Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tudingan Tetangga
Setelah pertemuan yang mengharukan di desa, Shanum tidak ingin membuang waktu lagi. Ia segera membawa Mariska pergi dari tempat itu. Setelah mengucapkan terima kasih pada penduduk desa, mereka bertiga, Shanum, Mariska, dan Rivat, kembali ke mobil Rivat. Mariska duduk di pangkuan Shanum, memeluk ibunya erat-erat, seolah tidak ingin melepaskan. Shanum membalas pelukan putrinya, mencium keningnya berulang kali. Hatinya dipenuhi rasa lega dan syukur.
Di sepanjang perjalanan, Shanum masih saja tidak bisa tenang. Perkataan Niar dan Aura, serta kilasan wajah mereka yang dipenuhi kebencian, terus terngiang di benaknya. Shanum melamun, memikirkan apa yang membuat mereka begitu kejam.
Rivat yang menyadari Shanum melamun, menoleh ke arahnya. "Shanum, ada apa? Kamu melamun?" tanya Rivat, suaranya pelan.
"Mas... aku hanya... tidak mengerti," balas Shanum, suaranya parau.
"Tidak mengerti apa?"
"Kenapa Mama Niar dan Aura masih saja bertindak gila? Apa mereka tidak pernah lelah? Kenapa mereka begitu membenciku?" Shanum masih memikirkan kenapa Niar dan Aura masih saja bertindak gila.
Rivat menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Shanum. Mereka sudah kehilangan akal sehatnya."
"Tapi... aku tidak melakukan apa-apa pada mereka. Aku hanya ingin hidup tenang. Kenapa mereka terus saja menggangguku?" Shanum menunduk, air matanya menetes.
Mariska yang merasakan ibunya sedih, menatap Shanum. "Mama, jangan sedih," bisik Mariska, mengusap air mata ibunya.
Shanum tersenyum lemah. "Mama tidak sedih, sayang. Mama hanya... memikirkan sesuatu."
Rivat menatap Shanum dari kaca spion, hatinya dipenuhi rasa iba. Ia tahu, Shanum sudah terlalu banyak menderita. Ia menghentikan mobilnya, lalu menoleh ke arah Shanum.
"Dengar, Shanum," ucap Rivat, suaranya tegas. "Kamu tidak salah. Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini. Niar dan Aura yang salah. Mereka yang jahat."
"Aku tahu, Mas. Tapi... aku takut. Aku takut mereka akan melakukan hal yang lebih buruk lagi," balas Shanum.
Rivat memegang tangan Shanum. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan melindungimu dan Mariska. Aku janji."
Kata-kata Rivat terasa menenangkan, namun Shanum masih merasa khawatir. Ia tahu, Niar dan Aura tidak akan pernah menyerah. Mereka akan terus mencari cara untuk menghancurkannya. Shanum tahu, ia harus kuat. Ia harus berani. Ia harus berjuang untuk hidupnya dan putrinya.
Mobil Rivat kembali melaju. Sepanjang jalan, Shanum terus memeluk Mariska, mencoba memberikan kehangatan dan rasa aman pada putrinya. Di balik kebahagiaan karena telah menemukan Mariska, Shanum tahu, perjalanannya belum berakhir. Perjuangan hidupnya masih panjang. Dan kali ini, ia harus menghadapi Niar dan Aura dengan segenap keberanian yang ia punya.
****
Ruang sidang Pengadilan Agama terasa sunyi, hanya ada suara ketukan palu hakim. Sidang perceraian Wira dan Shanum kembali dilanjutkan. Di sana, Shanum duduk dengan tenang, ditemani oleh Pak Chandra, pengacaranya. Di seberangnya, Wira duduk dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Ia menatap Shanum, berharap Shanum akan berubah pikiran. Namun, Shanum hanya menunduk, tidak berani membalas tatapan Wira.
Agenda rujuk yang sebelumnya sudah diagendakan, kini telah dinyatakan gagal. Setelah berjam-jam lamanya mendengarkan kesaksian dan bukti-bukti, hakim akhirnya memutuskan bahwa tidak ada lagi harapan bagi Wira dan Shanum untuk bersatu kembali.
"Dengan ini, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan cerai dari Nyonya Shanum," ucap hakim, suaranya tegas. "Dan menyatakan bahwa Nyonya Shanum dan Tuan Wira sudah resmi bercerai secara negara."
Suara ketukan palu hakim bergema, menandai akhir dari pernikahan Wira dan Shanum. Hati Wira terasa hancur. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia ingin berteriak, ia ingin memprotes, namun ia tidak bisa. Ia tahu, semua ini adalah kesalahannya.
Shanum nampak tegar dengan keputusan ini. Ia hanya mengangguk, lalu menoleh ke arah Pak Chandra, mengucapkan terima kasih. Di balik ketegarannya, hatinya terasa sakit. Ia masih mencintai Wira, namun ia tahu, ini adalah satu-satunya jalan untuk bisa bahagia.
Setelah sidang selesai, Shanum keluar dari ruangan itu dengan langkah pasti. Wira mencoba mengejarnya, namun Pak Chandra menahannya.
"Tuan Wira, saya rasa Anda tidak perlu mengejarnya," ucap Pak Chandra. "Biarkan dia pergi. Biarkan dia bahagia."
"Tapi... saya tidak mau berpisah dengannya," balas Wira, suaranya parau. Wira nampak masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa ia dan Shanum kini sudah bukan lagi suami istri.
"Keputusan sudah dibuat, Tuan Wira," ucap Pak Chandra. "Shanum sudah terlalu lelah. Dia hanya ingin hidup tenang."
Wira menunduk, air matanya menetes. Ia tahu, ia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Ia tahu, ia sudah kehilangan Shanum selamanya. Di luar ruangan, Shanum masuk ke dalam mobil, lalu pergi. Ia tidak menoleh ke belakang, ia tidak ingin melihat Wira. Ia hanya ingin melupakan semuanya, dan memulai hidup baru.
Shanum, kini seorang janda, merasa lega. Namun, ia juga merasa hampa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah bahagia lagi. Yang ia tahu, ia harus kuat. Ia harus berjuang untuk dirinya sendiri, untuk Mariska, dan untuk keluarganya.
****
Rumah sederhana yang dulu hangus terbakar, kini berdiri kokoh kembali. Dindingnya dicat ulang, atapnya diperbaiki, dan jendelanya diganti. Semua berkat bantuan Rivat. Setelah beberapa minggu tinggal di hotel, rumah Pak Pamuji dan Bu Roro sudah selesai direnovasi. Shanum dan Mariska merasa sangat bersyukur. Mereka tidak perlu lagi hidup dalam ketakutan dan kehampaan.
Pagi itu, Shanum sedang menyiram bunga di halaman, sementara Mariska bermain di teras. Kini Shanum dan Mariska bisa menumpang tinggal di sana lagi. Mereka merasa nyaman, dan Bu Roro serta Pak Pamuji menyambut mereka dengan tangan terbuka. Shanum sudah dianggap sebagai anak kandung, dan Mariska adalah cucu kesayangan mereka.
Pak Pamuji dan Bu Roro sudah menganggap Shanum dan Mariska anak dan cucu kandung sendiri. Mereka tidak pernah membedakan Shanum dan Mariska dengan Rivat. Mereka memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus, membuat Shanum dan Mariska merasa seperti memiliki keluarga yang utuh kembali.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah suara nyaring terdengar dari seberang jalan. Suara itu milik Bu Dini, tetangga yang terkenal julid dan suka ikut campur urusan orang lain.
"Heh! Nyonya Shanum! Sudah jadi janda kok masih menumpang di rumah orang!" teriak Bu Dini, suaranya melengking. "Kau ini tidak tahu malu, ya?! Sudah jadi janda, malah tinggal di rumah keluarga Rivat!"
Shanum terkejut. Ia menoleh ke arah Bu Dini, namun ia tidak menjawab. Ia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran. Namun, Bu Dini tidak berhenti di sana.
"Rivat itu masih perjaka, loh! Kau itu sudah janda! Apa tidak takut digoda, hah?!" teriak Bu Dini. Bahkan Bu Dini menuding bahwa Shanum dan Rivat berzina. "Pasti ada sesuatu di antara kalian, kan?! Anak kecil tidak akan tahu! Tapi aku tahu! Kau ini wanita murahan!"
Mendengar itu, Shanum tidak bisa menahan amarahnya lagi. "Bu Dini! Jaga ucapan Anda!" balas Shanum, suaranya bergetar. "Saya tidak seperti yang Anda pikirkan!"
"Alasan!" teriak Bu Dini. "Dasar wanita murahan! Kau ini biang keladi! Hidupmu hanya bisa membawa masalah!"