Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sempat ragu
‘Obat cinta adalah cinta, karena hati yang patah hanya sembuh oleh denyut kasih yang lain.’
Kalimat itu seolah menggambarkan isi hati Camelia dan Sena. Keduanya menyimpan trauma. Sama-sama takut untuk memulai kembali, apalagi mempercayakan hati setelah pernah dikhianati masa lalu.
Namun, waktu telah membuktikan, Sena tak hanya berhasil mengetuk hati Camelia, tapi juga memeluknya erat dengan kesungguhan. Camelia bukan sekadar mahasiswinya lagi, melainkan kini, tunangan yang dicintainya dengan penuh rasa syukur.
Tapi, ada satu pertanyaan yang mengganggu benaknya. Apa aku egois kalau ingin hubungan ini terbuka di hadapan semua orang? gumam Sena dalam hati.
Setelah semalaman berpikir, ia akhirnya mengambil keputusan. Bukan karena malu, apalagi menyesal. Tapi karena ia ingin melindungi Camelia.
Sena paham betul bagaimana mulut mahasiswa bisa lebih tajam daripada pisau. Ia tak ingin Camelia menjadi sasaran gosip, hinaan, atau candaan yang tidak pantas. Apalagi banyak mahasiswa yang diam-diam mengaguminya.
Pagi ini, semuanya terasa lebih ringan. Langit cerah, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Sena melangkah ke kampus dengan senyum sumringah. Ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di koridor kampus, ia menyapa mahasiswanya dengan anggukan dan suara hangat.
"Selamat pagi," ucap Sena, sambil melintas dengan senyum tenang menuju ruang dosen.
Salah seorang mahasiswa nyaris menjatuhkan bukunya. "Astaga... Pak Sena nyapa aku barusan? Ini mimpi semalam atau kenyataan?" katanya dengan mata membulat penuh semangat.
Ya, beginilah reaksi mereka. Sebab, selama ini Sena lebih dikenal sebagai dosen yang dingin dan kaku. Tak banyak bicara, dan selalu fokus pada materi. Senyum pun nyaris tak pernah muncul di wajahnya. Maka, pagi ini menjadi hari yang bersejarah bagi sebagian mahasiswa Fakultas Fashion dan Design.
Di sisi lain kampus, Camelia baru saja turun dari mobil. Seperti biasa, penampilannya sederhana, tapi mencuri perhatian. Ia berjalan cepat, menghindari keramaian, dan hanya fokus menuju gedung kuliah.
“Mel!” panggil seseorang dari kejauhan.
Camelia menoleh, sudah sangat mengenali suara itu. Benar saja, Giovani tengah berlari menghampirinya.
“Hai, selamat pagi,” sapa Camelia, tersenyum lembut.
“Pagi. Kamu gimana, udah sehat?” tanya Giovani sambil mengatur napasnya.
Camelia mengangguk. “Iya, baik. Kamu sendiri?”
“Baik juga,” jawab Giovani, meskipun matanya kini fokus pada sesuatu yang lain. Pandangannya tertuju ke leher Camelia. “Ada yang beda dari kamu... Oh, ternyata kalung itu,” ujarnya, tersenyum.
Camelia memegang kalung kecil berlian yang menggantung manis di lehernya. “Bagus, nggak?” tanyanya malu-malu.
“Bagus banget. Cocok sama kamu,” jawab Giovani.
“Syukurlah. Yuk, masuk kelas.” Camelia menarik tangan Giovani, tanpa sadar membuat seseorang di kejauhan menatap tajam ke arah mereka.
Di ujung koridor lantai dua, Sena berdiri membeku. Pandangannya tak lepas dari tangan Camelia yang menggenggam lengan Giovani. Ia menghembuskan napas keras, mencoba menahan gelombang cemburu yang tiba-tiba menyeruak.
Bolehkah aku cemburu? Bukankah Camelia sekarang milikku? Tapi... apakah ini normal? batinnya kalut.
Sena tahu dirinya. Ia bisa sangat posesif saat sudah mencintai. Terlebih pada sosok seperti Camelia, gadis yang diam-diam ia kagumi selama dua tahun terakhir. Gadis yang begitu ia lindungi, yang telah membuatnya jatuh cinta tanpa suara.
Setelah segala upaya dan keberanian untuk mengutarakan perasaan, tentu saja ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tidak setelah ia tahu betapa berharganya Camelia bagi dirinya.
Tapi apakah itu berarti ia harus mengekang? Sena menatap lantai, mencoba mengatur napasnya. Ia hanya ingin melindungi gadis itu. Mencintainya dalam diam pun tak masalah, asal Camelia tetap menjadi miliknya.
......................
From: Mas Sena - Sayang, udah makan siang? Mau aku pesankan makan atau makan siang di ruanganku aja?
Camelia yang tengah duduk santai di taman kampus, dengan buku mode terbuka di pangkuannya, tak bisa menahan senyum tipis saat membaca pesan itu.
‘Sayang’
Satu kata yang dulu hanya sebatas impian, kini jadi panggilan nyata dari seseorang yang dulu justru ia hindari. Tapi begitulah cinta. Rasanya indah ketika mencintai seseorang yang justru lebih mencintai kita. Diperjuangkan, diprioritaskan, dan dibanggakan.
Belum sempat ia membalas, layar ponselnya berubah. Nama Mas Sena muncul di layar sebagai penelepon. Tanpa pikir panjang, Camelia menekan tombol jawab.
“Halo,” sapanya lembut.
“Kenapa nggak dibalas? Padahal kamu lagi duduk santai di taman, sendiri pula. Apa perlu aku turun? Duduk di sebelahmu?” gumam Sena dari seberang, terdengar setengah menggoda, setengah cemburu.
Camelia langsung menoleh, mencari arah suara hatinya itu. Dan benar saja, di lantai atas, tepat di balik jendela kaca besar ruang dosen, Sena berdiri sambil menatap lurus ke arahnya.
“Sejak kapan ngintip dari situ? Nggak ada kerjaan, ya?” tanya Camelia sambil menyipitkan mata ke arah jendela.
“Ada, kerjaan tambahan. Ngeliatin kamu. Dulu cuma bisa membayangkan kapan bisa genggam tangan kamu, sekarang malah bisa peluk kamu. Rasanya masih nggak percaya.” jawab Sena.
Camelia hanya tersenyum kecil, tak membalas. Hatinya berdesir mendengar kalimat-kalimat manis yang mulai menjadi ciri khas Sena belakangan ini.
Namun senyum itu menghilang saat Sena kembali bersuara, nadanya berubah sedikit ragu.
“Sayang... ada Giovani.”
Camelia spontan menoleh ke arah belakang. Di saat yang sama, ia meletakkan ponselnya yang masih terhubung di atas bangku taman. Sena yang melihat itu dari kejauhan hanya bisa diam.
Sakit dan cemburu.
Dua hal itu langsung merayap naik ke dadanya. Tanpa kata, ia memutuskan panggilan itu, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tatapannya tak lepas dari interaksi Camelia dengan lelaki yang kerap membuatnya was-was, Giovani.
Namun Sena menahan diri. Ia tahu perasaannya mudah terbakar cemburu. Tapi menjadi posesif bukanlah cara untuk menjaga Camelia. Ia mencoba percaya, walau hatinya sedang menguji kesabaran.
Di sisi lain, Camelia menyambut Giovani dengan senyum ramah.
“Lama, nggak? Aku nggak bikin kamu nunggu, kan?” tanya Giovani sambil duduk di sampingnya.
“Nggak, kok. Sambil baca, jadi nggak terasa,” jawab Camelia santai.
Mereka membuka laptop dan catatan, lalu mulai berdiskusi soal tugas. Sebagai mahasiswa jurusan Fashion Design, mereka sedang menyusun mood board dan konsep koleksi akhir semester. Keduanya tampak serius, berdiskusi tentang warna, tekstur kain, hingga potongan yang relevan dengan tema mereka, Urban Nostalgia.
“Menurut kamu, siluet trapeze ini masih relevan nggak buat konsep kita?” tanya Giovani sambil menunjuk sketsa di laptop.
“Masih, asal kamu padukan dengan elemen yang lebih modern. Misalnya layering dengan outer yang lebih clean cut,” jawab Camelia tanpa mengalihkan pandangan dari sketchbook miliknya.
Diskusi mengalir lancar. Camelia memang serius dan detail. Giovani hanya bisa mengagumi kecerdasan dan dedikasi gadis itu.
Satu jam berlalu, dan tugas mereka akhirnya rampung. Mereka pun tetap duduk di taman, membiarkan angin sore menyapa wajah dan membiarkan obrolan mengalir lebih personal.
“Gimana kondisi ibumu sekarang, Gio?” tanya Camelia pelan.
Giovani menghela napas. “Masih begitu, Mel. Aku agak pusing.”
“Pusing kenapa? Biaya?” tebak Camelia dengan alis berkerut.
Giovani mengangguk kecil. “Iya... gitu, deh.”
Camelia menatapnya. “Boleh aku bantu?”
“Eh, nggak... bukan aku mau minta, Mel. Sumpah, bukan itu maksudku,” jawab Giovani cepat, sedikit kikuk.
“Aku tahu. Tapi aku nawarin ini bukan sebagai kasihan. Aku teman kamu, Gio. Dan aku nggak suka ditolak kalau ingin bantu,” ucap Camelia tegas, tapi lembut.
“Mel... aku nggak mau nyusahin orang lain. Beneran.”
“Nggak nyusahin. Aku senang bisa bantu. Nanti kirim alamat rumah sakitnya, ya. Kalau ada waktu, aku mau jenguk ibumu.”
Giovani terdiam. Lalu, perlahan mengangguk. “Terima kasih ya, Mel. Aku jadi nggak enak... terimakasih,” ucapnya tulus.
“Yang penting kamu semangat kuliahnya, jangan menyerah. Oke?”
Giovani mengangguk lebih cepat kali ini. Ia pun membuka ponsel, mengetik alamat rumah sakit, lalu mengirimkannya ke Camelia.
Dalam hati, ia berbisik, Mel, kamu bukan cuma cantik. Kamu juga berhati besar. Gadis seperti kamu, pintar, baik, dan dermawan di masa depan nanti, laki-laki mana yang tak akan beruntung memilikimu?
......................
Sesuai dengan kesepakatan antara Sena dan Camelia, sore itu sepulang kuliah mereka memutuskan untuk bertemu. Anggap saja ini sebagai momen perkenalan lebih dalam sebelum benar-benar melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Namun, karena hubungan mereka masih bersifat backstreet, Camelia memilih tempat yang cukup jauh dari lingkungan Universitas Avanya. Sebuah minimarket kecil di pinggiran kota menjadi pilihan.
Begitu Ford Mustang milik Camelia terparkir rapi di halaman minimarket, mesin mobil segera dimatikan. Sang sopir tampak bersiap hendak turun.
“Nona, mau beli apa? Biar saya saja yang turun,” ujarnya, sopan.
“Nggak usah, Pak. Aku lagi nunggu teman,” tolak Camelia sambil tersenyum kecil. “Setelah ini Bapak pulang aja, ya.”
Sopir itu tampak ragu. “Kalau nanti Nyonya Rindi atau Tuan Edo sudah pulang, saya harus bilang apa, Nona?”
“Bilang aja aku keluar sama Sena.” jawab Camelia santai, berusaha terdengar tenang meski hatinya tidak demikian.
Mendengar nama kedua orang tuanya disebut, ada sesak yang pelan-pelan merayap di dadanya, rasanya nyeri. Padahal, ia ingin sekali menceritakan kabar bahagia ini, tentang bagaimana Ibu Sena datang ke rumah dan secara langsung memintanya menjadi menantu.
Bukankah itu sesuatu yang patut dirayakan?
Akan tetapi, hati kecil Camelia justru berteriak. Baginya, orang tuanya seperti lupa bahwa mereka masih memiliki seorang anak di rumah. Mereka tak pernah menelepon sekadar menanyakan kabar, atau bertanya, ‘Apakah kamu sudah makan?’
Shit.
Itu mustahil. Harapan untuk mendapat perhatian sederhana pun nyaris tak pernah menjadi nyata, betapa miris hidupnya. Maka dari itu, Camelia tak ragu membuka pintu untuk hubungan ini bersama Sena. Ia berharap, akan ada ‘rumah’ yang bisa menjadi tempat pulang bagi hati dan dirinya yang lelah menanti.
Tok! Tok! Tok!
Camelia tersentak pelan saat mendengar ketukan di kaca mobil. Sejak tadi ia memang memejamkan mata, bukan tertidur, melainkan mencoba menenangkan diri dari kepenatan dan pikiran yang berjejal.
Klik!
Pintu mobil terbuka. Sena muncul sambil sedikit membungkuk, menatap Camelia dengan senyum yang menyenangkan.
“Maaf, Sayang, lama ya?” katanya lembut.
“Nggak apa-apa,” jawab Camelia sambil segera meraih tas di sampingnya, lalu keluar dari mobil.
Sena pun dengan sigap menuntunnya, dan mereka berdua segera berjalan cepat menuju mobil Sena yang terparkir tak jauh dari sana.
“Terima kasih,” ucap Camelia setelah Sena membukakan pintu mobil dan ia duduk di kursi penumpang depan.
“Sama-sama, Sayang.” balas Sena sambil tersenyum.
Perhatian kecil semacam ini sukses membuat pipi Camelia bersemu merah. Mas Sena sweet juga, batinnya, mencoba menahan senyum.
“Maaf ya, tadi sempat ngobrol sebentar sama—”
“Mahasiswa?” potong Camelia cepat sambil menoleh, nada suaranya terdengar santai, meski sorot matanya berkata lain.
Sena terkekeh pelan. “Hm... cemburu, ya?” godanya sambil mengusap lembut pipi Camelia.
“Nggak. Aku cuma tanya. Lagi pula, wajar aja kalau kamu ngobrol sama mahasiswa Avanya. Secara, kan kamu dosen idola,” jawab Camelia dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
Sena tertawa pelan. “Jadi, sayangku ini memang cemburu?”
“Ck! Nggak!” sahut Camelia cepat. “Udah, ayo, kita mau ke mana sih ini?” tanyanya sambil melipat tangan di dada, berusaha menyembunyikan kekesalan manja yang jelas terbaca di wajahnya.
Sena tertawa lebih lebar. Ia bisa melihat jelas semburat kesal yang muncul di pipi Camelia. Manis sekali dan ini pertama kalinya ia melihat Camelia cemburu, dan entah kenapa, itu terasa menyenangkan.
Ia pun menyalakan mobil dan mulai melajukannya perlahan. Hening sesaat tercipta. Semua ini terasa seperti déjà vu, mengingatkannya pada momen saat pertama kali Camelia menerima tawaran tumpangan darinya. Saat itulah semuanya dimulai, celah kecil yang ia manfaatkan untuk mendekat.
“Mas, gimana Mama mu?” tanya Camelia tiba-tiba, memecah keheningan.
“Maksudnya?”
“Pas tahu aku menerima pinangannya Mas...”
Sena tersenyum. “Tentu senang. Mama memang sudah suka kamu dari awal. Makanya, beliau yang minta langsung.”
“Padahal sebelumnya Tante Rumi belum pernah ketemu aku, tapi bisa suka?”
Sena mengangguk pelan. “Karena Mama sering denger aku cerita. Aku tuh nggak pernah menyimpan apapun dari Mama. Termasuk waktu aku bilang lagi suka sama salah satu mahasiswa sendiri.”
Camelia tersenyum tipis mendengarnya.
“Jadi, Mama tahu perasaanku itu bukan main-main. Kata Mama, aku orangnya nggak pernah salah pilih. Kalau pun gagal, itu karena aku pernah sial aja. Dan, Sayang... aku nggak mau nyembunyiin apa pun dari kamu.”
Camelia menoleh, penasaran.
“Dulu, aku pernah tunangan. Tapi gagal karena selingkuh,”
Camelia mengangkat alis. “Siapa? Kamu?”
Sena tertawa. “Bukanlah. Aku mah setia.” Ia menoleh sekilas sambil tersenyum. “Kalau aku udah jatuh cinta sama satu orang, itu selamanya.”
Camelia menatapnya. Dalam tatapan itu, ia menemukan ketulusan. Hatinya menghangat. Selain kamu tampan, kamu juga seseorang yang hangat. Semoga pilihanku kali ini nggak salah, batinnya.
Mobil terus melaju dalam kecepatan sedang. Jalanan sore itu cukup padat, namun suasana dalam mobil terasa tenang. Mereka larut dalam pikiran masing-masing setelah obrolan singkat tadi. Sena fokus menyetir, sementara Camelia menikmati pemandangan luar jendela dengan perasaan yang campur aduk, tenang, bahagia, dan entah sedikit gugup akan masa depan.