NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Era Kolonial
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!!!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading Guyss🌷🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEHANGATAN YANG TAK TERDUGA

Ketukan lembut terdengar di pintu paviliun tabib.

“Fyona, tolong bukakan,” suara itu tenang, namun Fyona langsung mengenalinya. Ada kilau di matanya saat ia bangkit dari kursinya, gaunnya yang sederhana berdesir ringan ketika ia melangkah ke arah pintu itu.

Saat dibuka, sosok Daren berdiri di ambang, membawa bau angin sejuk dan jejak peluh yang samar. Rambut peraknya agak berantakan, dan pipinya… merah padam seperti apel yang baru dipetik.

“Daren!” seru Fyona girang. Ia langsung menarik tangan gadis itu masuk. “Sini, cepat masuk!"

Daren mengangguk, agak malu. Di dalam, ruangan hangat itu penuh dengan aroma akar kering dan minyak wangi herbal. Beberapa tabib muda duduk membungkus ramuan atau menyalin catatan, semua mengenakan pakaian bersih warna krem dan biru pucat.

Beberapa dari mereka melambai atau menyapa ramah, “Halo, Daren!”

Gadis itu membalas dengan senyum kecil dan canggung. Tempat ini… terasa seperti rumah sakit dan rumah sekaligus. Terlalu bersih dan terlalu hangat dibanding barak keras tempat ia biasa berlatih.

Di sudut ruangan, Karin berdiri membelakangi meja, menyalin sesuatu di buku besar. Rambutnya disanggul rapi dan jubah tabibnya melambai pelan saat ia menoleh. Matanya langsung memperhatikan pipi Daren yang merah cerah.

“Kau pasti sudah berlatih, ya?” ujarnya tanpa basa-basi. “Lihat pipimu, sangat merah. Jangan bilang kau tidak sempat sarapan.”

Daren hanya menunduk. Ia tahu tak ada gunanya berbohong di hadapan Karin. Tabib itu bisa membaca tubuh manusia layaknya halaman terbuka.

Fyona terkikik di sebelahnya. “Daren itu memang keras kepala. Tapi kau lihat sendiri kan? Dia sudah jauh lebih baik.”

“Duduklah,” kata Karin sambil menarik bangku rendah ke arah Daren. “Aku akan membuka perban di kepalamu.”

Daren patuh, duduk perlahan. Tangannya mencengkeram lutut celananya saat Karin mendekat, gerakan jemari perempuan itu begitu hati-hati dan terlatih.

Saat kain dibuka perlahan dari kepala Daren, aroma herbal dan minyak pohon pinus menyebar di udara.

“Lukamu mulai mengering,” gumam Karin, menatapnya dengan sorot lega. “Tapi masih akan terasa nyeri beberapa hari. Jangan terburu-buru menantang siapa pun dalam duel, ya?”

Daren mengangguk sekali lagi.

Karin tersenyum tipis, lalu menepuk pelan bahu gadis itu. “Aku senang kau datang kemari. Tak semua kesatria muda punya keberanian mengakui bahwa mereka juga perlu dirawat.”

Daren menggenggam tangannya di pangkuan. Lalu, pelan-pelan, berkata, “Bukan hanya tubuh yang sedang belajar… hatiku juga.”

Fyona yang duduk tak jauh, memandanginya dengan bangga.

Karin menatap Daren sejenak, sebelum berbalik mengambil salep baru. “Bagus. Karena hanya mereka yang mengizinkan dirinya belajar… yang pantas memimpin suatu hari nanti.”

Ia berdiri dari bangkunya, langkahnya ringan namun mantap. Berjalan ke sudut paviliun tempat sebuah nampan kayu berisi beberapa makanan sederhana tersusun rapi, roti gandum hangat, irisan buah apel merah, dan semangkuk sup bening yang masih mengepulkan uap pelan.

Daren hanya memandang sekilas, kemudian bangkit dari duduknya.

“Saya… akan makan nanti di barak,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Karin menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Nanti?” tanyanya, seolah tak mengerti kata itu. “Kau baru saja dibuka perbannya. Tubuhmu butuh tenaga untuk memulihkan diri.”

“Saya tak ingin merepotkan, Tabib. Saya...”

Namun sebelum Daren menyelesaikan kalimatnya, Karin telah melangkah cepat dan menarik lengan gadis itu, mendorongnya duduk kembali dengan lembut namun tegas.

“Nak, dengar,” ujarnya pelan, namun tajam. “Kau boleh sekeras baja di medan latihan, tapi di sini, di tempat ini, kau tetap seorang anak yang sedang tumbuh. Tubuhmu bukan mesin. Ia harus diberi makan, dirawat, disayangi.”

Daren menunduk, bibirnya mengerucut. Ia bukan tipe yang suka dilayani. Tapi… di hadapan Karin, bantahan seperti kehilangan kekuatannya.

Fyona tersenyum kecil sambil mengambil sendok dan menyodorkannya ke tangan Daren. “Lagi pula, roti ini sangat enak. Aku ikut makan juga, jadi kau tak sendiri.”

Daren menghela napas singkat, lalu mengambil semangkuk sup hangat dari tangan Karin. Uapnya menyentuh wajahnya seperti pelukan hangat di pagi musim gugur.

“Saya memang lupa makan pagi,” gumamnya, mengakui dengan suara kecil.

“Lain kali jangan tunggu sampai lukamu yang mengingatkanmu,” sahut Karin sambil duduk kembali. “Kami di sini tak hanya menyembuhkan luka… kami juga menjaga agar kalian tak jatuh karena hal-hal sederhana seperti kelaparan dan kelelahan.”

Daren mulai menyuap makanannya. Perlahan, rasa asin dan gurih dari sup itu membangkitkan rasa nyaman yang telah lama ia abaikan. Dan untuk sesaat, ia membiarkan dirinya menjadi anak remaja biasa yang sedang makan, dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya.

Namun, di balik suapan hangat yang perlahan mengisi perut kosongnya, rasa tak nyaman mulai merayap di hati Daren, diam-diam, pelan, tapi pasti. Seperti bayangan yang mengintai di sudut terang, kegelisahan itu muncul tanpa alasan jelas, namun cukup kuat untuk membuat dada sesak.

Tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar. Ia mencoba mengabaikannya, menatap mangkuk sup seolah mencari jawaban di dalam cairan bening itu. Tapi pikiran-pikiran tak diundang datang seperti arus deras, tentang waktu yang terbuang, tentang latihan yang tertinggal, tentang harapan yang belum ia penuhi.

Sesekali, Daren melirik ke arah Karin. Wajah perempuan itu tampak tenang, matanya memantau sambil sesekali mencatat sesuatu di buku tebal di hadapannya. Saat tatapan mereka bertemu, Karin tersenyum, hangat dan sabar seperti matahari di balik kabut.

Karin mengangguk pelan, seolah berkata, "Tak apa. Kau boleh tenang. Untuk sekarang, cukup bernapas dan makan."

Daren buru-buru menunduk kembali, sedikit malu karena ketahuan. Tapi anehnya, senyum itu, yang sederhana namun tulus, membuat kegelisahan dalam dadanya perlahan mereda. Tidak sepenuhnya hilang, tapi cukup untuk membuatnya bisa menelan makanan tanpa beban.

Mungkin… tak semua hal harus diselesaikan dengan berlari atau menebas. Mungkin ada saat di mana menerima perhatian juga bagian dari kekuatan.

Tuk, tuk.

Pintu diketuk lagi, dua kali, ringan tapi tegas.

Karin menoleh. Fyona yang berdiri tak jauh segera melangkah ke depan dan membukanya. Sosok Kanel muncul di ambang, membawa aura komando yang tetap terasa meski senyumnya santai.

“Karin…” panggilnya, namun kalimat itu terputus ketika pandangannya jatuh pada Daren, yang tengah menyendok makan dengan sedikit kikuk.

“Oh? Lihatlah ini.” Nada suaranya berubah geli. “Komandan, anakmu ternyata melupakan makan sampai siang begini.”

Daren menunduk, malu. Karin hanya terkekeh pelan sambil menutup bukunya.

Kanel melangkah masuk dan tanpa ragu menarik kursi, duduk tepat di samping mereka. Gerakannya tenang, penuh wibawa, namun tak kaku.

“Selamat siang, Komandan.” Fyona membungkuk hormat dengan sopan.

“Selamat siang, Fyona.” Kanel membalas dengan anggukan. “Hari ini aku terlalu lama terjebak di ruang kerja. Bahkan lupa ke barak. Tapi mungkin itu keberuntungan juga, karena makanan buatan Karin jauh lebih enak dari pada makanan di sana.”

Karin meliriknya dengan ekspresi tak percaya, tapi tak berkata apa-apa. Hanya gelengan kecil dan senyum tipis yang ia berikan.

Kanel menoleh pada Daren. “Makanlah yang banyak. Tubuhmu sedang tumbuh, dan kau butuh tenaga lebih dari siapa pun.”

Daren mengangguk pelan. Entah kenapa, ucapan Kanel yang ringan justru terasa seperti pelindung. Ia melanjutkan makannya dengan lebih tenang.

Lalu, dengan nada yang lebih rendah namun tidak kalah serius, Kanel bergeser sedikit ke arah Karin dan berkata, “Nanti malam, temui aku di ruang kerjaku.”

Karin tidak bertanya. Ia hanya mengangguk sekali, matanya sebentar menatap mata Kanel, cukup untuk menangkap bahwa ini bukan sekadar urusan administratif biasa.

Karin berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke rak sisi ruangan tempat beberapa toples kaca berjajar rapi. Ia membuka satu per satu, memilih kue-kue kecil berwarna keemasan yang wangi mentega dan rempahnya langsung menguar.

Sambil tersenyum, ia membagikan sebagian kue ke para tabib muda di ruangan, yang segera menyambut dengan sorak kecil dan ucapan terima kasih.

Lalu, ia kembali ke meja tempat Daren, Kanel, dan Fyona duduk. Ia meletakkan piring berisi kue-kue itu di tengah mereka.

“Makanlah yang banyak,” ujarnya dengan nada ringan, namun tetap terasa penuh perhatian seorang ibu. “Ini baru keluar dari oven pagi tadi, sebelum semuanya sibuk.”

Daren menatap piring kue itu sejenak. Kue-kue kecil berwarna coklat muda, sebagian bertabur gula bubuk, sebagian lainnya diisi selai buah. Ia mengambil satu, mencicipi perlahan. Rasa manisnya lembut, tidak berlebihan, hangat seperti suasana di sekelilingnya.

Fyona mengambil dua sekaligus, lalu mengangguk puas. “Ini yang isi kayu manis? Hmm… selalu jadi favoritku.”

Kanel mengambil satu dan menggigit setengahnya. “Masih seperti dulu. Tidak berubah.”

Karin tersenyum samar, namun matanya tetap memperhatikan Daren. Gadis itu kini makan dengan lebih santai, bahkan mengunyah sambil sesekali mencuri pandang pada mereka bertiga, seolah tak percaya ia kini duduk dan makan bersama orang-orang yang selama ini hanya ia dengar lewat cerita dan nama besar.

Di luar, matahari mulai bergeser, sinarnya jatuh miring menembus jendela dan mengenai lantai.

Suasana itu terasa seperti sore keluarga yang sederhana, meski tidak ada yang benar-benar memiliki darah yang sama.

1
Duchess
Woy Therando, ma gua aja dansanya😭😭
piuuu
sapa yg naro bawang disinii 😭🥺
Anonymous
gak nyangka Jaden bisa ngomong terbata-bata👀👀
Na_!na: manusia ka, sama-sama makan nasi☺☺
total 1 replies
__Taezhint
ceritanya keren+seru
__Taezhint
black or blonde?
piuuu
uda la pulang yu pulang 😭
piuuu
biasaa pahlawan datengnya akhirran
piuuu
smngtt kalian 🥺❤️
piuuu
resah bngt gua thorr 😭
piuuu
fyona 😭🫰
piuuu
😍😍
piuuu
petrus suruh resign aja thor 🙏
piuuu
gelisah bangt bacanya 😭😭😭
piuuu
petrus petantang petenteng bngt 😭🤏
piuuu
ampun dah si beston nyari burung doang repot nya kaya emak" 😭
piuuu
kanell 😍
piuuu
jenderal aldren moga hari mu senin trus 🤗
piuuu
petruss si paling sempurna. iya 🙄
piuuu
🥺🥺
piuuu
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!