“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Kamar itu nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lampu meja menyala temaram, menyorot wajah Airin di depan cermin riasnya.
Tangannya terangkat pelan, memasang selembar koyo penghangat — pereda nyeri, ke bahu dan sebagian punggungnya.
Wajahnya menyimpan lelah. Tetapi, bibirnya terus mengatup rapat, dadanya tampak membuncah.
“Sial! Si Nenek sihir itu sama sekali nggak ngasih aku napas.” Airin mendengus kesal, tangannya terus mengepal di atas pangkuan.
“Apa Kayuna dulu juga begini? Tapi, dia selalu terlihat baik-baik saja. Wajahnya terus berseri seolah tak terjadi apa-apa.”
Brak!
Niko membuka pintu kamar.
Airin menoleh, tatapannya menusuk ke arah suaminya. Tak memberi jeda, ia langsung menyambut Niko dengan segala keluh kesahnya.
“Mas?!”
“Apa sih, Rin?” sahut Niko sambil melepas jasnya.
Tubuhnya lunglai seolah tak berdaya, wajahnya pucat nyaris seperti mayat hidup. Ia menyeret langkah menuju lemari lalu meraih sebuah kaos polos.
“Mas. Aku mau mulai kerja lagi mulai besok!” ucap Airin lantang.
“Apa maksudmu?”
“Aku nggak betah di rumah seharian, Mas! Ibumu bener-bener keterlaluan!”
Niko hanya menghela napas berat. Ia memilih diam tak menanggapi ocehan istrinya.
“Mas ….”
“Apa kamu gila? Setelah semua yang terjadi kamu ingin kembali bekerja, hah?!” sergah Niko.
Airin tersentak, mata yang sedari tadi nyalang kini redup tertunduk.
“Dengar, Rin. Di kantor keadaan lagi kacau! Gosip aibmu dan aku semakin memanas dan terus jadi bahan cemooh di sana.” Niko menekankan ucapannya. “Apa jadinya kalau kamu kembali bekerja? Mau menambah masalah? Dengan berkeliaran memamerkan aibmu? Lihat perutmu!”
Perut Airin yang tampak kian membuncit, membuat Niko muak setiap kali melihatnya. Seolah ditampar oleh aib yang sebenarnya adalah ulahnya sendiri.
Airin mendongak, seringai sinis melengkung di wajahnya. “Aib? Kamu menganggapku aib selama ini? Ini juga ulahmu, Mas! Aku hamil anakmu!”
“Apa aku meminta anak padamu? Nggak, Airin. Aku nggak pernah mengharapkan itu.”
Airin mengeraskan rahangnya. Dadanya sudah kembang kempis, tapi berusaha tak memberontak. “Kenapa kamu berubah, Mas?”
“Berubah apanya?”
“Mas, pokoknya aku nggak mau lama-lama di rumah ini. Belikan rumah baru untukku, atau—”
“Atau apa? Kau mau mengancam?” Niko melangkah mendekati Airin, tatapannya menancap setajam anak panah.
Airin mundur selangkah, rautnya tegang, napasnya tercekat. “Mas ….”
“Aku selalu diam selama ini, tapi rupanya diamku membuatmu jenuh. Kau mau aku berbuat apa, Airin? Hah?!” tekan Niko.
“Aku cuma mau kita pisah rumah sama Ibumu, Mas.”
Niko mengulurkan tangan, mencengkram leher istrinya. “Bacot! Kenapa kau semakin banyak maunya? Apa sulitnya duduk diam dan jangan memancing amarahku. Kepalaku nyaris pecah memikirkan masalah yang selalu muncul karna ulahmu yang menipuku!”
“A-aa … Mas ….” Airin tercekik, nyaris kehabisan napas.
Niko tak melepas cengkramannya. Ia terus mendorong Airin hingga tubuh wanita itu terpojok di sudut dinding.
Plak!
“Aaaa!!”
“Diamlah dan jangan bertingkah! Kau membuatku muak, Jalang!” teriak Niko murka.
Laki-laki bengis itu kembali melanjutkan aksinya, seperti yang biasa ia lakukan saat bersama istri pertamanya. Kayuna.
Ia yang tampak lemas sejak sepulang dari kantor, kini tatapannya menyala penuh bara yang sulit dipadamkan.
Tangannya meraih sebuah dasi yang ia lemparkan ke atas ranjang, lalu mengikat tangan istrinya — ke sebuah tiang, yang masih berdiri tak berpindah di sisi ranjang. Tiang yang ia sediakan kala baru menikahi istri pertamanya.
“Kau menguji kesabaranku, Airin!”
Plak!
Plak!
Plak!
Niko menampar keras istrinya.
“Mas, maaf, Mas—”
Niko tak memperdulikan. Sambil tersenyum remeh, ia melangkah menuju laci di sudut ruangan. Lalu mengeluarkan sebungkus rokok, kemudian menyulutnya.
Bibirnya terangkat sinis, dengan tatapan bak sebongkah es ia kembali mendekati sang istri.
Ia menghisap dalam batang rokoknya, kemudian meniup kepulan asap ke wajah Airin. Wuushh …
Wanita hamil itu terbatuk, napasnya tersengal berat.
Tanpa menunggu lagi, Niko menyodorkan bara rokoknya — menekannya kuat ke wajah Airin. Kemudian …
“Aaaahhkkk! Panasssss!!” Airin menjerit.
***
“Kamu nggak kepikiran seseorang, siapapun yang menurutmu mencurigakan?” tanya Adrian.
Kayuna baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah. “Entahlah, aku nggak kepikiran siapa-siapa,” sahutnya sembari mengeringkan rambut dengan handuknya.
Sama seperti sebelumnya, Kayuna kembali menerima pesan anonim. Kali ini, pesan itu berisi sebuah petunjuk tentang kejanggalan kematian ayahnya.
Sebelumnya, semua informasi tentang Airin yang menipu keluarga Niko, juga kabar pernikahannya pun, Kayuna dapatkan dari pengirim pesan misterius tersebut.
Oleh karena itu, ia dengan mudah mengatur rencana dan bahkan menjemput orang tua Airin untuk menyaksikan pertunjukan.
“Apa ini nggak bisa dilacak?” Kayuna berganti bertanya.
“Kamu mencatat semua pesannya, ‘kan?”
Kayuna mengangguk pelan. “Heem, semua aku catat di buku waktu itu.”
“Boleh aku bawa bukunya? Biar kucoba lacak bersama Reza.” Adrian memicingkan mata — menelisik rentetan pesan di ponsel Kayuna.
“Baiklah, bawa aja.”
“Tapi ….” Tatapan Adrian mendadak redup, cemas.
“Tapi apa?” Kayuna menatap penuh tanya.
Adrian cemas, jika si pengirim pesan itu adalah penguntit. Ia curiga ponsel Kayuna disadap, hingga apapun yang dilakukan Kayuna pengirim pesan rahasia itu pasti mengetahuinya.
Tapi, ia tak ingin membuat Kayuna khawatir. ‘Akan kuselidiki sendiri nanti, siapa pengirim pesan rahasia itu.’
“Tapi, Adrian ….”
“Hm?” Adrian mengangkat dagunya.
“Kenapa dia mengirim pesan seperti itu? Kejanggalan kematian Ayahku? Apa … Ayahku bukan murni bu*nuh diri?”
Adrian menghembuskan napas panjang, lalu mengusap lembut bahu Kayuna yang kini duduk di lantai, bersandar pada sofa tepat di hadapannya.
“Banyak kemungkinan yang terjadi. Tapi, kamu jangan terlalu memikirkan hal buruk, aku akan coba selidiki nanti,” ucap Adrian menenangkan.
Kayuna mendongak, membiarkan wajah ayunya terbingkai jelas sepenuhnya, memenuhi pandangan Adrian. Kelopak matanya berkedip pelan, seolah kode bahwa ia mengerti.
“Iya, aku patuh.”
Adrian tertegun, meneguk ludah kasar. Jantungnya mendadak berdegup, ada getaran yang membuatnya tak berkutik.
Ia tertunduk, tatapannya terpaku pada wajah wanita yang berbinar di depan matanya.
“Kayuna … aku semakin tak kuasa menahannya.”
*
*
Bersambung.