Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
034. Akhir Kesakitan
Sudah cukup larut malam saat Pak Wirya membawa Dul ke ruang keluarga. Dan belum apa-apa darahnya sudah berdesir karena mendengar suara Bu Yanti yang menegur suaminya.
“Udah malem, Yah. Jangan main itu sekarang. Anak kecil harus tidur cepat.”
Sejak tiba tadi, Pak Wirya memang sibuk mengajak Dul mengobrol soal mainan yang dibawanya. Ia bahkan baru saja mengulurkan selembar kertas berisi petunjuk step by step merakit mainan itu.
“Sebentar, Bu,” sahut Pak Wirya tanpa menoleh. Jantung Dul seketika jumpalitan.
“Pertumbuhan anak-anak sewaktu tidur. Enggak boleh tidur larut malem,” ucap Bu Yanti, lalu menatap Dul. “Sudah cuci kaki? Sebentar lagi tidur.”
Jantung Dul seketika mencelos. “Belum Uti. Aku cuci kaki dulu.”
Tanpa menoleh lagi, Dul bergegas keluar kamar. Telinganya menangkap bunyi derap kaki Bu Yanti yang kemungkinan besar mengikutinya.
Di bagian luar dapur, ada sepetak tempat biasa asisten rumah tangga mencuci peralatan memasak. Di tempat itu ada kran yang jika pagi hari di bawahnya selalu ada ember yang terisi untuk mencuci. Dul menggosok kakinya di bawah kucuran air dan tak lepas dari tatapan Bu Yanti.
“Cuci yang bersih. Dikasi sabun juga. Itu kuku kamu sudah panjang banget.”
Suaranya datar saja. Tapi Dul merasa sedang dikoreksi hasil ujiannya oleh seorang guru yang terkenal ditakuti. Dul menunggu di bagian mana lagi ia berbuat kesalahan. Sikap Uti belum sepenuhnya ia mengerti. Dibilang judes, tidak. Ramah juga tidak. Sikapnya tak ada yang salah. Semuanya benar. Namun, cara wanita tua itu menyampaikan kebenaran sangat meresahkannya.
“Sudah—sudah. Dibasuh. Nah, pinter … sekarang ke depan duluan. Duduk dekat Akung. Uti ambil alat pembersih kuku.”
Dul merasa canggung sekali saat Bu Yanti mengangkat kakinya ke sofa. Jemari kakinya ikut menegang saat Bu Yanti menyentuh dan memotong kuku kakinya satu persatu hingga bersih.
Tak ada yang pernah melakukan hal itu selalu ibunya. Tidak juga Mbah Wedok, atau Mbah Lanang. Namun, malam itu Bu Yanti menjadi orang kedua sesudah ibunya yang menunjukkan kepedulian pribadi cukup mendalam seperti malam itu.
“Jadi berasa punya anak kecil lagi, ya, Bu?” goda Pak Wirya pada Bu Yanti.
Bu Yanti terkekeh-kekeh. “Gimana kalau bawa Dul ke resepsi terus kita ngomong kalau Dul ini anak kita. Semua pasti ngeledek,” lanjut Bu Yanti.
“Kalau ada yang nanya, enggak usah dijawab. Biarkan berasumsi sendiri. Temen yang udah lama enggak ketemu pasti bener-bener mengira kalau Dul anak bungsu kita.” Pak Wirya melanjutkan tawanya.
“Iseng amat kalau gitu,” sahut Bu Yanti, tapi masih terkekeh-kekeh.
Sebenarnya Dul tidak benar-benar paham apa yang membuat sepasang kakek-nenek itu tertawa-tawa hampir tengah malam hanya karena ia duduk di antara mereka. Namun, Dul ikut mengulum senyum. Ternyata Bu Yanti dan Pak Wirya bisa bercanda juga, pikirnya.
Lewat pukul sebelas, Dul menguap dan meregangkan tubuhnya.
“Ternyata udah larut. Kita tidur, yuk. Besok pagi kamu temenin Akung jalan pagi keliling komplek. Mau, kan?” Pak Wirya berdiri dari sofa menggandeng lengan Dul menuju kamar Sukma.
“Mau,” jawab Dul.
Meski Pak Wirya yang mengantarkan Dul ke kamar Sukma, ternyata Bu Yanti menyusul kemudian untuk merapikan letak bantal dan selimut yang akan dipakainya.
Hari Minggu pagi, Dul menepati janjinya menemani Pak Wirya berjalan santai keliling komplek. Usai berjalan kaki keliling komplek, mereka langsung sarapan bersama. Selesai sarapan, ia diminta mandi bersih-bersih. Bu Yanti menunjukkan sebuah sikat kecil yang bisa digunakan menggosok sela-sela jari kakinya.
Dul merasa pagi itu ceria sekali. Tubuhnya banyak bergerak karena berjalan menemani Pak Wirya, lalu perutnya dikenyangkan hidangan lezat. Dan sekarang ia duduk di teras dengan mainannya. Mengamati Bu Yanti menyiram tanaman dengan selang penyemprot.
Beberapa menit mengamati, Dul merasa ada yang salah. Bu Yanti mengetuk-ngetuk selang yang tidak menyala.
“Mau bantu liat?” tanya Pak Wirya, menunjukkan penyemprot pada Dul.
Agak ragu awalnya, tapi Dul mendekat untuk mengambil penyemprot yg aneh disodorkan Pak Wirya padanya. Di bawah tatapan serius dua orang tua yang memandangnya memegang penyemprot bunga yang mengadat, Dul merasa dibebani tanggung jawab penuh untuk memperbaiki benda itu.
Diputarnya sekali, lalu diputarnya lagi. Setelah mengulangi hal yang dirasanya benar, penyemprot itu kembali menyala.
“Nah, aku yang pegang ternyata enggak rusak, Kung! Udah bisa!” Pekikannya begitu gegap gempita. Baru pertama kali ia merasa begitu berguna. Dua orang dewasa terkagum-kagum dan sesuatu berjalan normal berkat pertolongannya.
Siang itu, rumah Pak Wirya dan Bu Yanti semakin tampak berbeda. Lebih akrab, lebih hangat, dan lebih dari sekedar sebutan Akung Uti yang awalnya ia anggap sebagai formalitas saja.
Dul bermain ditemani Pak Wirya sementara Bu Yanti memasak untuk makan siang dibantu asisten dapur. Selesai memasak wanita itu kembali duduk di dekatnya ikut terlibat menyusun mainan. Tanpa sengaja, ia lupa akan ibunya yang berada di rumah sakit. Saat ketukan di pintu depan terdengar, ia bahkan tak menoleh. Dul sibuk mengawasi Pak Wirya dan Bu Yanti yang berdebat soal mainannya.
Ternyata ibunya sudah diperbolehkan pulang setelah berada di rumah sakit selama enam hari. Rumah Pak Wirya bukan lagi momok buat Dul. Sehingga saat Bu Yanti berdiri di depan pintu melepas mereka yang berpamitan, Dul sedikit berlama-lama. Menunggu hal apa yang akan disampaikan wanita itu padanya.
“Makan yang banyak, tidur siang. Madunya juga rutin diminum. Minggu depan nginep di sini lagi, ya …. Uti enggak ada temen.”
Rentetan perkataan Bu Yanti barusan membuat Dul berbunga-bunga. Sejak saat itu, ia menjelma menjadi teman Bu Yanti ke tiap resepsi yang dihadiri wanita tua itu. Alasannya, Bu Yanti membutuhkan alasan untuk menolak ajakan temannya pergi nongkrong. Dengan membawa seorang cucu, ia bisa berkilah bahwa cucunya tak akan betah berlama-lama.
Dul semakin menikmati saat-saat kebersamaan dan keakraban mereka. Banyak Sabtu-Minggu yang ia lewati dengan menginap di rumah Pak Wirya dan Bu Yanti. Sampai akhirnya, suatu siang suami-istri itu datang ke rumah menjemputnya. Saat itu, ayah-ibunya sedang tak dirumah. Mbok Jum hanya mengatakan bahwa ibunya pergi ke rumah sakit. Karena belakangan ibunya terlalu akrab dengan rumah sakit, Dul tak bertanya lebih lanjut.
Bu Yanti muncul di pintu depan dengan wajah yang sangat serius. “Ayo, siap-siap ke rumah sakit. Kita lihat Ibu,” ucap Bu Yanti.
“Memangnya Ibu kenapa?” Dul belum beranjak. Wajah khawatir Bu Yanti membuatnya gelisah. Rumah sakit identik dengan orang-orang sakit yang tidak beraktifitas seperti biasa.
“Kemungkinan besar, hari ini adik kamu bakal lahir. Beberapa jam lagi Dul mungkin jadi Mas dari adik perempuan,” jelas Bu Yanti.
“Adikku perempuan, ya?”
Bu Yanti menggandengnya menuju ke kamar untuk berganti pakaian. “Iya, adik kamu perempuan. Pasti cantik. Cocok jadi adik Mas Dul yang ganteng,” ujar Bu Yanti.
To Be Continued