Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Salah Satu Dari Mereka
Xion ikut berdiri, sorot matanya kini tajam. “Kamu pikir aku nggak bisa hadapi? Siapa? To the point aja. Nggak usah basa-basi.”
Gery menatapnya lurus. Lalu… dengan nada pelan namun mengguncang,
“Kalau gue bilang… salah satu dari orangtua Tiny, lo percaya?”
Xion mengerutkan kening. “Salah satu dari mereka…?”
Pikirannya langsung berpacu.
Papa Tiny? Mama Tiny? Keduanya tampak seperti sosok yang sayang anak, sopan, bahkan mempercayakan Tiny padanya sepenuhnya.
Gery menatap Xion dengan pandangan menantang. “Iya. Kenapa? Lo takut? Gak berani lawan?”
Xion diam. Rahangnya mengeras.
Gery mendekat, suaranya pelan tapi tajam. “Lagian, udah kejadian juga. Lo nggak seneng? Bukannya lo yang rasain enaknya?”
Xion langsung menoleh, sorot matanya dingin. “Aku nggak ngerasain enaknya.”
Nadanya tajam. “Aku nggak sadar waktu itu.”
Gery mengangkat tangan, mengisyaratkan menyerah. “Oke. Gak usah marah. Gue Cuma bilang fakta.”
Ia menarik napas pelan. “Tapi lo cari sendiri dalangnya. Gue gak mau kode-kode lagi. Lo udah cukup dewasa buat buka mata.”
Ia menepuk bahu Xion. “Inget, mertua lo itu mertua gue juga. Gue tau kapan harus diem.”
Hening.
Angin semilir menerpa dedaunan di atas kepala mereka. Suasana kembali sunyi, tapi berat.
Lalu Gery membuka suara lagi. “Emang lo gak cinta ya… sama istri lo?”
Xion menoleh, rautnya masih dingin, tapi tatapan mulai goyah. “Kenapa nanya gitu?”
Gery menatap lurus ke depan, seolah mengabaikan wajah Xion. “Gue tau, dari dulu gue tau. Tiny itu suka sama lo. Bahkan dari sebelum ada Andika.”
Ia menghela napas panjang. “Tapi lo terlalu rapi. Terlalu jaga jarak. Terlalu sibuk jadi versi terbaik dari diri lo, sampai lo lupa… kadang, yang dibutuhin orang kayak Tiny itu Cuma satu: diyakini.”
Xion menunduk, diam.
Gery melanjutkan, suaranya berubah sedikit geram. “Jangan sampe lo kayak Rion.”
Xion langsung menoleh. “Rion?”
Gery mengangguk. “Lo pikir gue nggak tahu? Diva itu suka banget sama Rion. Dari lama. Tapi cowok itu… entah kenapa, selalu jaga jarak. Kayak dia terlalu ‘mahal’ buat Diva.”
Ia mengatupkan rahangnya. “Gue sering kelahi sama Diva, iya. Tapi gue nggak suka kalau adik gue digituin. Sekuat-kuatnya Diva… tetap cewek. Tetap bisa patah.”
Xion mengangguk pelan, menyimak.
Gery menoleh tajam. “Gue pengen gampar Rion kadang. Tapi dia… adik ipar gue. Adik kandung istri gue. Jadi ya… gue tahan.”
Xion bersandar ke pagar taman, mata menerawang. “Kamu kayak tahu segalanya aja…”
Gery mengangkat bahu. “Gue tahu cukup buat bisa bilang, jangan lo sia-siain istri lo.”
Ia menepuk bahu Xion perlahan. “Dia udah rusak. Dan itu karena lo.”
Xion masih diam. Pikirannya berputar, menelusuri celah-celah kemungkinan.
Salah satu dari orangtua Tiny? Siapa? Kenapa? Untuk apa?
Tapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, suara lembut memotong kebisuan mereka.
“Gery, Xion?”
Suara itu datang dari arah ambang pintu dapur.
Mama Laura—baru pulang, rupanya. Rambutnya masih rapi, tapi raut wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Namun sorot matanya langsung berbinar melihat dua putranya duduk di taman belakang.
“Kok ke sini nggak bilang ke Mama dulu?”
Xion segera berdiri tegak dan tersenyum kecil. “Iya, Ma. Lupa ngomong. Sangkain Mama di rumah. Tadinya mau surprise gitu…”
Gery langsung nyelutuk, khas gaya buru-buru bicaranya, “Ma, aku mau minta dokumen yang kemarin itu lho. Yang waktu Mama bilang disimpen di lemari.”
“Oh iya,” jawab Mama Laura sambil mengangguk. “Nanti Mama ambilin ya.”
Gery cepat-cepat menambahkan, “Bisa cepet kan, Ma? Aku mau urus sekarang. Alicia juga lagi hamil.”
Mama Laura membelalak. “Hamil lagi?”
Ia tertawa kecil, tapi juga agak syok. “Kok bisa ya barengan sama Layla? Layla hamil, Alicia juga…”
Lalu ia menoleh ke arah Xion. Pandangan matanya penuh tanya, senyum mengembang di bibir.
“Jangan-jangan… Tiny juga hamil?”
Xion hanya tersenyum kalem. Tak mengiyakan, tak membantah. Matanya menatap lembut, tapi misterius seperti biasa.
Mama Laura mengangguk-angguk perlahan. Ia tidak menekan lebih jauh. Ia tahu, putra keduanya ini memang sulit ditebak. Diam, tapi tajam.
“Papa mana, Ma?” tanya Xion, pelan.
“Lagi ngobrol sama Pak Joko,” jawab Mama Laura sambil memutar mata. “Biasa… kalau nggak ngobrol sejam aja, udah kayak orang sekarat. Ada-ada aja.”
Xion dan Gery hanya saling pandang lalu mengangguk.
“Yaudah,” ucap Mama Laura. “Mama ambil dulu dokumennya ya, Ger.”
“Makasih, Ma,” jawab Gery cepat.
Setelah Mama Laura masuk ke dalam rumah, Gery menoleh lagi ke arah Xion, menyengir iseng.
“Moga bener Tiny lagi isi, biar lo berabe ngurusnya.”
Xion tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah pepohonan. Ada angin pelan yang lewat.
Sementara Gery masih cekikikan sendiri. Entah mengolok, entah mendoakan. Dengan Gery… kadang dua hal itu memang terlihat mirip.
°°°°
“Ma, aku sama Tiny ke rumah Kak Alicia ya,” ucap Diva, muncul dari dalam rumah sambil menggendong tas selempang kecil.
Mama Laura yang baru saja keluar dari kamar, langsung mengangguk. “Iya, hati-hati ya. Jangan ngebut, Div.”
“Sip, Ma!” sahut Diva, sambil mengacungkan jempol.
Lalu ia menoleh ke arah Gery yang masih berdiri santai di taman,
“Bang, gue nggak bawa motor deh. Gue nebeng sama lo ya. Lo langsung ke rumah kan?”
Gery melotot kecil, “Pergi sendiri lah. Gue mau ke kantor dulu, banyak kerjaan.” nada Gery seperti biasa—setengah sarkas, setengah malas.
Diva mendecak, “Pelit banget sih. Padahal mobil lo gede, dua manusia doang susah amat.”
Tapi ia tetap melenggang ke arah gerbang dengan gaya cuek, lalu melambai ke Tiny, “Udah yok, Tiny! Gas! Otw! Nanti Kak Alicia tidur!”
Tiny berdiri pelan, lalu berjalan menghampiri Mama Laura. Ia menyalami tangan sang ibu mertua, seperti yang sering ia lakukan dulu saat hanya sekadar berkunjung sebagai sahabat Diva. Tapi sekarang… rasanya berbeda.
Ada canggung yang tak bisa ia sembunyikan, Karena yang dulu ia panggil “Tante” kini sudah berubah jadi… “Mama”.
“Aku pergi ya, Ma,” ucap Tiny lirih, tapi sopan.
Mama Laura membalas genggaman tangannya dengan lembut. “Iya, hati-hati ya. Jangan lupa makan, jangan banyak pikiran.”
Tiny mengangguk. Satu hal yang ia syukuri. Meski rumah tangganya belum mulus, tapi ia mendapat mertua yang tetap hangat.