NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:752
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 03

Bunga ditinggal sendirian di teras belakang. Ia kembali menatap cincin di jarinya. Benda itu berkilau di bawah cahaya lampu teras.

Ia tidak lagi merasa dikhianati oleh Arga. Ia merasa... mereka berdua baru saja dijebak dalam sebuah permainan rumit oleh orang tua mereka sendiri. Dan Arga baru saja menawarinya sebuah aliansi. Sebuah persekongkolan tandingan.

Perjanjian itu aneh. Perjanjian itu gila. Tapi perjanjian itu juga satu-satunya tali pelampung yang ia punya.

Ia menarik napas panjang. Pilihan yang mengerikan. Kehilangan mimpinya, atau menikah pura-pura dengan laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ia sudah membuat keputusan. Ia akan mengambil gelarnya, apa pun taruhannya.

Dengan langkah yang terasa seratus kali lebih berat, Bunga bangkit dari bangku kayu itu. Ia merapikan kebaya yang sedikit kusut, menghapus sisa air mata di pipinya, dan berjalan kembali ke ruang tamu.

Saat ia masuk, semua percakapan terhenti sejenak. Arga sudah duduk kembali di tempatnya, menatap piring kuenya yang masih utuh. Ayah Bunga menatapnya, mencari jawaban.

"Bunga?" panggil Ayahnya.

Bunga berjalan pelan dan duduk kembali di samping Ibunya. Ia tidak menatap siapa-siapa. Ia menatap lurus ke toples rengginang di atas meja.

"Bunga... setuju," ucapnya. Suaranya pelan, nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk didengar di ruangan yang tiba-tiba hening itu.

Ibunya mengucap "Alhamdulillah" pelan, tangannya langsung mengusap punggung Bunga. Ayahnya tersenyum lebar, senyum lega yang belum pernah Bunga lihat sebelumnya.

"Pilihan yang bijak, Nduk," kata Ayahnya.

Bunga melirik ke seberang. Tante Ratih tersenyum padanya, senyum tulus yang membuat Bunga merasa sedikit bersalah. Om Pradipta mengangguk mantap.

Lalu matanya bertemu dengan mata Arga.

Laki-laki itu tidak tersenyum. Ia hanya menatap Bunga dengan pandangan yang dalam, seakan berkata, Perjanjian kita dimulai.

Bunga segera membuang muka. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah konspirasi terbesar dalam hidupnya.

***

Dua minggu berikutnya terasa seperti mimpi yang berjalan dalam kecepatan penuh.

Begitu keluarga Pradipta pulang, rumah Bunga berubah menjadi markas persiapan pernikahan. Bukan pernikahan besar, Ayah dan Ibu setuju. Mengingat Bunga harus segera mendaftar ulang di kampusnya dan Arga harus kembali bekerja.

"Akad saja dulu, yang penting sah. Di KUA atau panggil penghulu ke rumah. Syukuran kecil-kecilan," kata Ayah malam itu.

Bunga hanya menurut. Ia sudah menyerahkan hak suaranya. Ia seperti boneka yang digerakkan oleh tali takdir yang dipegang oleh orang tuanya.

Ia dibawa ke butik untuk fitting baju akad. Sebuah kebaya putih bersih dengan payet sederhana namun elegan. Saat ia berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya dalam balutan baju pengantin itu, ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada debaran bahagia, tidak ada antusiasme. Hanya kehampaan.

"Cantik sekali, Nduk," puji Ibu, matanya berkaca-kaca.

Bunga hanya tersenyum tipis.

Hal terberat selama dua minggu itu adalah menghadapi teman-temannya. Terutama Rina, sahabatnya sejak SMP.

"Gimana, Bunga? Berkas buat daftar ulang udah beres? Nanti kita cari kost bareng, ya!" seru Rina antusias di telepon suatu sore.

Bunga memejamkan mata. Dusta pertamanya dimulai. "Udah, Rin. Udah beres. Soal kost... nanti aku kabarin lagi, ya. Kayaknya... kayaknya aku mau tinggal di tempat saudara dulu di sana."

"Oh, saudaramu? Siapa?"

"Itu... sepupu jauh. Iya, sepupu. Biar hemat," kata Bunga, suaranya terdengar kaku di telinganya sendiri.

"Oh, ya udah, bagus deh. Nanti kabarin aja alamatmu, ya! Biar aku bisa main!"

"Iya, Rin. Pasti."

Bunga menutup telepon dengan perasaan bersalah yang amat sangat. Ia kini harus menyembunyikan statusnya. Ia akan menjadi mahasiswi baru berumur 18 tahun, yang diam-diam sudah bersuami. Wajahnya mau ditaruh di mana?

Interaksinya dengan Arga selama dua minggu itu nyaris tidak ada. Laki-laki itu kembali ke kota untuk bekerja. Mereka tidak bertukar pesan romantis layaknya calon pengantin. Tidak ada telepon malam-malam, tidak ada ucapan rindu.

Satu-satunya komunikasi yang terjadi adalah sebuah pesan WhatsApp singkat dari Arga tiga hari sebelum akad.

[Mas Arga]

Bunga, lusa Mas pulang. Untuk di apartemen, kamar kamu sudah Mas siapkan. Kosong. Bawa saja barang yang penting dulu. Buku kuliah, laptop, baju secukupnya. Sisanya bisa beli di sana.

Bunga menatap pesan itu lama. Begitu praktis. Begitu teknis. Seperti pesan dari seorang kakak senior yang mengatur kamar untuk adik tingkatnya.

[Bunga]

Iya, Mas. Makasih.

Hanya itu.

Malam sebelum hari akad, Ibu masuk ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Bunga yang sedang pura-pura membaca buku.

"Nduk," panggil Ibunya lembut. "Besok kamu sudah jadi istri orang."

Bunga terdiam.

"Ibu tahu ini semua cepat. Ibu tahu kamu kaget. Tapi, Nduk, pernikahan itu ibadah. Setelah sah, surgamu itu pindah ke suamimu. Kamu harus nurut sama Mas Arga, ya. Jangan membantah. Dia laki-laki baik, dia pasti akan bimbing kamu."

Nasihat itu terasa seperti belati. Nurut. Surgamu di suamimu. Bagaimana ia bisa menjelaskan pada Ibunya bahwa "suami"-nya itu sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya dan membiarkannya bebas?

"Iya, Buk," jawab Bunga pelan. Hanya itu yang bisa ia katakan.

Ibunya memeluknya erat. Bunga membalas pelukan itu. Ia menangis di bahu Ibunya. Ia menangisi masa remajanya yang berakhir begitu cepat. Ia menangisi kebohongan yang harus ia jalani. Dan ia menangisi ketakutannya akan hari esok.

Ibunya, tentu saja, mengira itu adalah tangis haru seorang calon pengantin.

***

Hari akad nikah.

Pukul tujuh pagi, Bunga sudah selesai dirias. Wajahnya terlihat asing di cermin. Cantik, tapi pucat dan tanpa ekspresi. Riasan flawless itu menutupi lingkaran hitam di bawah matanya akibat tidak bisa tidur semalaman. Sanggulnya terasa berat, menopang untaian melati yang menjuntai.

Rumah kecil mereka sudah disulap. Ruang tamu diubah menjadi tempat akad sederhana dengan dekorasi minimalis. Karpet digelar, bantal-bantal duduk disiapkan.

Pukul delapan tepat. Rombongan keluarga Arga tiba. Hanya keluarga inti. Om Pradipta, Tante Ratih, dan beberapa paman dan bibinya.

Dan Arga.

Bunga melihatnya dari celah tirai kamarnya. Jantungnya berdentum keras.

Laki-laki itu terlihat... sangat berbeda. Ia mengenakan beskap putih gading yang serasi dengan kebaya Bunga, lengkap dengan blangkon di kepalanya. Dia terlihat gagah, dewasa, dan... sangat asing. Ini bukan Mas Arga yang biasa ia lihat memakai kaus oblong dan celana jins. Ini Arga Pradipta, sang mempelai pria.

"Nduk, ayo. Penghulunya sudah siap," panggil Ibunya.

Kaki Bunga terasa seperti jeli. Ia digandeng Ibunya menuju ruang tamu. Sesuai adat, ia didudukkan di samping Arga, dipisahkan oleh meja kecil tempat berkas-berkas nikah.

Bunga tidak berani menoleh. Ia hanya menunduk, menatap jemarinya sendiri yang bertaut di atas pangkuan. Ia bisa mencium wangi parfum Arga. Wangi musk dan kayu-kayuan yang segar. Wangi yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Acara dimulai. Pak Penghulu membacakan khotbah nikah. Nasihat-nasihat tentang pernikahan, tentang tanggung jawab suami, tentang kewajiban istri. Setiap kata terasa menusuk Bunga. Ia merasa seperti seorang penipu di acara sakralnya sendiri.

"Baik, semuanya sudah siap?" tanya Pak Penghulu. "Ananda Arga? Sudah siap?"

"Siap, Pak," Bunga mendengar suara Arga di sebelahnya. Tenang, mantap, tanpa getar sedikit pun.

"Pak Budi, selaku wali nikah, silakan," kata Pak Penghulu.

Ayah Bunga mengambil mikrofon. Ia berdeham. Bunga melihat tangan Ayahnya yang memegang kertas contekan sedikit bergetar.

"Ananda Arga Pradipta bin Pradipta..." panggil Ayah.

Arga bergeser, menjabat tangan Ayah Bunga.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau..." Ayah Bunga berhenti sejenak, menarik napas dalam. Matanya berkaca-kaca saat melirik Bunga sekilas. "...dengan putri kandung saya, Melati Bunga Yasmin binti Budi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai."

Hening. Seluruh dunia Bunga terasa berhenti.

Lalu, dengan satu tarikan napas yang mantap dan lantang, suara Arga memecah keheningan.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Melati Bunga Yasmin binti Budi dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."

Satu tarikan napas. Lancar. Sempurna.

"Bagaimana, saksi?" tanya Pak Penghulu.

"SAH!"

"SAH!"

"Alhamdulillahirabbil'alamin..."

Doa dipanjatkan. Bunga tidak mendengar apa-apa lagi. Telinganya berdengung hebat.

Sah.

Kata itu bergaung di kepalanya. Sah. Sah. Sah.

Ia kini adalah seorang istri. Istri dari Arga Pradipta.

"Silakan, pengantin wanita mencium tangan suaminya. Dan pengantin pria bisa memberikan maharnya dan mencium kening istrinya," instruksi Pak Penghulu.

Bunga membeku. Ini dia. Bagian yang tidak ada dalam perjanjian mereka.

Ibunya menyenggolnya pelan. "Ayo, Nduk. Salim sama suamimu."

Suamimu.

Dengan tangan gemetar hebat, Bunga bergeser menghadap Arga. Ini adalah pertama kalinya ia menatap Arga dari jarak sedekat ini sejak di teras belakang.

Laki-laki itu menatapnya. Tatapannya... tidak bisa dibaca. Tidak ada senyum bahagia, tapi juga tidak dingin. Hanya... datar.

Arga mengulurkan tangannya.

Bunga menelan ludah. Perlahan, ia mengambil tangan itu. Tangan yang besar, hangat, dan kokoh. Tangan yang dulu sering mengacak-acak rambutnya.

Ia menunduk dan mencium punggung tangan itu. Bibirnya bergetar saat menyentuh kulit Arga. Rasanya aneh. Sangat salah, namun juga sangat... sah.

Ia menarik tangannya.

Kini giliran Arga. Laki-laki itu mengambil kotak mahar, menyerahkannya pada Bunga. Bunga menerimanya dengan kaku.

"Pasang cincin kawinnya sekalian," kata Tante Ratih, menyerahkan kotak cincin.

Mereka saling memasangkan cincin. Jari Arga terasa hangat saat menyentuh jari Bunga, memasangkan cincin emas putih polos itu di samping cincin tunangannya. Giliran Bunga, ia nyaris tidak bisa memegang cincin Arga saking gemetarnya.

Lalu, momen yang paling Bunga takuti.

Arga mencondongkan tubuhnya ke depan.

Bunga refleks memejamkan matanya rapat-rapat. Jantungnya serasa mau meledak. Ia bisa merasakan napas hangat Arga di wajahnya. Ia mencium wangi parfumnya lagi.

Sebuah sentuhan lembut, kering, dan sangat singkat mendarat di keningnya.

Bukan bibir.

Bunga membuka matanya. Arga telah menegakkan tubuhnya kembali. Ia baru sadar. Arga tidak menciumnya dengan bibir. Laki-laki itu... hanya menyentuhkan ibu jarinya yang tadi ia gunakan untuk memegang kening Bunga, sebagai gestur simbolis. Mungkin. Atau...

Cekrek! Cekrek!

Suara fotografer membuyarkan lamunannya.

Ah, mungkin Arga benar-benar menciumnya, tapi Bunga terlalu gugup untuk merasakannya.

"Alhamdulillah," kata Pak Penghulu. "Kalian berdua kini sudah sah menjadi suami istri."

Bunga ingin berteriak bahwa ini semua adalah sandiwara.

Acara dilanjutkan dengan sungkeman. Ini adalah bagian terberat kedua. Saat ia bersimpuh di depan Ayahnya, pertahanannya runtuh. Ia menangis sesenggukan.

"Ayah... Bunga minta maaf..."

"Sudah, Nduk, sudah," Ayah mengusap kepalanya. "Kamu nggak salah apa-apa. Ayah cuma mau kamu bahagia dan aman. Ayah titip kamu sama Arga, ya. Jadi istri yang sholehah."

Aman. Kata itu lagi.

Saat bersimpuh di depan Ibunya, tangisnya semakin pecah. "Buk..."

"Sshh... sudah, Nduk. Jangan nangis terus, nanti *make-up*-nya luntur," canda Ibunya, meski suaranya bergetar menahan tangis. "Ikhlaskan, ya. Ini jalan terbaik."

Lalu ia bersimpuh di depan Om Pradipta dan Tante Ratih, yang kini resmi menjadi mertuanya.

"Selamat datang di keluarga kami, Nduk Bunga," kata Tante Ratih lembut, memeluknya erat. "Jangan sungkan, ya. Anggap Tante seperti Ibumu sendiri."

Bunga hanya bisa mengangguk di tengah isakannya.

Terakhir, ia menatap Arga. Haruskah ia *sungkem* pada suaminya juga? Tapi acara sudah selesai.

"Ayo, foto keluarga dulu!" seru fotografer.

Semua orang berkumpul. Bunga diposisikan berdiri tepat di samping Arga.

"Pengantinnya agak deketan, dong. Pegangan tangan, Mas, Mbak!"

Bunga merasakan tangannya diraih. Tangan Arga yang hangat menggenggam tangannya yang sedingin es. Genggaman itu erat dan mantap. Bunga menoleh sekilas. Arga sedang tersenyum ke arah kamera. Senyum palsu yang terlihat sangat meyakinkan.

Bunga pun memaksakan seulas senyum.

Setelah syukuran kecil selesai dan para tamu undangan (yang hanya keluarga dekat) pulang, rumah kembali lengang.

Keluarga Arga juga pamit. "Kami pulang dulu, ya. Besok kami antar Arga dan Bunga ke bandara," kata Tante Ratih.

"Lho, Arga nggak nginap di sini, Tante?" tanya Ibu Bunga kaget.

Tante Ratih tertawa. "Aduh, gimana, sih. Kan sudah sah. Ya nginap di sini, dong. Barang-barangnya Arga sudah dipindahkan ke kamar Bunga tadi."

Jantung Bunga serasa jatuh ke lantai.

Apa?

Satu kamar?

Ia menatap Arga panik. Ini tidak ada dalam perjanjian! Perjanjian mereka dimulai di apartemen, bukan di sini!

Arga, yang sepertinya sama kagetnya, berdeham. "Ehm... barang Arga biar di kamar tamu saja, Tante. Nggak enak sama Om Budi."

"Nggak enak gimana, lho?" Ayah Bunga tertawa. "Kalian kan sudah suami-istri. Ya tidur di kamar Bunga, lah. Kamar tamu biar dipakai Om sama Tantemu dari desa."

Wajah Bunga memucat. Ia menatap Arga, matanya memohon.

Arga terlihat serba salah. Ia tidak mungkin membantah Ayah Bunga dan Ibunya di depan semua orang.

"Iya, sudah. Sana, masuk kamar. Kalian pasti capek," kata Ibu Bunga, mendorong pelan bahu putrinya.

Arga dan Bunga saling berpandangan. Keduanya terjebak.

Malam pertama mereka sebagai "suami-istri" akan dihabiskan di dalam satu kamar tidur yang sama.

Perjanjian mereka... diuji bahkan sebelum dimulai.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!