Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania membalas dengan perbuatan yang sama bersama seorang pria bernama Askara, yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Saat tangan Askara menyentuh kulitnya, Rania tahu ini bukan tentang cinta.
Ini tentang rasa. Tentang luka yang minta dibayar dengan kenikmatan. Dan balas dendam yang Rania rencanakan membuatnya terseret ke dalam permainan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Wajah Dingin Askara.
Rania masih duduk di ujung ranjang, masih mematut dirinya di depan cermin... bathrobe putih itu setengah terbuka, memperlihatkan bekas bibir Askara hasil percintaan panas mereka tadi malam.
Perlahan ia merapikan bathrobenya lagi, hendak meninggalkan tempat tidur ketika suara serak dan berat itu terdengar,
"Mau kemana? kamu mau kabur?"
Rania menoleh. Di belakangnya Askara sudah bangun. Rambutnya acak - acakan, matanya mengerjap pelan menahan kantuk. Tapi senyumnya... senyumnya hangat. Tak dingin seperti tadi malam.
"Aku tidak kabur." jawab rania, membalas senyum. "Aku cuma mau minum."
Di balik selimut putih yang melingkari pinggangnya, tubuh Askara yang tegap bergerak malas. Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan udara pagi menyentuh kulitnya. Sejenak ia disana, sebelum berdiri, mengenakan kaus beserta celana piyama dan beranjak mendekati Rania.
Tangannya yang hangat memeluk pinggang Rania dari belakang, menariknya bersandar ke dada.
“Kamu menyesal?” tanyanya lirih.
Rania menggeleng, “Aku tidak menyesal.”
Senyum tipis muncul di wajah Askara. “Bagus kalau begitu. Karena aku juga tidak akan membiarkanmu menyesal.”
Ia membalik tubuh Rania, menciumnya lembut, hangat.
“Ayo ikut. Aku buatkan sarapan,” katanya.
Alis Rania terangkat, sedikit terkejut, “Eh? Kamu... masak? seorang Askara memasak?"
Askara menggandeng Rania, menggiringnya ke area dapur. "Kamu tidak percaya? asal kamu tahu, aku pandai sekali memasak.”
Rania menggeleng cepat. "Askara Julian Atmadja memasak?... Tidak mungkin."
Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor panjang penghubung kamar dan ruangan lain. Sampai di area dapur yang luas dengan interior modern itu, Askara mendudukkan Rania di kursi bar, "Tunggu sebentar, akan aku buktikan." ucapnya lalu mulai sibuk di belakang meja island.
Rania mengangguk ragu. Melihat pria yang biasa dilayani itu menyiapkan masakan, membuat ekspresi Rania berubah - ubah. Kadang tampak kagum, sesaat kemudian berjengit ngeri ketika Askara mulai memotong - motong sayuran dan menyalakan kompor.
"Apa kamu yakin bisa menyalakan kompornya? maksudku... Kamu benar - benar tahu kan caranya menyalakan kompor, menuangkan minyak ke wajan? Tunggu... kamu yakin tahu bentuk wajan seperti apa?"
Askara tergelak, tawa pertama yang Rania lihat selama ia mengenal Askara. Rania terpaku... Tawa itu lepas, seolah melepas beban yang menghimpit dadanya. Entah apa.
Askara meletakkan pisau, berjalan cepat menuju Rania, mencium pucuk kepalanya banyak - banyak. "Kenapa kamu menggemaskan sekali?" ujarnya, kecupan jatuh ke kening., "Haruskah kita bercinta disini juga... sekarang?" bisik Askara menggoda.
Rania terkesiap, wajahnya memerah. Hampir saja bibir Askara mendarat di bibirnya ketika Rania menunjuk kompor yang masih menyala... "Askara, kompornya!"
"Oh shit!!" pria itu berlari kecil menuju kompor, gesit mengambil wajan, meracik bumbu - bumbu. Senyumnya masih mengembang. Senyum yang membuat Rania yakin, Askara tak sedingin tembok es.
Beberapa menit kemudian, penthouse itu dipenuhi bau harum kopi dan roti panggang. Askara berdiri di depan kompor, hanya dengan kaus dan celana piyama, mengaduk telur orak-arik dengan santai.
Rania masih duduk di kursi bar, memandangi punggungnya. Mengamati Askara versi berbeda.
Selesai semua, Askara menyajikan masakannya dengan nampan, telur orak-arik dengan smoked salmon, salad, roti sourdough hangat, jus jeruk segar. Dan kopi hitam untuknya sendiri.
“Coba lah,” ujarnya, sambil duduk di depan Rania.
Rania membuka mulut, menyuap banyak - banyak telur orak - arik, memenuhi perutnya yang kosong, mengganti energi yang dihisap habis - habisan oleh Askara tadi malam
"Bagaimana?" tanya Askara
Rania mengangguk antusias. "Enak.... enak banget." ucapnya, sebelum menyendok lagi. “Aku tidak menyangka kamu bisa masak.”
“Aku bisa melakukan apa saja untukmu, Ran. Kamu tinggal sebutkan apa yang kamu inginkan.”
Rania terdiam. Jemarinya menggenggam sendok erat.
Ada jeda panjang. Seolah dalam tatapan itu, ada janji diam-diam yang tidak terucap.
"Askara..."
"Ya?" respon pria itu, tanpa menoleh. Sibuk mengoles roti sourdough dengan mentega asin dan meletakkannya di depan Rania.
"Tadi kamu bilang... aku bisa minta apa saja darimu, bukan?"
"Ya."
"Aku ingin berubah, Askara."
Kali ini Askara menoleh, meletakkan pisau mentega di tangan. Menatap lurus mata Rania. "Apa yang kamu butuhkan?" tanyanya serius.
Rania mantap berkata. "Pakaian baru, tas, make up, dan semua yang bisa membuatku tidak lusuh lagi."
"Ada lagi?
"Apa permintaanku terlalu banyak?
Askara tertawa kecil. "Permintaanmu terlalu kecil, Ran." ujarnya, "Kamu yakin tidak minta yang lain?"
Rania mengangguk pelan.
"Baiklah, aku atur. Siang nanti... Shela yang akan menemanimu. Kamu sudah mengenal Shela, kan?"
Rania mengangguk lagi. "Asisten yang menghandle urusan proyek Atmadja Holdings dan perusahaan mertuaku, kan?'
Askara menghela napas, wajahnya berubah dingin. "Ya."
"Kamu... tak mau menemaniku?" tanya Rania ragu.
"Aku tidak bisa, ada yang harus aku lakukan siang ini." jawab Askara.
"Oh... baiklah"
Bel pintu depan berbunyi.
Rania terkesiap, refleks turun dari kursi. "Askara..." ucapnya gugup. Bagaimana pun hubungan mereka adalah perselingkuhan. Entah apa yang akan terjadi jika ada orang lain yang melihat mereka.
"Tidak apa - apa. Tidak ada yang bisa naik ke atas tanpa kartu akses dan izin dariku. Itu pasti Dion." ucap Askara tenang.
"Dion? Tapi... Tapi... kalau dia lihat..." ucap Rania semakin gugup.
"Ran... tenang, tarik napas" ucap Askara, menatap Rania dalam - dalam." Dion itu orangku yang paling aku percaya. Tidak akan sedikit pun kata - kata yang keluar dari mulutnya tanpa seizinku."
Rania menghirup dalam - dalam, lalu menghembuskannya pelan, mencoba tenang. Tapi tetap saja... saat Askara berjalan ke arah pintu dan membukanya, Rania melipir. Bersembunyi di balik pilar.
Pintu depan terbuka, Dion masuk.
"Selamat pagi, Pak." ucap Dion, lalu menoleh ke arah pilar, melihat Rania lewat refleksi cermin besar. "Selamat pagi, Bu Rania."
Rania mengkerut, semakin bersembunyi di balik pilar. Menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Dion tersenyum kecil, sebelum menyerahkan tas belanja pada Askara. "Pesanan Bapak." ujarnya.
Askara mengangguk. "Tunggu di bawah."
Dion patuh, menunduk hormat sebelum pamit keluar.
"Keluarlah." ucap Askara setelah menutup pintu.
Rania perlahan keluar, wajahnya sudah semerah tomat.
"Ini untukmu." Askara menyodorkan tas belanja. "Bajumu masih basah, jadi pakailah ini."
"T - terima kasih."
****************************
Masih pagi ketika Rani sudah mandi dan mengganti baju yang Askara berikan tadi. Blouse warna soft dengan celana bahan yang jatuh sempurna membentuk lekuk tubuhnya. Tanpa make up on dan rambut yang di tata, wajah Rania sudah lebih segar.
"Lebih cantik kalau pakai sedikit make up." ujar Rania saat mematut dirinya di cermin.
Rania menghela napas. Bibirnya mengerucut saat melihat label baju yang ia copot tadi. Tidak tertera harga disitu, tapi tadi Rania iseng browsing. Harganya membuat Rania melongo, setara dengan tiga bulan gajinya.
Keluar dari kamar, Rania mendekati Askara yang sedang duduk di balkon. Wajahnya tanpa ekspresi. Dingin. Menatap ke kejauhan. Sekilas Askara tampak seperti patung yang dipahat dengan teliti dan presisi.
"Askara..." panggil Rania.
Askara menoleh pelan, bibirnya tersenyum begitu melihat Rania. "Kamu cantik." ujarnya, sebelum menarik Rania ke pangkuan.
Pria itu memainkan jemari kecil Rania, menciuminya. Sampai ia melihat jari Rania dengan luka kecil.. bekas pecahan beling mangkuk bubur di rumah, insiden dengan Wulan.
“Lain kali, jangan biarkan siapa pun menyakitimu.”
“Kalau aku yang menyakiti diriku sendiri?” goda Rania.
“Aku akan jadi orang pertama yang melindungi kamu. Termasuk dari dirimu sendiri.”
Ucapan itu membuat dada Rania sesak. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini tersobek tanpa ampun, dan ucapan itu seperti menambalnya.
Pagi itu terasa seperti mimpi.
Sampai ponsel Rania bergetar di saku celanan, tubuh Rania menegang begitu nama Niko muncul di layar.
Askara melihat, sekilas saja. Dengan lembut ia mengelus lembut punggung wanitanya.
“Jawab kalau mau. Atau biarkan saja. Kamu punya pilihan sekarang.”
Rania menatap layar beberapa detik. Lalu ia menekan tombol diam.
Ia berdiri. “Aku harus pulang.”
Askara tidak menahan. Ia hanya berdiri, meraih pipinya, dan mengecup keningnya lama sekali.
“Kalau aku bisa, aku ingin dunia ini berhenti pagi ini,” bisiknya.
Rania tersenyum kecil. Lalu ia berbalik, berjalan pelan menuju pintu.
Di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi. Askara mengikuti... berdiri di tengah penthouse, dengan mata yang tak lepas darinya.
Dan untuk pertama kalinya, Rania sadar, ada tempat di dunia ini, di luar rumahnya, di luar keluarganya, tempat di mana ia merasa diinginkan.
*********
Lift penthouse menuju lobby berhenti dengan bunyi lembut. Pintu terbuka.
Rania berdiri mematung sebentar, enggan melangkah. Di balik pintu lift itu, dunia nyata sudah menunggu. Dunia yang penuh dengan pandangan sinis, kata-kata pedas, dan meja makan sempit di rumah Niko.
Ia menarik napas panjang. Aroma kopi yang masih samar-samar terbawa dari atas terasa seperti tangan yang menahan pergelangan tangannya, meminta jangan pergi.
Tapi ia melangkah juga. Lobi gedung sunyi, hanya suara sepatu hak tingginya yang beradu pelan dengan lantai marmer. Begitu pintu kaca otomatis terbuka, udara dingin menyambut, sisa hujan tipis yang masih turun membuat jalanan licin berkilau.
Dan di sana, di depan mobil hitam yang familiar, Dion sudah berdiri tegak. Jasnya rapi, dasi masih sempurna meski hujan menyentuh bahunya.
“Bu Rania,” suara Dion terdengar sopan.
Rania tertegun. “Pak Dion…”
“Bapak menyuruh saya mengantar ibu pulang,” katanya singkat. Ia mengambil payung hitam besar, mendekat. Membukakan jalan agar Rania tidak basah.
Rania sempat menoleh ke atas gedung. Puncaknya hilang tertutup kabut tipis. Seolah ada mata yang melihat dari atas sana, mengikuti setiap langkahnya.
Hatinya mencelos.
Ia duduk di kursi penumpang, memeluk tas di pangkuan. Mobil meluncur pelan keluar dari basement.
Tidak ada percakapan di sepanjang jalan. Hanya ada suara wiper menggesek kaca, dan suara napas Rania sendiri yang pendek-pendek.
Ia menatap jendela, melihat pantulan samar wajahnya di kaca. Ada tanda merah di lehernya yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan di balik kerah. Ada rasa hangat yang tiba-tiba kembali merayap di pipi.
Di balik semua itu, hatinya menolak pergi.
Rasanya ia ingin kembali, menekan tombol lift, berlari ke atas, lalu berkata pada Askara, jangan lepaskan aku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tak lama setelah itu, Askara turun ke basement. Mobil hitam panjang sudah menunggu. Seorang pria paruh baya keluar dari kursi depan, rambut memutih di pelipis, tubuhnya tegap.
“Paman,” sapa Askara pendek.
“Ke tempat biasa?”
“Ya.”
Askara mengenakan coat panjang berwarna arang di atas kemeja gelap. Malam tadi masih terasa di tubuhnya, tapi ekspresinya kini dingin. Pintu mobil tertutup, dan kendaraan itu meluncur keluar kota.
Jalan-jalan makin sepi. Bangunan beton berganti pepohonan. Hujan tipis mulai turun lagi, menaburkan kilap tipis di kaca. Di kejauhan, sebuah gerbang besi tinggi menyambut.
Pemakaman elit itu sunyi. Pohon-pohon besar menaungi jalan setapak, rumput dipangkas rapi, udara dingin seperti menyimpan rahasia.
Mobil berhenti di sebuah sudut. Tidak ada orang lain di sekitar.
Askara turun. Ujung coat-nya diterpa angin, berkibar pelan setiap langkah. Sepatunya menjejak tanah basah.
Di depannya berdiri batu nisan marmer putih, sederhana, bersih.
Nisan bertuliskan nama Sarah Julian. Tidak ada tambahan kata. Hanya nama.
Ia berdiri diam, menatap nisan itu. Tidak bergerak, seperti sedang menahan sesuatu di dadanya.
Paman Arju menyusul dengan langkah tenang. Berhenti di sampingnya, menunduk sebentar.
“Sudah lama sekali, Nak,” katanya lirih. “Berhentilah membawa semua ini sendirian. Yang lalu biarlah berlalu. Dendam cuma akan menelanmu.”
Hening panjang. Angin berembus lagi, membawa aroma tanah basah. Coat panjang Askara berkibar, menambah bayangan panjang tubuhnya di atas rerumputan.
“Aku tidak bisa, Paman,” suaranya rendah, nyaris tanpa emosi.
Ia menatap lurus pada nama di nisan itu.
“Kalau aku melepaskan ini, siapa yang akan menegakkan semua yang sudah hancur?”
Paman hanya menarik napas dalam, lalu diam. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
Di atas rerumputan hijau itu, dua sosok berdiri memanjang di bawah langit kelabu.
Askara tidak bergerak. Waktu berjalan, tapi ia tetap di sana, seolah tak ada yang lain di dunia ini selain nisan putih dan nama yang terukir di atasnya.
(Bersambung)...
rugi klo kmu ,patah hati ...
patah tumbuh hilang bergati
yg lebih baik banyak di luar sna ...
biar tau rasa lelaki bodoh yg ,
sdh mendustai mu...
liat kmu bahagia dan sukses..
biar askara belajar menghargai seorang wanita...dah tau Rania ngga punya siapa", tdk dianggap mertua dan suaminya, diselingkuhi lagi...ni malah menambah luka...
monipasi untuk maju ,biarkan berlalu
jangan jd kn untuk penghalang untuk maju .
buktikan kesuksesan walau tampa mereka ..jangan putus asa ...
klo cari pasangan ,selexi dulu sebelum.
rania berikan hati..jangan patah hati rugi...
masih banyak yg lebih baik dri sebelum x
next thor
secepat x rania mencium x .dan pergi sejauh mungkin ,dan menemukan orang tulus ingin bersamamu mu rania
dan setia siap menjadi frisai mu..rania..