NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 33

Pagi itu, sinar matahari menyelinap lewat jendela besar kamar utama. Emily membuka mata pelan, mendapati sisi ranjang di sebelahnya kosong.

Biasanya Albert sudah berangkat ke kantor sebelum ia sempat bangun. Namun, hari ini berbeda, dia mendengar suara samar dari ruang keluarga.

Dengan langkah hati-hati, Emily turun. Ia terhenti di ambang pintu, matanya melebar. Albert duduk di sofa, masih dengan piyama abu-abu, memegang dokumen di pangkuannya sambil menatap laptop.

Sebuah pemandangan langka, Albert biasanya begitu kaku dengan rutinitasnya, tak pernah terlihat santai di rumah.

“Pagi…” suara Emily terdengar pelan.

Albert menoleh. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pagi. Aku bekerja dari rumah hari ini.”

Emily berkedip. “Oh? Jadi.. kau akan di sini seharian?”

“Kenapa? Kau tidak suka?” tanyanya, alisnya terangkat.

Emily buru-buru menggeleng, meski dalam hati ada rasa gugup. “Bukan begitu. Hanya.. tidak terbiasa.”

Albert menutup laptop, berdiri, lalu melangkah ke arah dapur. “Kalau begitu, kita akan mulai terbiasa.”

Emily mengikutinya, dan tanpa disadari, suasana rumah terasa berbeda—lebih hangat, lebih hidup.

Di dapur, Emily mencoba menyiapkan sarapan. Albert duduk di kursi bar, memperhatikan setiap gerakannya.

“Kau sering memasak?” tanyanya sambil menyilangkan tangan.

Emily terkekeh kecil. “Kalau aku jawab iya, kau tidak akan percaya. Jadi anggap saja aku sedang belajar.”

Albert mencondongkan tubuh sedikit. “Belajar untuk siapa?”

Pertanyaan itu membuat Emily terdiam sesaat. Ia meliriknya sambil tersenyum samar. “Untuk diriku sendiri. Dan.. mungkin, untukmu juga.”

Albert tidak segera menjawab, tapi sorot matanya melunak. Ada sesuatu yang hangat dalam tatapan itu, sesuatu yang jarang ia perlihatkan.

Hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama di rumah. Emily menunjukkan beberapa sudut rumah yang sudah ia dekorasi ulang dengan sentuhan kecil bunga di vas, buku yang ia tata ulang, tirai yang ia pilih sendiri.

“Aku tidak suka rumah terlalu kaku,” katanya sambil merapikan bingkai foto. “Aku ingin tempat ini terasa.. hidup.”

Albert memperhatikan dengan seksama. “Kau berhasil. Rumah ini terasa berbeda sejak kau ada di sini.”

Kalimat itu membuat Emily menunduk, pipinya memanas. Ia tidak menyangka Albert bisa bicara sejujur itu.

Menjelang siang, Albert mengajaknya berjalan di taman belakang. Angin sepoi-sepoi membuat gaun sederhana Emily berkibar ringan. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, suasana hening namun nyaman.

Albert tiba-tiba membuka percakapan. “Aku jarang punya waktu untuk hal-hal seperti ini.”

Emily menoleh. “Waktu untuk apa?”

“Untuk duduk santai, tanpa memikirkan pekerjaan. Bersama seseorang.”

Emily merasakan dadanya bergetar. Ia tersenyum kecil, menatap hamparan bunga di depan mereka. “Mungkin memang itu yang kau butuhkan. Sedikit jeda dari semua kesibukan.”

Albert menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya menghela napas. “Mungkin kau benar.”

Sore hari, Emily membawa kanvas kecil ke taman. Ia mulai melukis pemandangan bunga, sementara Albert duduk di sampingnya, membaca dokumen di tablet.

Beberapa kali, tatapan Albert teralihkan ke arah Emily. Ia melihat bagaimana gadis itu begitu fokus, bagaimana jemarinya menari di atas kanvas. Ada aura menenangkan yang terpancar darinya.

“Kau terlihat berbeda saat melukis,” kata Albert tiba-tiba.

Emily terkejut, kuasnya hampir menyentuh garis yang salah. “B-beda bagaimana?”

Albert menyandarkan tubuhnya. “Lebih hidup. Seolah… itulah dirimu yang sebenarnya.”

Emily tercekat. Ia buru-buru tersenyum samar. “Mungkin aku hanya terlalu menikmatinya.”

Albert tidak menanggapi lebih jauh, tapi ia terus menatap Emily dengan sorot mata penuh ketertarikan.

Malam itu, setelah makan malam bersama, Emily sedang merapikan cangkir teh di ruang tamu. Albert tiba-tiba masuk membawa ponselnya. Ia duduk di sofa, memperlihatkan layar pada Emily.

“Kau tahu? Akun Daisy itu baru saja mengunggah karya baru,” ujarnya, nada suaranya penuh kagum.

Emily hampir menjatuhkan cangkir. Dengan hati-hati ia duduk di samping Albert, pura-pura penasaran.

“Kau lihat,” Albert menunjuk layar. Sebuah lukisan digital penuh warna terpampang di sana, lukisan yang baru saja ia unggah setengah jam lalu. “Detailnya luar biasa. Aku tidak pernah bosan melihat karya ini.”

Emily menelan ludah, berusaha menahan senyum. “Y-ya… cantik sekali.”

Albert menatapnya. “Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali melihat karya ini… aku merasa seperti mengenal senimannya. Ada sesuatu yang… dekat.”

Emily menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Mungkin.. kau hanya terlalu kagum.”

Albert menyandarkan tubuh, matanya masih terpaku pada layar. “Mungkin. Tapi aku akan terus mencarinya.”

Emily menggenggam ujung gaunnya erat-erat, dalam hati berdoa semoga rahasianya tetap aman.

Namun, di balik rasa takut itu, ada pula sesuatu yang lain, seperti rasa hangat, rasa bahagia karena orang yang duduk di sampingnya adalah orang yang paling menghargai karyanya.

Untuk pertama kalinya, Emily merasa rumah itu benar-benar miliknya.

Malam itu, rumah kediaman Hilton terasa lebih sepi dari biasanya. Albert masih sibuk dengan dokumen di ruang kerja, sementara Emily sudah masuk ke kamar sejak beberapa jam lalu.

Seharian tadi ia tampak ceria, bahkan sempat bercanda kecil dengan Albert saat makan malam. Tapi ketika ia menutup pintu kamar, wajahnya berubah pucat.

Emily duduk di tepi ranjang, napasnya sedikit memburu. Tangannya gemetar saat membuka laci kecil di samping tempat tidur.

Di dalamnya tersusun rapi beberapa kotak obat dengan label yang sengaja ia copot. Ia mengambil satu tablet, menelannya dengan cepat, lalu menutup kembali laci itu rapat-rapat.

“Tenang… hanya butuh istirahat sebentar,” bisiknya lirih, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun, rasa pusing yang menusuk semakin kuat. Pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya limbung. Ia berusaha bangkit untuk meraih segelas air di meja, tapi langkahnya goyah. Sekejap kemudian, tubuhnya jatuh terhempas ke lantai dengan suara berdebam pelan.

Albert yang kebetulan berjalan menuju kamar hendak memastikan istrinya sudah tidur langsung terhenti ketika mendengar suara itu. Jantungnya berdetak kencang. Ia membuka pintu dengan tergesa.

“Emily!” serunya, panik melihat tubuh istrinya tergeletak tak sadarkan diri di sisi ranjang.

Dengan cepat ia berlutut, menepuk-nepuk pipinya pelan. “Hei, bangun! Emily!”

Tidak ada jawaban. Albert mengangkat tubuhnya ke atas ranjang, matanya memindai wajah pucat itu dengan cemas.

Untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya, dia takut kehilangan seseorang yaitu Emily

Ia hampir saja menekan nomor darurat di ponselnya ketika Emily mulai bergerak.

Pelan-pelan, mata gadis itu terbuka. Napasnya tersengal, wajahnya masih pucat pasi. “A.. Albert?” suaranya lemah.

Albert menahan tangannya, nadanya penuh nada khawatir yang jarang sekali ia perlihatkan. “Ya, aku di sini. Apa yang terjadi? Kau pingsan barusan!”

Emily mencoba duduk, tapi tubuhnya masih lemah. Ia memaksa tersenyum. “M-maaf.. aku hanya kelelahan. Tidak perlu khawatir.”

Albert menatapnya tajam. “Kelelahan? Emily, kau tidak terlihat baik-baik saja. Aku akan memanggil dokter.”

Emily buru-buru menggenggam tangannya, menahan. “Jangan! Tidak perlu, sungguh. Aku hanya butuh istirahat. Percayalah.”

Albert mengerutkan kening. Untuk pertama kalinya, Emily terlihat panik menolak bantuannya. Ada sesuatu yang aneh. Ia menatap wajah istrinya lama, mencoba mencari kebohongan di sana.

“Emily…” suaranya lebih tenang, tapi tegas. “Katakan yang sebenarnya. Ada apa denganmu?”

Emily terdiam. Dalam hatinya, ia ingin jujur, ingin bersandar pada seseorang. Tapi bayangan akan kehilangan semua yang ia miliki sekarang, kebersamaan, rasa hangat, bahkan pernikahan ini membuatnya menggigit bibir dan menggeleng pelan.

“Tidak ada, aku hanya.. terlalu banyak pikiran. Itu saja,” jawabnya singkat.

Albert masih menatapnya, sorot matanya penuh keraguan. Namun ia memilih untuk tidak memaksa, setidaknya malam ini. Ia membantu Emily berbaring kembali, menyelimutinya dengan hati-hati.

“Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi,” ucapnya, meski nada suaranya menunjukkan ia tidak percaya begitu saja.

Emily hanya mengangguk pelan, memejamkan mata seolah benar-benar ingin tidur.

Beberapa menit setelah Albert keluar kamar, Emily membuka mata. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tahu Albert sudah mulai curiga. Laci di samping tempat tidur terasa seperti bom waktu, jika pria itu membukanya, semua akan terungkap.

Ia menekan dada kirinya yang berdebar sakit, berbisik lirih. “Tolong… jangan sekarang. Aku belum siap.”

Sementara itu, Albert kembali ke ruang kerjanya, tapi pikirannya tidak bisa fokus pada dokumen lagi. Bayangan Emily yang terbaring lemah terus menghantui.

Ia ingat saat memegang tangannya tadi dingin, terlalu dingin. Ia juga ingat tatapan panik istrinya saat ia menyebutkan dokter. Itu bukan sikap seseorang yang sekadar kelelahan.

Albert menyandarkan tubuhnya di kursi, mengusap wajahnya. “Ada sesuatu yang disembunyikan dariku.”

Untuk pertama kalinya, sang CEO yang selalu yakin pada setiap langkah bisnisnya merasa bimbang. Ia ingin percaya pada Emily, tapi nalurinya berkata lain. Dan naluri itu jarang salah.

***

Keesokan paginya, Emily sudah bangun lebih dulu, mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menyiapkan sarapan, tersenyum ceria saat Albert turun dari kamar.

“Pagi! Kau sudah siap kerja?” katanya dengan nada riang.

Albert menatapnya lama sebelum menjawab. “Ya. Kau bagaimana? Benar-benar baik-baik saja?”

Emily mengangguk cepat. “Tentu. Lihat? Aku segar kembali.”

Albert hanya diam. Ia duduk, mulai makan, tapi sorot matanya tidak lepas dari Emily. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, ia tidak hanya melihat Emily sebagai wanita ceria lagi, tapi juga sebagai misteri yang ingin ia pecahkan.

Dan sejak hari itu, kecurigaan Albert terus tumbuh, diam-diam mengawasi setiap gerak Emily.

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!