📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Baru Dan Masalah Baru
Di wajah Elesa masih tersisa senyum tipis, kenangan hangat saat di kafe beberapa hari lalu bersama Rom masih melekat di benaknya. Tapi suasana pagi ini di ruang operasi digital Militarium jauh dari kehangatan. Layar-layar komputer di hadapan mereka berkedip cepat, menampilkan ratusan video dan data bocor yang membanjiri dunia maya.
Di pojok layar, nama pengunggah berulang muncul: Rembulan_Manis_Archive_04.
Rom duduk di depan layar dengan rahang mengeras. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, membuka ratusan tab, menyusuri jejak digital yang seperti benang kusut. “Mereka balik menyerang,” gumamnya, matanya menatap deretan KTP digital, foto-foto pribadi, bahkan rekaman CCTV yang seharusnya terkunci dalam sistem kepolisian. “Rembulan Manis bukan cuma hidup lagi, tapi berevolusi.”
Marckno, yang duduk di sebelahnya, wajahnya pucat. Ia membuka satu video dan terdiam. Tangannya gemetar ketika menyadari video yang ia lihat adalah rekaman pribadi keluarganya, yang dulu sempat hilang saat peretasan besar enam bulan lalu. “Sial...” suaranya pecah, pelan tapi penuh tekanan. “Video ini cuma ada di drive pribadiku.”
Elesa menoleh cepat. “Itu berarti mereka sudah menembus sistem cadangan kita.”
Marckno mengetuk meja, giginya terkatup rapat. “Atau lebih parah—mereka punya orang dalam.”
Dari ujung ruangan, Rexa, komandan dari Air-Rium, menegakkan tubuhnya. Ia datang membawa laporan koordinasi antar-unit udara, tapi begitu melihat layar, matanya membulat. “Kau yakin ini kerjaan Rembulan Manis?”
Rom langsung menatapnya tajam. “Nama file, pola penyebaran, bahkan tanda tangan digitalnya sama. Mereka cuma ganti format dan jalur distribusi. Mereka bukan cuma bangkit—mereka tahu kita sedang menatap mereka.”
Rexa menatap layar, lalu menoleh lagi ke Rom, nada suaranya menegang. “Kami sudah bantu patroli siber dua minggu terakhir. Jangan tunjuk aku seolah Air-Rium nggak ngapa-ngapain.”
Rom berdiri, suaranya meninggi. “Aku nggak bilang begitu, Rexa. Tapi lihat ini! Mereka masuk dari node komunikasi udara. Kau pikir aku bodoh?”
“Jangan asal tuduh!” potong Rexa cepat, menepuk meja keras. “Kami hanya sediakan relay untuk komunikasi operasi! Kalau itu bocor, berarti sistem kita disusupi dari luar, bukan dari pilot atau teknisi kami!”
Marckno menengahi dengan suara berat. “Cukup! Jangan mulai saling tuduh. Fokus ke sumbernya. Rembulan Manis menyerang balik. Kita sudah tahu itu.” Ia menatap layar besar di depan, di mana logo samar Rembulan Manis muncul di tengah gelap, diiringi kalimat singkat: “Terang kami menelanjangi gelap kalian.”
Hening panjang menggantung di ruangan.
Elesa melangkah mendekat, matanya menyapu wajah-wajah lelah di sana. “Mereka jelas ingin mempermalukan aparat dan militer. Mereka tahu masyarakat panik saat privasinya dibocorkan. Ini serangan moral, bukan sekadar pencurian data.”
Rom menatapnya. “Tapi mereka juga tahu kita masih belum pulih dari operasi terakhir. Server cadangan belum sepenuhnya aktif.”
Rexa menghela napas, nada suaranya menurun. “Baiklah. Aku bisa kirim unit intel udara kami untuk bantu scanning frekuensi radio ilegal di area Jakarta Timur. Kalau mereka pakai pemancar, kita bisa lacak dari udara.”
Rom melipat tangan di dada. “Itu bagus. Tapi kalau benar mereka pakai saluran udara buat sebar data, artinya mereka punya akses ke jaringan militer. Dan itu berarti... ada orang kita yang bantu.”
Elesa menatap Rom tajam. “Kau pikir siapa?”
Rom tak menjawab. Ia hanya menatap layar, jari-jarinya mengetik cepat, membuka jejak lokasi IP. “Belum tahu. Tapi setiap kali aku trace, sinyal balik ke satu tempat—Depok, daerah dekat hanggar latihan Air-Rium.”
Rexa spontan berdiri lagi. “Hei, hati-hati ngomong! Itu markas pelatihan, bukan markas hacker!”
Marckno menatapnya dingin. “Kami nggak bilang itu markas hacker. Tapi setiap sinyal yang kami tangkap berakhir di area itu.”
Suasana mengental. Hanya suara kipas pendingin komputer yang terdengar.
Elesa menunduk sebentar, lalu menatap semua orang. “Kita semua tahu Rembulan Manis sudah lama punya jaringan di perhotelan, travel, dan hiburan. Tapi kalau sekarang mereka menembus sistem militer... berarti mereka naik level. Mereka menyusup.”
Rom menatapnya. “Dan itu artinya—kalau kita lambat, mereka akan mulai menulis ulang sejarah digital negeri ini.”
Marckno mengetuk meja tiga kali, keras. “Kita tidak akan biarkan itu terjadi. Rexa, aku butuh akses terbatas ke sistem Air-Rium. Kami akan periksa dari sisi kami. Kau tidak diserang, tapi kami butuh pastikan tidak ada kebocoran dari frekuensi udara.”
Rexa menatapnya tak percaya. “Kau mau audit sistem militer udara? Itu gila, Marckno. Aku bisa dipecat.”
“Lebih baik dipecat karena jujur daripada dibiarkan hancur dari dalam,” potong Rom cepat.
Elesa melangkah di antara mereka, suaranya lembut tapi tegas. “Dengar. Kita semua di sisi yang sama. Ini bukan soal ego lembaga. Kalau Rembulan Manis benar sudah masuk lewat jalur Air-Rium, maka ini bukan lagi perang data, tapi perang infiltrasi.”
Rexa terdiam. Helaan napas panjang keluar darinya, seperti menelan seluruh kebanggaan militernya dalam satu tarikan. “Baik. Aku kasih akses level menengah. Tapi kalau ada yang salah paham dan nyangkut di markas kami, aku nggak mau tanggung jawab.”
Rom tersenyum miring. “Tenang saja, aku cuma mau lihat pintu belakang. Kalau bersih, kita sama-sama lega.”
Suasana sedikit mereda. Elesa duduk kembali, matanya masih gelisah menatap kode-kode yang berjalan cepat di layar. Ia tahu Rembulan Manis bukan lagi kelompok bawah tanah biasa. Mereka berkembang jadi jaringan internasional, mampu menembus sistem keamanan negara.
Marckno berkata pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dulu mereka cuma mencuri data. Sekarang mereka menyebarkan rasa takut. Dunia ini akan percaya pada kebohongan digital mereka sebelum percaya pada kebenaran kita.”
Rom menatap layar kosong di depannya. “Dan itulah alasan kenapa kita harus kalahkan mereka duluan.”
Hening sesaat, sebelum Rexa kembali berbicara. “Aku punya seseorang di unit teknis yang bisa bantu—Abdur, spesialis enkripsi. Dia dulu sempat kerja di proyek anti-hacker. Aku akan minta bantuannya untuk audit.”
Marckno menatap cepat. “Baik. Pastikan orang itu bersih. Kita tidak ingin bocor dari dalam lagi.”
Rexa mengangguk. “Aku tahu risikonya.”
Rom masih belum puas. “Pastikan juga dia bukan salah satu nama yang pernah muncul dalam log transaksi gelap dua tahun lalu.”
“Rom!” tegur Elesa pelan, tapi Rom hanya menatap balik dengan dingin.
“Tidak apa,” jawab Rexa datar. “Aku paham kecurigaanmu.” Ia menatap layar, melihat lambang Rembulan Manis yang berkedip halus di sudut kanan monitor. “Kau tahu apa yang menakutkan dari mereka?”
Rom mengangkat alis. “Apa?”
Rexa menjawab lirih, “Mereka tidak pernah membiarkanmu tahu kapan kamu sedang menjadi target berikutnya.”
Ucapan itu membuat ruangan kembali hening. Elesa mengusap rambutnya ke belakang, matanya kosong sesaat, sebelum menatap Marckno. “Kita harus hubungi Jarot. Polisi mungkin sudah punya laporan masyarakat soal kebocoran ini.”
Marckno mengangguk. “Baik. Aku akan siapkan pertemuan besok di sektor 5 Leak Berduri.”
Rom menatap layar satu kali lagi, memperhatikan daftar IP terakhir yang muncul sebelum koneksi ditutup paksa. Ia menyipit, membaca koordinat samar yang muncul—angka yang hampir tak berarti bagi orang lain, tapi cukup baginya untuk tahu satu hal: Rembulan Manis belum selesai.
Ia mematikan layar, berdiri, dan mengambil jaketnya. “Mereka pikir bisa sembunyi di balik jaringan udara. Baiklah,” katanya pelan, dengan nada yang hampir seperti janji, “kalau begitu kita akan temui mereka di langit.”
Elesa menatapnya dari belakang, nada suaranya pelan tapi penuh kekhawatiran. “Rom... jangan bertindak sendiri lagi.”
Rom berhenti di depan pintu, menoleh sebentar, matanya masih merah karena kurang tidur. “Tenang saja. Aku cuma akan lihat bintang,” katanya, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih seperti luka.
Ketika pintu tertutup, ruangan kembali sunyi, hanya suara komputer dan layar berkedip yang menemani mereka. Di pojok kanan layar, lambang Rembulan Manis perlahan memudar, digantikan oleh satu baris kalimat pendek yang muncul tiba-tiba:
“Kami di atas kalian.”