Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 33 | You should try to trust me
"Elliot!"
Anala terpekik saat tinju Elliot melayang keras ke salah satu tiang besar disana. Napasnya seolah berhenti mengalir, terlalu membeku oleh rasa kaget. "Kamu bikin Nael takut." sebelah tangannya mengusap-usap punggung anaknya, meringkuk takut dibelakang.
Elliot mengatur napas, dadanya naik turun layaknya selesai berpacu kuda. Ia memegangi kepala, memutar pandangan ke lain arah. Ia tak mau untuk menatap anaknya saat ini, ia terlalu dikuasasi emosi.
Tanpa menoleh pada keduanya, Elliot bicara dengan suara gemetar. "Maaf... kamu bawa Nael duduk yang sedikit jauh dari sini. Aku... aku mau tenangin diri dulu." ia selalu memendam semuanya sendiri, tak pernah mau untuk sekedar berbagi kegelisahan.
Anala menggeleng cepat, jemarinya dengan lembut meraih kedua tangan Elliot dan menggenggamnya dengan hangat. "Ada apa? dia bilang apa sampai kamu segini emosinya?" matanya menatap Elliot lekat, jauh masuk ke dalam ruang terdalam.
Elliot tertegun oleh kelembutan itu, mata Anala memandangnya dengan damai seolah ia bagian dari jiwanya. Perlahan napasnya mulai stabil, setidaknya berusaha untuk ia stabilkan. "Bukan apa-apa, kamu nggak perlu pikirin itu."
Anala menghela napas, matanya terpejam menahan frustasi. Namun jemarinya tak lepas menggenggam kedua tangan Elliot. "Aku pun berharap kamu nggak perlu mikirin apapun yang Yohane katakan. Kita kan suami istri, kita harus saling percaya satu sama lain." diakhir kalimatnya ditutup dengan senyum yang merekah indah.
Mata Elliot berbinar terang, terlalu tulus dan blak-blakan tergambar dari sorot mata Anala. Rasa emosi itu seketika luruh berganti jadi sesuatu yang hangat menjalari hati.
"Papa... Nael mau digendong." suara Nael terdengar pelan, ia mendongak serius menatap Elliot. Tangannya terangkat, meminta untuk segera diangkat.
Ia menarik napas dalam, melepasnya dengan perlahan. Setelah semuanya benar-benar membaik, ia tersenyum, mengangkat Nathael ke dalam gendongannya. "Maaf ya Papa telat jagain Nael," telunjuknya menyentil ujung hidung Nathael. Lalu kembali memegang telapak tangan yang memerah lecet. "Mana sini tangannya yang luka... fuah... nanti disana kita obati ya?"
Si kecil itu mengangguk riang, tangannya melingkar makin erat dileher ayahnya. "Nael senang Papa juga ikut, jadinya kita bisa liburan bertiga." suara itu membuat hatinya menghangat, "Papa juga senang."
Pelan tapi pasti mereka obrolan mereka terasa makin nyaman. Padahal bukan waktunya untuk bicara panjang lebar dibandara, mereka harus segera beranjak—setidaknya mencari tempat menginap untuk beberapa hari ke depan.
"Papa, Nael lapar. Mau makan."
"Let's go kita cari tempat makan, sayang."
Mereka berniat makan di restoran yang ada disekitar bandara. Langkah kaki terdengar seirama, satu tangan menyanggah tubuh Nael, sedangkan yang lainnya membawa koper milik Anala. Elliot tak membiarkan Anala repot, dia lakukan semuanya sendirian.
"Aku aja yang bawa, El." sejak tadi ia terus memperhatikan disebelah, terlalu banyak beban yang harus dibawa Elliot. Namun pria itu malah menggeleng tanpa berpikir banyak. "Aku aja, tangan kamu lagi sakit."
Anala menghentikan langkahnya, sengaja memandangi punggung lebar itu dari belakang. Kokoh, tangguh, dan terlihat bisa diandalkan. Seketika pipinya bersemu merah, ia menepuknya lalu kesemsem sendirian.
Tuh kan kamu bikin aku jatuh cinta lagi... berkali-kali. Dasar licik!
Perempuan itu mengepalkan tangannya lalu misuh-misuh dalam diam. Sebelum Elliot makin jauh, ia buru-buru mengejarnya dengan langkah tergesa.
"Kerjaan kamu gimana?" sambutnya begitu langkah mereka kembali sejajar.
"Titip ke Hendrik dulu, yang mendesak ku usahakan lewat tab itu." pandangannya tertuju pada tab yang sedang Anala bawa. "Aku nggak akan biarin kamu bawa kabur Nael."
Anala mengerjap sesaat, belum begitu nyambung dengan jawaban Elliot. Sampai akhirnya ia menutup mulut, karena terlalu lebar menganga. "Asal tuduh terus! lagian kamu tau dari mana sih aku sama Nael ke Tokyo? kamu mata-matain aku?"
"Iya."
Perempuan itu sudah berkacak pinggang, ia sampai berani berdecak kasar disebelaj Elliot. "Ck, kamu tuh masih aja nggak bisa percaya sama aku. Harusnya kamu berusaha buat percaya sama istri kamu," ia sengaja menoleh ke arah yang berlawanan dengan Elliot, tanda bahwa ia sedang kesal.
Namun Pria itu malah tersenyum, jawabannya membuat Anala merasa ingin terbang ke angkasa raya. "Sekarang udah kok. Aku akan percaya istriku mulai sekarang."
Mendadak tungkai Anala rasanya gemetar, bukan hanya tungkai tapi mulai berefek sebadan-badan. Kebetulan mereka mulai memasuki salah satu cafe resto terdekat—duduk dan kemudian kembali berulah.
"Ini Beneran kamu, El?" tangannya terulur membelai kedua pipi Elliot. Matanya menyipit, tak percaya begitu saja. Ia menahan napas sejenak, menelan ludah sebelum kembali bertanya. "Kenapa kamu sampai nekat nyusul kesini?"
"Aku mau jemput anakku," Elliot menahan tangan Anala yang menjelajah bebas diwajahnya. Giginya gemeretuk pelan saat melihat ada bekas merah dipergelangan tangan Anala. "Apa-apaan kamu pergi tanpa ngabari aku?"
Anala mengerjap saat tangan Elliot menariknya dengan lembut. Ia menahan nafas sebelum bicara. "Aku udah tinggalin surat diatas ranjang kok. Kamu aja yang nggak liat."
Elliot terkesiap, matanya mendelik kesal sekaligus tak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. "Kamu kira sekarang masih jaman maja pahit? surat kek gitu gimana bisa kebaca cepat. Nggak usah ngaco deh!" ia melepas tangan Anala, dan membiarkannya kembali bebas.
Anala pun dibuat menyerungut, dia sampai memangku kedua tangannya, pura-pura ogah menatap lurus pada Elliot. "Ya terus aku harus gimana? ponselku nggak make SIM card lagi, semua sosmed juga udah aku hapusin. lalu aku ngabarin kamu lewat mana?"
"Telfon rumah kan bisa, email juga nyampenya cepat kok. Kamu aja yang nggak niat ngabarin aku."
Ditengah keributan itu mereka masih sempat memesan makanan walau sambil tatap penuh jengkel. Nathael yang memperhatikan keduanya hanya bisa menepuk kening, sedikit frustasi pada cinta Mama dan Papanya yang seperti rival abadi.
"Iih bukannya gitu, aku beneran nggak kepikiran sejauh itu."
Elliot menghela napas, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan mereka. "Ya udah lah nggak penting juga buat dibahas lagi." ia menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata sekedar melepas lelah yang tiba-tiba menumpuk.
"Cih, pemarah!" perempuan itu berdecih, tak puas dengan respon sang suami. Sementara Elliot tak menunjukkan wajah mengalah, sama kerasnya layaknya dua kutub magnet.
"Mama, Papa jangan ribut dong. Ini kan liburan pertama kita ke luar negeri." Perdebatan mereka melunak saat suara kecil itu menggema ditengah-tengah mereka. Untuk sejenak, mereka memilih damai dan menikmati waktu yang tak selalu sama.
***
Waktu berlalu tanpa terasa. Kini malam semakin larut dan mereka berada dalam sebuah kamar hotel bintang lima. Dikasur sebelah, Nathael sudah tertidur karena kecapean, sementara dua orang dewasa malah sibuk melanjutkan perdebatannya.
"Kamu bawa baju yang bisa aku pake nggak?"
Anala yang sudah berganti pakaian memperhatikan Elliot dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bagian bawahnya hanya ditutupi handuk, sementara yang atas polos tanpa kain.
Sontak Anala menelan ludah dengan kasar, tiba-tiba kepalanya berdengung kepikiran hal lain. Tingkahnya yang aneh membuat Elliot mengernyit keheranan. "Kamu kenapa? sakit kepala?"
"Ck, buruan deh pakai baju atau apa kek. Jangan godain aku."
Dia kegeeran sendiri, padahal Elliot tak berniat menggoda sama sekali. Pria itu menarik napas panjang lalu membuangnya dengan kasar. "Makanya aku tanya, kamu bawa baju yang bisa aku pakai atau enggak? soalnya aku tadi berangkat buru-buru."
Mata Anala tiba-tiba salah fokus pada otot perut Elliot. Entah sudah berapa kali ia mupeng dan berakhir meneguk ludah sejak tadi. Tangannya buru-buru membuka koper dan melempar satu kaos putih ke wajah Elliot. "Pakai itu!" katanya kelabakan.
"Loh, ini kan baju aku, kok bisa masuk koper kamu?" alisnya menyatu ditengah. Sementara Anala menjawab tanpa rasa bersalah. "Emang sengaja, biar nanti bau kamu nempel dikoper aku. Soalnya aku suka kangen sama kamu."
Elliot membelalak, matanya melebar tiba-tiba sebelum ia memilih untuk memutus pandangan. Ia buru-buru memasang kaos itu dan memakai celana pendek selutut yang kebetulan ia pakai sebelumnya. "Kalau kangen harusnya nggak ninggalin aku gitu aja, kamu kan bisa ajak aku."
"Emang kamu bakalan ninggalin kerjaan demi ikut aku?" mata Anala ragu-ragu menyusup kedalam bola mata Elliot, meminta jawaban yang serius. Pria itu tersenyum tanpa ragu mengangguk. "Kalau dua atau tiga hari, bisa aku usahain kok. Kamu kan istri aku, La..."
Jujur rasanya ada yang menyumbat tenggorokan Anala, lidahnya mendadak kelu kehilangan kemampuan untuk bicara didepan Elliot. Rasanya ada puluhan kupu-kupu yang menjalar diperutnya, ia baper lagi untuk kesekian kalinya.
"Jadi kalau bukan karena Yohane... ada perlu apa kamu berangkat ke Tokyo?" suara Elliot benar-benar mengalun lembut. Anala bisa merasakan ketenangan dari nada bicaranya yang menghanyutkan.
Anala menahan nafasnya, mendadak gugup ditatap sedalam itu oleh Elliot. Ia menggigit bibirnya, namun Elliot membelai bibir itu dan memintanya untuk berhenti. "Kenapa kamu gugup? aku cuma nanya alasan kamu kesini."
Jika tak dijelaskan, Elliot mungkin akan salah paham. Demi menghindari itu, Anala menahan tangan Elliot dan menatapnya tak kalah intens. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku kesini benar-benar untuk urusan lain. Aku mau menghadiri legacy exhibition dari seniman idolaku."
Mata Elliot mengerjap, langsung tahu siapa yang dimaksud oleh istrinya. "Anna Gilbert?" tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah.
Perempuan itu langsung mengangguk, wajahnya cerah seketika. "Kamu langsung tau ya?" tanpa menunggu lama Elliot pun mengangguki itu, dia tau apapun tentang Anala, bahkan hal kecil sekalipun. "Kamu kan istriku La... bagaimana mungkin aku nggak tau seniman idola kamu."
Sontak Anala terdiam cukup lama. satu detik, dua detik kemudian bibirnya langsung mengerucut bersamaan dengan tangis pelan yang tiba-tiba bergumam. Ia memeluk Elliot, membenamkan wajahnya senyaman mungkin dalam dekapan pria itu.
"Syukurlah... syukurlah aku nikahnya sama kamu."
Rasanya seperti mimpi saat Anala tiba-tiba memeluknya dengan ketulusan —menangis dalam dekapan tanpa perlu dicurigai lagi kebenarannya. Hanya dengan tatapan mata dan suara yang lirih itu, Elliot bisa yakin bahwa Anala nya benar-benar sudah kembali.
Aku bersyukur sudah memutuskan untuk mempertahankan pernikahan kita.