NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjebak

“Gimana, Renaya? Tulisannya cocok nggak?” tanya Kinasih, nadanya tegang, seolah telah bersiap menerima kenyataan paling buruk tentang suaminya sendiri.

Renaya mengembuskan napas panjang, telunjuknya masih membolak-balik halaman buku catatan milik Bagantara, membandingkannya dengan surat peninggalan Sandrawi. Setelah mengamati dengan saksama, ia akhirnya menggeleng lemah.

“Beda, Mbak… nggak ada kemiripan,” jawabnya lirih.

Seketika Kinasih menghela napas lega. Guratan tegang di wajahnya perlahan mengendur. “Syukurlah… kalau memang bukan Mas Bagantara yang nulis surat itu,” desahnya pelan.

Setelah memastikan tulisan tangan Bagantara tak ada sangkut pautnya, Renaya berpamitan pulang. Benaknya kini langsung tertuju pada Saras. Perempuan yang sejak awal telah memicu kecurigaannya. Namun, satu kendala mengganjal: Renaya tak punya satu pun contoh tulisan tangan Saras untuk dijadikan pembanding.

Kepalanya terasa sesak, pikirannya buntu. Satu nama saja yang terlintas, satu-satunya orang yang selama ini bisa diandalkan—Dodi. Pria yang tanpa ragu membantunya menyelami segala kebusukan dalam keluarganya.

Tanpa pikir panjang, Renaya meraih ponsel yang tergeletak di ranjang, menekan cepat nomor Dodi. Nada sambung terdengar cukup lama sebelum suara berat yang tak asing menjawab dari seberang.

[Halo?]

“Halo, Dodi… ini aku, Renaya,” sapanya singkat, sedikit canggung.

[Aku tahu… tumben banget kamu nelpon. Ada apa?] sahut Dodi cepat, menyiratkan rasa penasaran.

Renaya bangkit dari tidurnya, duduk tegak di kasur. “Aku… butuh bantuanmu lagi.”

[Apa lagi? Kamu lagi butuh apa sekarang?]

“Kamu sibuk nggak?” tanya Renaya hati-hati, sedikit sungkan karena merasa sering merepotkan Dodi, terlebih setelah kejadian beberapa waktu lalu saat pria itu harus babak belur demi membantu menyelidiki kasus Sandrawi.

Terdengar helaan napas ringan sebelum Dodi menjawab.

[Siang ini sih nggak banyak tugas… kalau kamu perlu bantuan, datang aja ke kantor.]

“Maksudmu… beneran bisa?”

[Iya, aku stand by di kantor. Datang aja, Renaya.]

Tak perlu pikir panjang, Renaya segera mengiyakan. Ia menyambar jaketnya dan bergegas keluar. Sesampainya di kantor polisi, ia langsung mendatangi pos penjagaan. Salah seorang polisi muda segera mengantarkannya menuju ruangan Dodi.

“Terima kasih, Mas,” ujar Renaya sopan sebelum melangkah masuk.

Dodi tengah duduk di balik meja kerjanya, jaket hitam masih melekat di tubuhnya. Ia mengangkat kepala begitu mendengar suara langkah Renaya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanyanya langsung, menatap Renaya yang sudah menarik kursi di hadapannya.

Renaya menyandarkan tubuh, melepaskan napas panjang. “Aku butuh bantuanmu lagi, Dodi…” ucapnya jujur, tak bisa menyembunyikan guratan kelelahan di wajahnya.

Dodi menatapnya dalam diam. Renaya tampak semakin kurus, dengan lingkaran hitam pekat di bawah matanya. Ia bisa membayangkan betapa berat beban yang dipikul gadis itu.

“Soal apa lagi?” tanya Dodi, nada suaranya melunak. “Ibumu udah aku kasih tahu soal obat itu, kan? Udah berhenti minum?”

Renaya mengangguk cepat. “Iya… Ibu udah berhenti sejak aku ceritakan semuanya. Aku juga udah tahu siapa pelakunya…”

Dodi menaikkan satu alisnya. “Siapa?”

“Iparku…” jawab Renaya pelan, suaranya terdengar lelah, hampir seperti gumaman.

“Iparmu?” Dodi mengerutkan dahi, tak habis pikir.

Entah mengapa, hidup Renaya seolah tak pernah luput dari pengkhianatan. Satu per satu orang terdekatnya ternyata menusuk dari belakang. Dodi hanya bisa menatapnya iba.

Renaya menunduk, kedua bahunya merosot seperti menanggung beban berton-ton. “Iya… aku masih belum tahu motifnya. Tapi… jujur, aku capek banget, Dodi… kepalaku rasanya mau pecah…”

“Kamu butuh bantuan apa, Renaya? Ceritakan saja,” ujar Dodi seraya bangkit dari kursinya, memperhatikan wajah Renaya yang terlihat kusut dan letih. “Kamu mau minum apa? Kopi? Tunggu… kamu sudah makan belum?”

Melihat raut wajah Renaya yang pucat dan lelah, Dodi bisa menebak betapa acak-acakan pola makan serta tidurnya belakangan ini. Perempuan itu pasti hanya makan ketika mengingat, atau mungkin tak makan sama sekali, tenggelam dalam pusaran masalah keluarganya yang tak berkesudahan.

“Tunggu sebentar, aku bikinkan minuman dulu.”

Renaya sempat menggeleng, berusaha menolak dengan sopan, namun Dodi tak menggubris. Ia tetap melangkah keluar, membiarkan Renaya termenung sendiri. Beberapa menit berselang, Dodi kembali dengan secangkir teh hangat dan sebungkus roti sederhana.

“Maaf, cuma ada roti seadanya. Tapi kalau mau, kita bisa keluar cari makan,” ucap Dodi sambil menaruh teh dan roti di hadapan Renaya.

“Nggak usah… aku malah jadi merepotkan kamu lagi,” jawab Renaya, raut wajahnya menampakkan rasa sungkan.

Namun, aroma teh hangat yang mengepul dan roti lembut yang tersaji di depannya cukup untuk membuat perutnya bergemuruh. Saat itu juga ia tersadar, dirinya belum menelan apapun sejak malam kemarin.

“Makanlah dulu, Renaya. Aku tahu kamu lapar,” Dodi berkata lembut, sorot matanya teduh.

Tanpa banyak alasan lagi, Renaya mulai menyeruput teh hangat perlahan. Tegukan pertamanya mengalirkan sedikit rasa nyaman di tubuhnya yang lelah. Disusul oleh gigitan roti dengan selai cokelat yang terasa lebih lezat dari biasanya—atau mungkin, karena perutnya memang benar-benar kosong.

“Kamu harus ingat… kalau ingin menyelesaikan semua ini, kamu juga harus menjaga tubuhmu sendiri,” Dodi menegaskan dengan nada tegas.

Renaya tersenyum kecut. “Kalau di rumah, setiap lihat muka Bapak… selera makanku langsung lenyap.”

Dodi menghela napas panjang, penuh rasa prihatin. “Justru karena itu kamu harus jaga dirimu, Renaya. Siapa lagi yang bisa jaga diri kamu selain kamu sendiri?”

Renaya terdiam, menatap roti yang hampir habis di tangannya. Di sela-sela gigitan, ia bergumam, “Gimana caranya supaya mereka bisa dihukum, Dodi?”

“Siapa? Iparmu?” Dodi menatapnya serius.

Renaya mengangguk. “Iya… aku ingin mereka mempertanggungjawabkan perbuatan mereka terhadap Ibu.”

“Untuk itu kamu butuh bukti yang kuat. Kamu punya bukti yang cukup?” Dodi bertanya, bersandar ke kursinya.

Renaya berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponsel. “Apa foto iparku ketemu sama orang yang ngasih obat ke Ibu cukup jadi bukti?”

“Foto seperti apa?”

Renaya menunjukkan foto dari galeri ponselnya—gambar yang menampilkan Bagantara dan Saras sedang bertemu. Dodi mengernyit, matanya mengamati foto yang sedikit buram itu.

“Hanya ini?”

“Iya, cuma ini… sama hasil tes laboratorium yang kamu kasih kemarin.”

Dodi bergumam pelan. “Sebenarnya kamu bisa laporkan mereka, tapi… bukti ini belum cukup kuat. Ibumu masih dalam kondisi baik, jadi polisi tidak bisa bertindak gegabah. Kita nggak berharap ada korban, Renaya… tapi tanpa bukti nyata yang mengarah ke kerugian fisik, kasusnya bisa mentah.”

Renaya mendesah kecewa. “Bagaimana dengan kasus Sandrawi? Dia sudah jadi korban, kan?”

“Itu beda lagi. Kalau kamu punya bukti yang menunjukkan kejanggalan atau keluarga kamu bersedia lapor, kasus itu bisa diproses. Dengan syarat, bukti kamu valid.”

Renaya langsung mengeluarkan dua lembar kertas dari tasnya. “Gimana kalau ini? Surat ‘wasiat’ yang ditinggalin Sandrawi. Tulisannya bukan tulisan dia.”

Dodi menerima lembaran itu, menelitinya sekilas. “Hanya ini?”

Renaya mengangguk lesu.

“Sayangnya, Renaya… kamu salah langkah. Surat ini bisa sangat berguna andai kamu nggak sembarangan pegang,” Dodi menghela napas.

“Maksudmu?”

“Kalau kamu yakin ini surat palsu, sidik jari penulisnya bisa dianalisis. Tapi… karena surat ini udah kamu pegang terus, kemungkinan besar sidik jari penulis aslinya udah rusak atau bercampur,” jelas Dodi dengan nada menyesal.

Renaya menunduk, rasa frustasi menyesakkan dadanya. Bodohnya dia, tak pernah terpikir untuk menjaga surat itu tetap steril.

“Terus… sekarang aku harus bagaimana?” suaranya melemah, kepalanya jatuh ke meja, seolah menyerah.

Dodi menatapnya tajam. “Kamu tahu siapa kemungkinan pemalsunya?”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!