Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ujian pertama
Minggu kedua berlalu dalam ritme yang mulai terasa akrab,pagi yang sibuk, siang yang penuh diskusi, dan malam yang dihiasi lampu meja dan secangkir teh jahe hangat. Cantika mulai mengenali wajah-wajah di kelasnya, bukan hanya sebagai latar belakang, tapi sebagai individu dengan mimpi mereka sendiri. Beberapa mulai menyapanya dengan senyum, meski masih ada yang melempar pandangan dingin dari kejauhan. Tapi ia tak lagi menghindar. Ia menatap lurus, buku di tangan, pertanyaan siap diajukan.
Ujian pertama tiba lebih cepat dari yang ia duga: kuis minggu ketiga untuk mata kuliah Pengantar Bisnis. Bukan ujian besar, tapi cukup untuk menguji seberapa serius seseorang menyimak di kelas. Cantika sudah menyiapkan diri sejak malam sebelumnya—catatan lengkap, ringkasan konsep, bahkan latihan soal dari buku Mankiw yang ia pinjam dari perpustakaan. Yoga bahkan menemani hingga pukul dua pagi, membantunya menghafal definisi *comparative advantage* sambil menyuapinya potongan apel.
“Kalau kamu jadi dosen, aku pasti lulus cum laude,” gurau Cantika, menguap lelah.
“Kalau aku jadi dosen, kamu tetap harus belajar sendiri. Aku nggak mau berbuat curang
Pagi itu, Cantika datang lebih awal lagi. Kali ini, Amara sudah duduk di bangku biasa, lengkap dengan termos dan kue lapis baru—warna hijau kali ini, katanya dari daun suji. “Biar tenang,” katanya sambil menyodorkan potongan.
Ujian dimulai tepat pukul delapan. Pak Arifin membagikan soal tanpa banyak bicara—soal esai pendek, tiga pertanyaan utama: definisi *value chain*, contoh *opportunity cost* dalam kehidupan sehari-hari, dan analisis sederhana tentang model bisnis warung kopi pinggir jalan.
Cantika menulis dengan tangan sedikit gemetar, tapi pikirannya jernih. Ia bahkan menyisipkan contoh dari pengalaman pribadinya: “Jika saya memilih kuliah, saya kehilangan waktu untuk berjualan brownies setiap sore. Tapi saya memilih kuliah karena nilai jangka panjangnya lebih besar.” Ia menulis itu dengan jujur
Setelah ujian, suasana kelas berubah. Beberapa mahasiswa langsung membahas jawaban, ada yang mengeluh karena tidak sempat belajar, dan ada pula yang tertawa riang,mungkin merasa yakin nilainya bagus. Gadis pirang itu berdiri di dekat pintu, memegang ponsel sambil berbisik, “Katanya tadi dia nulis soal brownies lagi. Serius banget sih.”
Tapi kali ini, Cantika tidak menunduk. Ia berjalan melewati gadis itu dengan langkah tenang, lalu duduk kembali di bangkunya. Amara yang melihat semuanya hanya mengangkat alis, lalu berbisik, “Aku yakin nilai kamu yang tertinggi.”
“Kita lihat saja,” jawab Cantika, tersenyum tipis.
---
Hasil kuis diumumkan tiga hari kemudian. Pak Arifin memasang daftar nilai di papan pengumuman luar kelas,tanpa nama, hanya nomor mahasiswa. Tapi semua tahu siapa yang mendapat nilai tertinggi, karena Pak Arifin menyebutnya langsung di awal kelas: “Cantika Pradipta mendapat nilai 98. Analisisnya sangat aplikatif dan menunjukkan pemahaman mendalam.”
Kelas hening sejenak. Beberapa menoleh ke arah Cantika. Gadis pirang itu memutar mata, tapi kali ini diam. Cantika merasa dadanya berdebar, bukan karena bangga, tapi karena ia akhirnya *terlihat*, bukan sebagai istri seseorang, tapi sebagai dirinya sendiri.
Setelah kelas, Amara melompat-lompat kecil. “Aku tahu! Aku tahu! Kamu jenius, Canti!”
“Jenius nggak juga. Cuma rajin aja,” balas Cantika, wajahnya sedikit memerah.
Namun, keberhasilan kecil itu membawanya ke tantangan baru.
Siang itu, Cantika diajak oleh ketua kelompok diskusi untuk bergabung dalam proyek kelas membuat rancangan bisnis sederhana yang akan dipresentasikan akhir semester. Awalnya ia ragu, khawatir tidak bisa menyusun waktu antara kuliah, belajar, dan rumah tangga. Tapi Amara langsung menyela, “Aku juga gabung! Kita kerja bareng, ya?”
Dengan dukungan itu, Cantika menerima. Mereka sepakat bertemu di teras gedung lama setiap Rabu sore. Saat pertemuan pertama, mereka memutuskan ide: (“Kue Nenek”)—usaha kue tradisional dengan kemasan modern dan sistem pre-order via Instagram. Cantika akan fokus pada perhitungan biaya dan strategi pemasaran, sementara Amara menangani desain dan narasi merek.
“Ini kayak mimpi beneran,” kata Amara, matanya bersinar. “Kita nggak cuma bikin tugas, tapi juga bisa jadi bisnis beneran!”
“Kalau berhasil, mungkin aku beneran buka usaha kue rumahan setelah lulus,” ujar Cantika, suaranya penuh harapan.
---
Malam itu, saat makan malam, Yoga melihat semangat baru di mata istrinya.
“Kamu tampak seperti punya rencana besar,” katanya sambil menyendok sayur lodeh ke piring Cantika.
“Kami dapat proyek kelompok. Aku dan Amara mau bikin
Mau bikin konsep usaha kue tradisional,” jawab Cantika. “Aku jadi ingat waktu dulu sering bantu Mama bikin kue lapis. Rasanya… pulang ke akar.”
Yoga mengangguk perlahan. “Kalau kamu butuh modal nanti buat uji coba, aku siap bantu.”
“Bukan modal yang aku butuhkan, Mas,” kata Cantika sambil menatapnya. “Tapi keyakinan. Dan kamu sudah kasih itu sejak hari pertama.”
Yoga tersenyum, lalu menggenggam tangan istrinya di atas meja. “Aku percaya kamu bisa. Bahkan kalau nanti kamu jadi bos besar, aku rela jadi karyawanmu asal masih boleh bikin brownies buatmu.”
Cantika tertawa—ringan, lega, dan penuh rasa syukur.
---
Namun, tak semua berjalan mulus.
Pada minggu keempat, dosen Pengantar Akuntansi mengumumkan bahwa mereka harus membuat laporan keuangan sederhana sebagai bagian dari tugas kelompok. Masalahnya, Cantika dan Amara tidak punya anggota kelompok
Pada minggu keempat, dosen Pengantar Akuntansi mengumumkan bahwa mereka harus membuat laporan keuangan sederhana sebagai bagian dari tugas kelompok. Masalahnya, Cantika dan Amara tidak punya anggota kelompok yang paham akuntansi. Mereka mencoba meminta bantuan, tapi banyak yang sudah punya kelompok tetap. Gadis pirang itu bahkan menolak dengan alasan, “Aku udah penuh, dan kelompokku cuma terima yang paham dasar akuntansi dari SMA.”
Cantika merasa hatinya terpukul, tapi ia tak menyerah. Malam itu, ia begadang membaca buku akuntansi dasar yang dipinjam Yoga dari koleganya. Ia mencoba memahami jurnal, neraca, dan laporan laba rugi dengan susah payah. Saat hampir menyerah, Yoga duduk di sebelahnya.
“Aku lulusan teknik, tapi aku pernah kerja paruh waktu di toko ayahku dulu. Aku tahu sedikit soal ini,” katanya.
Malam itu, mereka berdua belajar bersama—Cantika mencatat, Yoga menjelaskan dengan analogi sederhana. “Bayangkan neraca itu kayak timbangan. Kalau di satu sisi kamu taruh utang, di sisi lain harus ada aset yang seimbang.”
“Kamu seharusnya
Ingin kamu sukses,” jawab Yoga pelan.
---
Ketika tugas dikumpulkan, kelompok Cantika dan Amara mendapat pujian dari dosen karena laporan keuangannya rapi dan mudah dimengerti,bahkan untuk mahasiswa yang belum pernah belajar akuntansi sebelumnya.
“Ini karya tim yang saling melengkapi,” komentar dosen. “Ide kreatif, eksekusi solid, dan keuangan yang transparan. Langka.”
Cantika menatap Amara, lalu keduanya saling berpelukan kecil. Di luar jendela, matahari sore menyinari kampus dengan hangat. Di kejauhan, gadis pirang itu melihat mereka dari balkon,kali ini tanpa ejekan, hanya diam.
Cantika tahu, perjalanan ini masih panjang. Tapi ia tak lagi sendirian. Ia punya teman, suami yang mendukung, dan tekad yang tak mudah dipadamkan.
Dan di atas segalanya, ia punya dirinya sendiri,ia merasa utuh, karena semua mendapat dukungan yoga sebagai suaminya
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍