Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: MASA DAMAI YANG TERLALU MUDA
Reza kembali dari warung dengan es krim cokelat di tangan. Ia melahapnya tergesa-gesa, mengabaikan Nawangsih yang sudah berdiri di pintu, menyilangkan tangan. Sesuai janji, setelah es krim habis, Reza langsung ditarik ke kamar mandi.
Proses mandi adalah ritual kedua di pagi hari, yang tak kalah menyenangkan dari sesi balap. Nawangsih memandikan Reza dengan telaten, menggosok sisa lumpur, memastikan setiap inci kulit putranya bersih. Jarak fisik mereka saat ini tidak mungkin lebih dekat—mereka adalah dua jiwa yang benar-benar terikat oleh ikatan darah yang murni dan cinta ibu sejati.
Setelah berpakaian, Reza berlari menuju meja makan. Di sana, sudah tersaji dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi yang indah—salah satunya untuk Reza, dan satu lagi untuk Nawangsih.
Masakan Nawangsih adalah comfort food terbaik di dunia bagi Reza. Nasi goreng itu bukan sekadar makanan; itu adalah perwujudan dari seluruh waktu, tenaga, dan cinta yang Nawangsih dedikasikan untuk hidupnya. Aroma bumbu yang sempurna, campuran cabai yang pas, dan smoky dari sedikit kecap manis, selalu membuat perut Reza keroncongan.
Reza duduk di kursinya, langsung menyendok nasi goreng dengan semangat yang besar.
"Waaah! Nasi goreng Mama memang paling enak sedunia!" seru Reza, matanya lebar dan berbinar.
Nawangsih tersenyum, duduk di seberang meja. Ia hanya mengamati Reza makan, menikmati pemandangan itu. Piringnya sendiri masih utuh.
"Pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak," tegur Nawangsih lembut, sambil menyeka sedikit remah nasi yang menempel di sudut bibir Reza dengan ibu jarinya.
"Reza lapar! Enak sekali, Ma. Mama masak begini enaknya supaya Mama dapat apa?" tanya Reza polos, sambil mengunyah.
Pertanyaan itu menusuk Nawangsih. Ia menatap wajah Reza yang polos, wajah yang sama sekali tidak tahu betapa rumitnya hidup ibunya.
"Mama masak enak supaya Mama dapat..." Nawangsih mengambil napas dalam. "... supaya Mama dapat melihat kamu tumbuh besar. Supaya Mama dapat melihat kamu bahagia. Itu sudah cukup, Reza."
Nawangsih meraih garpu, memotong sedikit telur mata sapi di piring Reza, lalu menyuapkan potongan itu ke mulut Reza.
"Nah, sekarang giliran Mama yang makan. Mama sudah lapar."
Reza mengangguk, senang dengan suapan istimewa dari ibunya. Mereka mulai makan bersama dalam keheningan yang nyaman, diselingi suara denting sendok dan garpu.
Mereka hidup berdua. Tidak ada sosok ayah, tidak ada kerabat, tidak ada teman yang sering berkunjung. Di dunia Nawangsih, hanya ada Reza, dan di dunia Reza, hanya ada Mama. Ketergantungan emosional ini sangat intens, sebuah ikatan yang terlalu kuat yang kelak menjadi akar dari obsesi Reza.
Nawangsih memperhatikan Reza. Rambutnya yang masih basah, wajahnya yang berseri-seri. Ia merasa hangat, bahagia, dan juga... takut.
Ia takut pada waktu. Ia takut pada keajaiban awet mudanya. Ia takut Reza akan tumbuh dan mulai bertanya, mengapa Mama tidak punya teman laki-laki, atau mengapa Mama terlihat tidak menua seperti ibu-ibu lain. Untuk saat ini, ia hanya bisa menikmati momen ini, momen suci keintiman mereka.
Reza tiba-tiba berhenti makan. Ia menatap Nawangsih dengan serius.
"Ma, nanti Reza kalau sudah besar, Reza mau jadi Nahkoda. Biar bisa membawa Mama jalan-jalan ke laut yang jauh sekali. Mama tidak akan capek kerja lagi."
Nawangsih tersenyum mendengarnya. Ia tahu, Reza sedang menirukan karakter film kartun yang mereka tonton semalam.
"Oh ya? Nahkoda? Memangnya Nahkoda kerja apa?"
"Membuat kapal besar berjalan!" seru Reza, matanya berbinar. "Nanti Reza belikan Mama rumah yang besar sekali. Tidak perlu ada mesin cuci, nanti Reza carikan yang mencuci. Mama tinggal duduk di rumah, makan nasi goreng buatan Reza."
Nawangsih terkekeh. Kata-kata polos itu, yang berisi janji akan pengorbanan dan perlindungan, menghangatkan hatinya.
"Aduh, Mama tersanjung. Tapi kalau Reza yang masak, pasti tidak seenak buatan Mama."
"Enak kok, Ma! Nanti Reza belajar sama Mama. Kita akan selalu berdua, kan?"
Pertanyaan "selalu berdua" itu kembali menusuk. Nawangsih meletakkan sendoknya, meraih tangan kecil Reza yang penuh noda nasi goreng. Ia memandangi Reza.
"Ya, Nak. Kita akan selalu berdua. Selalu."
Di saat itu, Nawangsih membuat janji dalam hati: ia akan melindungi Reza dari masa lalu yang kelam, ia akan menjadi dinding tebal yang menghalangi dunia luar. Ikatan cinta mereka haruslah abadi, bahkan jika ia harus berbohong tentang usianya, tentang ayahnya, dan tentang takdir yang menantinya.
Mereka melanjutkan sarapan, menikmati masakan ibu yang sempurna, yang menjadi simbol betapa besarnya cinta Nawangsih kepada putranya. Cinta ini, yang tak disadari oleh Nawangsih, kelak akan bertransformasi menjadi cinta yang terlarang.
Setelah piring mereka kosong, Nawangsih mengajak Reza pindah ke sofa. Reza menyandarkan kepalanya di pangkuan Nawangsih, membiarkan ibunya membacakan buku cerita dongeng yang sama untuk kesekian kalinya. Aroma rambut Reza yang bersih setelah mandi, bercampur dengan aroma parfum Nawangsih yang lembut, menciptakan kenyamanan yang tak tergantikan.
Bagi Nawangsih, momen ini adalah kebahagiaan terbesar. Untuk saat ini, di usia Reza yang masih 5 tahun, ia adalah Dewi yang mencintai anaknya. Keindahan hubungan mereka belum ternodai oleh kebenaran. Ia berjanji akan menjaga momen ini, meskipun ia tahu, badai akan datang ketika Reza tumbuh dewasa dan matanya mulai melihat bahwa ibunya... tidak menua.