Ratna yang tidak bisa hamil menjebak suaminya sendiri untuk tidur dengan seorang wanita yang tak lain adalah adik tirinya.
ia ingin balas dendam dengan adik tirinya yang telah merenggut kebahagiaannya.
akankah Ratna berhasil? atau malah dia yang semakin terpuruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadelisa dedeh setyowati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Istri Yang Diabaikan 22
Pernikahan Andini dan Bagas sebentar lagi akan diselenggarakan. Tidak banyak persiapan yang dilakukan karena pernikahan ini hanya dihadiri keluarga, kerabat dan sahabat dekat calon pengantin. Pun akhirnya Bagas bersedia menemani Andini fitting gaun pengantin meski ia bersikeras akan tetap mengenakan jas yang sama dengan jas yang ia gunakan sewaktu menikah dengan Ratna.
Meski rasanya pahit Andini tetap menerima keputusan Bagas, setidaknya ia masih bisa mengenakan gaun impiannya yang ia desain dengan sepenuh hati, baginya yang terpenting sekarang adalah memenangkan hati Bagas. Andini merasa beruntung ada Ratna yang bersedia membantu Andini di setiap situasi meskipun tidak semua hal Bagas setujui.
Andini mencoba belajar apa arti menghormati calon suaminya. Ia ingin Bagas tahu bahwa ia merespek Bagas. Ia bukan gadis pemberang tapi ia adalah wanita yang akan selalu mendukung apapun keputusan suaminya.
Ini hal yang Ratna ajarkan padanya.
Ya, Andini menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Bagas. Sejak kapan ia tak tahu, mungkin sejak ia tahu ia mengandung benih dari Bagas. Janinnya adalah kekuatannya. Ia akan berusaha sebisanya untuk berjuang demi buah hatinya. Beruntung Bagas mau bertanggung jawab jadi Andini tidak sendirian.
Bayangan keduanya merawat calon bayi yang dikandung Andini menimbulkan perasaan yang semakin mengakar dalam hati Andini.
Ia sudah bertekad ia tidak akan menyerah.
Setelah acara pernikahan nanti ada hal lebih besar yang harus Andini hadapi.
Bagas.
Ya, Andini harus berupaya semampunya untuk bisa menaklukan hati Bagas. Tapi Andini yakin ia akan bisa melakukannya. Ada Ratna yang setia berada di pihaknya.
Bicara tentang Ratna, timbul rasa kagum dalam hati Andini.
Bagaimana bisa ada wanita sebaik dan setulus Ratna, bagi Andini, Ratna menjadi figur istri yang sempurna yang ingin ia tiru. Dan ia percaya Ratna akan membantunya.
“Sampai sejauh mana persiapan pernikahanmu, nduk?” tanya Ibu Andini sewaktu mereka duduk di teras rumah sambil minum teh.
“Semua hampir siap Bu,” Andini menyesap teh-nya.
“Apa ada yang kurang?” kembali ibunya bertanya.
“Dini mau ajak Mas Bagas cari cincin, bu.” Ujar Andini, “Yang kemarin kurang cocok,”
“Bagaimana dengan gaunnya?” imbuh ibunya lagi.
“Dini sudah fitting kok bu, jadi untuk gaun sudah aman,”
“Apakah Bagas menyukai jas hasil desainmu?”
Andini hampir tersedak mendengar pertanyaan ibunya, ia tidak mungkin mengatakan bahwa Bagas enggan mengenakan jas yang ia rancang.
“Mas Bagas juga suka kok bu.”
“Baguslah, sebagai calon suami yang baik seharusnya memang bisa mendengar pendapat calon istrinya. Syukurlah Bagas mau menerima usulanmu, nduk.” Kali ini ibunya yang meneguk teh-nya.
“Iy – iya bu, Mas Bagas sangat menghargai Andini.” Ucap Andini dengan hati yang getir.
Tak lama kemudian ada mobil yang masuk ke pekarangan rumah mereka. Andini yang sudah hapal bahwa itu mobil Bagas tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia senang Bagas setuju untuk datang ke rumahnya dan mencari cincin bersama.
Kali ini ia tidak membawa nama Ratna. Itu berarti Bagas sudah mulai mencoba menerimanya.
Andini segera menyambut Bagas yang keluar dari mobilnya. Ia meraih tangan Bagas dan mencium punggung tangannya.
Perlakuan Andini membuat Bagas sedikit tertegun. Sesuatu yang belum pernah Bagas dapatkan dari Ratna.
“Mas kok diem aja? Ini ada ibuku,” ucap Andini lembut.
Bagas sedikit kaget tapi segera menyalami ibu Andini.
“Kalian mau cari cincin?”
“Iya bu,” Bagas yang menjawab. “Yuk Din, kami pamit ya bu,” Bagas meraih tangan Andini dan menggandengnya.
Tak terkira betapa bahagianya Andini saat Bagas melakukannya, rasa-rasanya ia hampir tak percaya. Sampai dia hampir lupa berpamitan pada ibunya.
“Bu kami pergi dulu,” sambung Andini.
“Hati-hati ya,” ibu Andini tersenyum melihat mereka berdua yang terlihat serasi.
Keduanya masuk mobil dan saat itulah ekspresi wajah Bagas berubah,
“Ini hanya untuk menyenangkan hati orangtuamu,” ucap Bagas dengan wajah dingin.
Sayangnya Andini tidak peduli dengan wajah dan perkataan Bagas yang berubah dingin dengan cepat. Ia menyentuh tangannya yang tadi di gandeng Bagas dan mengelusnya perlahan.
Menciptakan senyum yang hangat di wajah cantik Andini.
Tak lama keduanya sampai di toko perhiasan. Suasana toko terasa hangat dengan lampu-lampu yang menerangi deretan cincin-cincin yang cantik dan berkilau di balik etalase kaca.
Bagi Andini, cincin itu bukan hanya sekadar perhiasan tapi juga akan menjadi simbol cinta mereka berdua. Ikatan yang akan menyatukan mereka.
Meskipun Andini tahu, bagi Bagas cincin itu tak lebih dari sekadar kewajiban dalam pernikahan.
Andini nampak bersemangat, matanya yang bulat meneliti tiap baris cincin-cincin itu. Sampai akhirnya ia menemukan satu yang menarik perhatiannya.
“Mas, coba lihat yang ini. Bukankah ini cantik?” seru Andini menunjuk sebuah cincin.
Bagas hanya melirik dan mengangguk, “Ya cocok.” Jawabnya singkat.
Tapi Andini tak menyerah, “Kalau Mas suka yang mana? Aku mau kita sama-sama pilih. Supaya bisa dikenang. Kan ini akan kita pakai seterusnya,” ujarnya mencoba tetap ceria.
Bagas yang mendengarnya berbalik menatap Andini dengan tajam, “Cincin yang akan aku pakai hanya cincin pernikahanku dengan Ratna. Bukan kamu.” Ujar Bagas dingin.
Andini tertegun sesaat, “Iya Mas. Aku tahu,”
“Bagus kalau kamu tahu, sekarang silahkan kamu pilih yang mana yang kamu suka. Aku ada janji dengan Ratna,” sambung Bagas.
Andini menahan kekecewaan dihatinya lalu tersenyum lagi, “Baiklah, aku pilih yang ini,” tunjuk Andini pada sebuah cincin. “Gimana menurut Mas?”
“Terserah kamu saja,” Bagas memalingkan wajah.
“Iya mba ini aja. Tolong ukir nama kami ya,” pinta Andini.
“Baik, akan saya buatkan pesanan atas nama siapa?”
Andini melirik Bagas, meminta persetujuan tapi Bagas tak peduli.
“Andini ... atas nama Andini.” Ucapnya.
“Baik, cincin akan kami ukir nama kalian dan ini akan selesai 2 hari lagi, mohon bawa kertas ini saat mengambil cincin nantinya,” kata penjaga toko.
“Terimakasih mba,” Andini mengambi kertas itu dan menyimpannya di tas-nya
Andini dan Bagas kembali ke mobil, meski tetap tersenyum tak dapat dipungkiri ada luka di mata Andini.
Bagas duduk di sampingnya, tanpa kata tanpa rasa.
Cincin yang mereka pilih yang seharusnya menjadi simbol cinta mereka berdua – kini hanya tanda sebuah pernikahan yang ada karena keterpaksaan.