“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Pagi itu langit tampak teduh dengan suara burung-burung masih berkicau di kejauhan ketika Aditya membuka pintu depan rumahnya.
Namun yang disambutnya bukan udara segar pagi atau senyum tetangga.
Melainkan moncong pistol yang langsung mengarah ke dadanya.
“Diam.”
Satu suara dingin menggema dan sebelum Aditya bisa menarik napas atau bersuara, dua pria bertopeng menyergapnya.
Di belakang mereka berdiri seorang lelaki anak buah Elyas, dengan senyum kemenangan di wajah bengisnya.
Anak buah Stefanus sudah tak bergerak karena tangan mereka terikat, pingsan, atau mungkin lebih buruk.
Risa berteriak saat pintu kamar didobrak dan tidak sempat melawan.
Ia ditarik kasar, dibungkam, dan diikat seperti Aditya.
Mobil hitam meluncur cepat menembus jalanan sunyi.
Dalam waktu yang terasa hanya sebentar, mereka tiba di sebuah dermaga tua, lalu langsung didorong masuk ke kapal kecil.
Ombak pagi mulai menggulung perlahan, menjanjikan badai yang belum terlihat.
Di tengah laut yang sepi, di mana hanya suara burung camar dan deru mesin kapal yang terdengar, Elyas berdiri di ujung geladak.
Angin meniup jas hitamnya, seolah semesta pun ingin menjatuhkan topeng kejamnya.
“Buang mereka.” ucapnya datar, seperti memerintahkan untuk membuang sampah.
Aditya mengguncang kepalanya, tubuhnya berusaha melawan meski tangan dan kakinya terikat.
“Mmmpphh!” Ia berteriak di balik kain penutup mulutnya, matanya menatap Risa yang ketakutan.
Tapi tanpa belas kasihan, tubuh Aditya dan Risa dilempar ke dalam laut.
Ombak besar langsung menelan mereka, membuat mereka menghilang dalam sekejap.
Tali yang mengikat tubuh mereka membuat mustahil untuk berenang dan dunia menjadi gelap dan dingin hanya dalam hitungan detik.
Sementara itu di tengah kota, Elyas melangkah masuk ke kantor polisi. Rambutnya tertata rapi, wajahnya tanpa dosa.
“Saya menyerahkan diri atas penculikan Risa kemarin,” ucapnya.
Petugas di sana sontak kaget, tapi juga tak menyangka bahwa di balik penyerahan diri itu, ada dosa besar lain yang belum mereka tahu.
Di tempat lain, Stefanus sedang duduk di ruang pengawasan, menelusuri rekaman CCTV.
Ia belum tahu bahwa dua orang paling berharga dalam hidupnya baru saja dibuang ke laut.
Air asin memenuhi seluruh rongga mulut dan hidung Aditya.
Dunia seperti terbalik atas jadi bawah, kiri jadi kanan.
Matanya terbuka samar dan di hadapannya ia melihat sosok yang paling ia cintai, melayang perlahan menuju dasar laut.
Tubuh mungil istrinya tak bergerak dan rambutnya tergerai seperti sutra hitam yang ditiup arus, mulutnya terkatup rapat karena kain lakban, mata terpejam.
Aditya menggeram di dalam air, ia harus hidup dan menyelamatkan istrinya.
Dengan sisa tenaga dan napas, ia menggesekkan pergelangan tangannya yang terikat ke batu karang kecil di bawahnya.
Darah mulai mengucur dari kulitnya yang terkoyak, tapi ia terus menggesek dan menggesek sampai akhirnya tali terputus.
Segera ia melepaskan lakban dari mulutnya, lalu berenang ke arah tubuh Risa yang semakin turun ke kedalaman.
Jarak itu terasa jauh dan ia terus berenang, menendang air sekuat tenaga, mendorong tubuhnya melawan arus.
Tangannya akhirnya menyentuh jemari Risa, dingin dan tidak ada reaksi.
"Jangan tinggalkan aku…" Aditya bergumam di dalam hati, dan menarik tubuh Risa ke permukaan.
Butuh waktu dan perjuangan dimana oksigennya hampir habis.
Dadanya seperti meledak dan ia berhasil muncul di atas laut. Menengadah.
Menghirup napas pertama setelah kembali dari ambang kematian.
Risa masih tidak sadarkan diri, ia membaringkan kepala istrinya di bahunya, menampar lembut pipi pucat nya.
“Ris, bangun. Kamu harus hidup, demi kita...”
Aditya hanya bisa berenang dan menjaga kepala Risa tetap di atas permukaan air, walau tubuhnya sendiri semakin lelah, matanya mulai kabur, tangannya mulai kaku.
Entah berapa lama mereka terombang-ambing di antara ombak.
Sampai akhirnya, samar-samar, ia melihat bayangan kapal kayu nelayan.
Aditya berteriak meminta tolong dan nelayan berteriak jika ada orang di laut.
Tali dilemparkan dan dua lengan kuat menarik tubuh mereka ke atas kapal.
Aditya langsung pingsan setelah memastikan tubuh istrinya ikut terangkat lebih dulu.
Sore hari menjelang, di dalam rumah kayu sederhana beraroma garam dan angin laut, Risa terbaring lemah di atas dipan bambu.
Wajahnya masih pucat, tapi kini tubuhnya sudah terbalut selimut hangat, rambutnya kering, dan bibirnya diberi obat herbal oleh istri nelayan.
Aditya duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya yang dingin.
Ia sudah sadar lebih dulu, dan kini menatap wajah wanita yang hampir saja direnggut dari hidupnya.
"Kamu masih di sini, Ris. Kamu masih bersamaku..." bisiknya, air mata mengalir perlahan.
Di sudut ruangan, nelayan tua duduk sambil membuat teh panas.
"Kalian beruntung, Nak. Laut ini kejam kalau tidak menghargai hidup..."
Aditya mengangguk pelan, namun matanya tak lepas dari Risa.
Ia tak peduli lagi pada luka di bahunya, pada perih di tangannya yang robek.
Satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah Risa hidup.
****
Senja menguning di langit kota di halaman depan Kepolisian Pusat, sebuah mobil hitam berhenti perlahan.
Keluar seorang pria berjas abu-abu dengan langkah mantap.
Tatapan matanya dingin, tak ada ragu sedikit pun, hanya aura kemenangan.
Elyas Leonardo puttra dari taipan maskapai ternama itu melangkah masuk ke kantor polisi dengan tangan diangkat, menyerahkan diri.
"Aku pelaku penculikan Risa Anindya," ucapnya di hadapan petugas jaga.
"Aku siap bertanggung jawab."
Seorang penyidik yang mendengar langsung memanggil Stefanus.
Dalam hitungan menit, Stefanus muncul dari balik pintu ruangan investigasi.
Matanya langsung menyipit, mengukur maksud di balik wajah tenang Elyas.
"Kamu menyerahkan diri?" tanya Stefanus curiga.
"Aku bosan bersembunyi dan aku tahu kalian takkan berhenti mengejarku. Jadi, aku permudah saja."
"Mana Risa?!" Stefanus membentak.
"Apa yang kamu lakukan padanya?!"
Elyas tidak langsung menjawab. Ia tertawa pelan dan semakin keras.
Tertawa terbahak-bahak sampai beberapa polisi yang berdiri di sekitar menegang, tak mengerti maksud dari tawa itu.
"Sudah terlambat," ucap Elyas akhirnya, masih dengan tawa menyeringai.
"Kalian mungkin berhasil menyelamatkan Risa, tapi… Aditya sudah dimakan ikan."
Seketika suasana menjadi hening. Stefanus mencengkeram kerah jas Elyas.
"Apa maksudmu?!"
"Dia tenggelam. Di tengah laut. Aku melihat sendiri ombak menarik mereka… tapi ya, aku rasa yang bertahan hidup cuma satu." Elyas melirik petugas.
"Siapkan sel tahanan yang nyaman, aku akan tinggal cukup lama."
Suasana kantor polisi pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya.
Langit mendung menggantung seolah tahu badai akan segera datang.
Stefanus, dengan langkah cepat dan kepala penuh strategi, keluar dari ruang interogasi.
Ia baru saja memerintahkan agar Elyas segera dipindahkan ke ruang tahanan khusus dengan penjagaan ketat.
Ia menarik napas panjang, membuka pintu mobil dinasnya. Tangan kanannya hampir menyentuh gagang pintu.
Tiba-tiba—
"BOOOOMMMM!!!"
Sebuah ledakan hebat mengguncang halaman kantor polisi.
Api menyambar ke udara dan tiga mobil meledak secara bersamaan, termasuk mobil Stefanus.
Gelombang panas mendorong tubuhnya terhempas beberapa meter ke belakang.
Suara kaca pecah dan alarm meraung menambah kekacauan.
Stefanus terbatuk-batuk, telinganya berdengung.
Darah mengalir dari pelipisnya dan ia memaksakan diri berdiri, mencoba memahami apa yang terjadi.
Lalu dari dalam kantor, terdengar suara tawa nyaring yang menggema hingga lorong-lorong.
Dengan tangan masih diborgol, ia berdiri tegap di balik jeruji ruang interogasi, wajahnya dipenuhi kegilaan yang membara.
Bibirnya menyeringai lebar. Ia mengangkat dagunya, dan dengan nada mengejek, ia menirukan suara Stefanus:
"Ada bom... ADA BOM!!" katanya sambil terkekeh.
"Rencana dimulai, Pak Polisi. Ini baru pemanasan." lanjutnya, matanya membelalak seperti orang kesurupan.
Polisi yang mengawalnya langsung mencoba menariknya, tapi Elyas menatap mereka satu-satu, dingin.
"Kalian pikir aku menyerah? Tidak. Aku mengatur ini. Aku yang menentukan siapa yang hidup dan siapa yang tidak."
Sementara itu, Stefanus dengan napas berat meraih radio komunikasi.
"Kunci semua pintu! Jangan biarkan siapa pun keluar! Elyas masih di dalam!"
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending