemangat.”
Ivy menggeleng, menunduk menatap kedua anak itu. “Tidak apa. Mereka … menyenangkan.”
Seketika Ivy merasa ada yang aneh di hatinya — semacam kedekatan aneh, meski ia yakin baru pertama kali bertemu mereka.
Anak perempuan melambaikan tangan. “Sampai jumpa, Nona cantik! Semoga kita ketemu lagi!”
Anak laki-laki menambahkan dengan senyum lebar. “Jangan sedih, Nona cantik. Senyum saja, nanti dunia ikut tersenyum.”
Ivy terdiam, hanya bisa menatap punggung kecil mereka yang menjauh sambil masih bercanda. Entah kenapa, kata-kata itu menggema lama di telinganya.
Senyum — dunia ikut tersenyum.
Hal sederhana. Tapi kenapa rasanya begitu hangat— dan begitu asing bagi seorang Ivy Joevanva?
Ivy hanya berdiri, menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya. Tidak ada yang aneh, setidaknya begitu pikirnya.
Namun di belakang sana, wanita paruh baya itu sempat menoleh sekali lagi, menatap punggung Ivy yang menjauh. Lalu, secepat itu pula ia tersadar, mengalihkan pandangan dan kembali menggandeng anak-anaknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
syemangat ka ros /Kiss/
apa itu ibunya ivy?! "/Blush/apa mungkin alec ma ivy lain ibu ataukah ataukah ataukah?!! /Smirk/
jd inget eve kannn yg bocah kembar kayak emy ma lily
lanjut ka... /Kiss//Kiss/
semangat ka ros/Kiss/
up banyak-banyak
smangat 💪💪💪