Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KRITIK SARKASTIS DAN FOKUS MUTLAK
Ancaman 20 juta itu terasa seperti borgol yang merantai pergelangan kakiku, menyeretku kembali ke lumpur utang yang baru saja kutinggalkan. Kemenangan 10 poin bonus dari Pak Arka terasa begitu kecil di hadapan bahaya fisik dan reputasi yang mengintai.
Aku harus bertindak cepat. Reputasi Amara yang mulai membaik tidak boleh hancur karena penagih utang yang datang ke kampus.
Aku mengaktifkan mode pencarian mendesak yang disarankan Sistem: Guru Privat Mandarin Daring. Aku menggunakan sisa uang Amara untuk membayar pendaftaran premium di salah satu platform pendidikan daring, menjanjikan kecepatan dan kualitas pengajaran yang luar biasa.
“Sistem, gunakan Fokus Absolut pada data pasar dan buat profil yang tidak bisa ditolak,” perintahku. Jika Kinara harus menjual dirinya, ia akan menjual versi dirinya yang paling efisien.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
PROFIL KINARA/AMARA DIBUAT: 'Mentor Bahasa Bisnis Intensif – Garansi Kelulusan HSK Tingkat Lanjut dalam 3 Bulan.' Kredibilitas 99% (Berdasarkan data akademis fiktif yang dibantu Sistem).
Dalam waktu kurang dari dua jam, sebuah notifikasi berkedip. Seorang klien potensial dari sektor korporat, yang membutuhkan persiapan cepat untuk penugasan di Shanghai, tertarik dengan profil yang terlalu sempurna itu.
“Wawancara via video call dimulai dalam lima menit,” lapor Sistem. Aku segera mencari sudut tenang di perpustakaan yang sepi, menstabilkan napasku.
Klien itu adalah seorang manajer muda yang ambisius. Selama 15 menit, aku tidak hanya berbicara Mandarin yang fasih (berkat memori Kinara yang diaktifkan), tetapi juga mengaitkan tata bahasa dengan strategi bisnis dan budaya negosiasi Tiongkok. Aku menggunakan Fokus Absolut untuk mendeteksi apa yang sebenarnya diinginkan klien—bukan sekadar guru, melainkan mentor yang bisa menjamin kariernya.
“Baiklah, Nona Amara,” kata klien itu pada akhirnya, suaranya terkesan. “Saya tidak peduli dengan rumor kampus Anda, tetapi kemampuan Anda jauh melampaui tutor biasa. Saya akan membayar Anda tarif premium, lima juta di muka sebagai komitmen untuk 10 jam pertama. Kita mulai malam ini.”
Kelegaan menghantamku. Lima juta. Itu jauh dari 20 juta, tetapi itu adalah nafas yang sangat kubutuhkan.
Aku segera mentransfer 5 juta itu kepada sindikat judi online. Aku mengirim pesan singkat, singkat, dan formal, tidak seperti Amara yang panik.
“Deposit 5 juta diterima. Sisanya akan diselesaikan dalam dua cicilan per minggu dari penghasilan baru. Jangan ganggu aktivitas akademis saya. Jika Anda melanggar, saya akan memastikan Anda tidak mendapatkan sisa utang sama sekali.”
Sistem mencatat, REPUTASI: -85. Utang tertunda, bukan terhapus.
Kini, aku harus menghadapi kehidupan kampus lagi, membawa beban utang dan kelelahan setelah mengajar hingga tengah malam, namun dengan citra yang sedikit lebih bersih.
Dua hari kemudian, aku kembali ke kelas Sosiologi Kritis. Ruangan itu terasa lebih dingin, pandangan teman-teman sekelas lebih menusuk. Bukan lagi tatapan jijik, melainkan tatapan skeptis bercampur cemburu. Mereka telah melihat anomali—Amara si IPK 0.9 mendapatkan pujian dari Pak Arka.
Pak Arka masuk, membawa suasana akademis yang mencekam. Hari ini, dia tidak membacakan esai. Dia langsung membahas hasil kuis.
“Rata-rata kelas 65. Ini rendah, tetapi bisa diprediksi. Kalian masih terjebak dalam pemikiran ‘satu jawaban benar.’ Padahal, sosiologi yang kritis adalah tentang sepuluh pertanyaan yang benar, yang mengarah pada kegelisahan sosial,” ujarnya, matanya menyapu kami.
“Namun, ada satu hasil yang menarik perhatian saya,” lanjutnya. “Satu mahasiswa mendapatkan skor 95. Skor ini hampir sempurna, dan—ironisnya—berasal dari mahasiswa yang secara statistik seharusnya tidak bisa membedakan Marx dari Mangkuk Ayam Jago.”
Dia berjalan ke mejaku. Aku menjaga ekspresiku tetap netral. Amara yang lama akan tersipu malu atau marah. Kinara hanya merasakan beban ekspektasi.
Pak Arka meletakkan selembar kertas, bagian depannya menghadap ke bawah. “Nasywa. Amara Nasywa.”
“Ya, Pak,” jawabku, suaraku datar.
“Tiga pertanyaan itu menuntut analisis struktural mendalam, bukan sekadar hafalan. Saya sudah mengecek bank data esai sosiologi online. Jawaban Anda tidak ditemukan. Itu orisinal. Dan itu membuat saya curiga.”
Aku tahu ini adalah bagian dari interaksi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan Misi Target 1: Kinara harus mendapatkan nilai A, tetapi Pak Arka harus yakin bahwa Kinara memiliki integritas intelektual, bukan sekadar trik sistem.
“Curiga kenapa, Pak? Bahwa saya tiba-tiba sadar setelah dua tahun mabuk di klub malam?” tanyaku, membiarkan sedikit sarkasme Amara keluar. Pak Arka tidak gentar.
“Bukan curiga pada kemampuan, Nasywa. Curiga pada motif. Jawaban Anda tentang utang dan agensi politik sangat pribadi. Anda menulis seolah-olah utang Anda adalah rantai yang mengikat Anda, membuat Anda takut bersuara. Itu otentik. Tetapi, otentisitas itu kontradiktif dengan reputasi Anda sebagai Antagonis Terbuang yang hedonis.”
Dia mencondongkan tubuh sedikit. “Jika kritik yang Anda tulis di kertas itu tulus, mengapa Anda baru menunjukkannya sekarang? Apakah Anda sedang bermain-main? Atau apakah Anda tiba-tiba menemukan jati diri baru setelah tersandung utang yang parah? Kritik struktural, Nasywa, harus keluar dari kerangka berpikir, bukan dari kepanikan finansial.”
Ruangan itu sunyi. Ini bukan lagi debat kuis. Ini adalah interogasi filosofis di depan umum.
Aku menatap matanya. Pak Arka tidak mencari jawaban yang benar, dia mencari kebenaran yang menyakitkan.
“Anda benar, Pak!!" kataku, memilih kata-kataku dengan hati-hati.
“Motif saya mungkin dimulai dari kepanikan finansial. Utang judi online memang membuat saya merasa seperti sampah. Tetapi apakah Anda tahu apa yang lebih menyakitkan daripada utang finansial, Pak Arka? Utang sosial.”
Aku melanjutkan, membiarkan setiap kata berbobot. “Utang sosial. Saya berutang pada sistem ini untuk waktu yang saya sia-siakan. Saya berutang pada diri saya sendiri untuk kecerdasan yang saya abaikan. Saya berutang pada orang tua saya untuk IPK 0.9 yang memalukan itu. Kepanikan finansial mungkin memicu saya, Pak, tetapi utang sosial itulah yang membuat saya menulis kritik struktural.”
Aku melihat sedikit perubahan di mata Pak Arka. Sinisme itu sedikit melunak, digantikan oleh analisis tajam.
“Jadi, Anda mengklaim bahwa kebangkitan intelektual Anda adalah bentuk penebusan utang sosial?” Pak Arka menyimpulkan, nadanya provokatif.
“Bukan penebusan, Pak. Itu adalah cara saya menuntut keadilan. Jika sistem ranking kampus ini diciptakan untuk menghasilkan mahasiswa yang hanya patuh, maka saya, si Antagonis Terbuang, adalah produk gagal yang sempurna. Dan saya akan menggunakan kegagalan saya untuk membongkar sistem yang mencoba membuang saya.”
Tiba-tiba, Rendra (Target 2) yang duduk di belakangku, berdeham keras, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap retorikaku yang terlalu keras.
Pak Arka mengabaikan Rendra. Dia tersenyum tipis—senyum yang pertama kali kulihat, yang bukan senyum sinis, melainkan senyum intelektual yang puas.
“Menarik, Nasywa. Saya tidak tahu siapa yang berbicara sekarang—Amara yang lama, atau arwah sosiolog yang kesal. Tetapi saya akan memberi Anda kesempatan untuk membuktikan integritas Anda.”
Dia mengambil buku tebal dari tumpukan di mejanya. “Untuk tugas berikutnya, saya ingin Anda membuat studi kasus lapangan. Anda harus mewawancarai sepuluh mahasiswa dari berbagai fakultas tentang pengalaman mereka dengan perundungan dan ketidakadilan akademis yang mereka rasakan akibat Sistem Ranking. Saya tidak ingin data survei, saya ingin narasi yang menghancurkan.”
Dia menatapku dengan tatapan yang menembus jiwaku, seolah dia tahu aku adalah Kinara, bukan Amara.
“Jika Anda bisa membawa cerita yang tulus, Nasywa, yang membuktikan bahwa kritik Anda bukan hanya retorika kosong, saya akan mengakui Anda sebagai mahasiswa saya. Jika tidak…”
Pak Arka tidak menyelesaikan kalimatnya. Tetapi implikasinya jelas: Jika aku gagal, semua kemajuan akademisku akan kembali menjadi nol. Ini adalah tantangan untuk terjun langsung ke konflik sosial kampus.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
MISI AKADEMIS LANJUTAN AKTIF: KUMPULKAN 10 NARASI PERUNDUNGAN. Ini akan memicu Misi Seri 2.
Aku mengangguk. Tugas ini sempurna. Ini memaksa Kinara untuk mulai menggunakan tubuh Amara untuk berinteraksi dengan struktur elit dan korban di kampus, yang merupakan langkah awal menuju Seri 2 (Pemberontakan Senyap).
Saat aku hendak meninggalkan kelas, Pak Arka memanggilku sekali lagi.
“Nasywa. Saya harap Anda menyadari bahwa kritik yang Anda tulis tentang utang dan belenggu sosial itu berbahaya. Kritik itu bisa menarik perhatian orang yang tepat—atau yang salah. Jaga diri Anda,” bisiknya, dengan nada yang kini lebih mirip peringatan pribadi daripada pengajaran dosen.
Aku berjalan keluar, merasakan adrenalin memompa. Pak Arka mulai menjadi Target yang menarik. Dia cerdas, skeptis, dan berbahaya. Aku tidak hanya harus berjuang melawan utang dan reputasi buruk; aku juga harus berjuang untuk mendapatkan kepercayaan intelektual dari seorang dosen sosiologi kritis yang mungkin melihat ke dalam jiwaku.
Malam itu, setelah sesi mengajar Mandarin yang melelahkan, aku membuka kembali lembar catatan kuliah Amara. Di sana, terselip sebuah kartu nama. Kartu nama itu tidak mencantumkan nama, hanya logo sindikat judi online, dengan tulisan tangan kasar di belakangnya.
'20 Juta Malam Ini.'
Tepat di bawahnya, ada tulisan lain, yang ditambahkan dengan pulpen berbeda, kecil dan rapi. Tulisan itu berbunyi:
‘Jika kau bisa mengumpulkan 150 juta dalam sebulan, utangmu lunas. Ini adalah hadiah terakhir dari teman baikmu. Cepat atau lambat, kau akan kembali ke tempatmu seharusnya: di bawah.’
Kinara membeku. Utang yang sebenarnya bukan 20 juta, melainkan 150 juta! Dan tulisan tangan yang rapi itu—tulisan tangan siapa? Itu bukan tulisan tangan penagih utang. Itu terlalu halus. Itu terasa familier, tetapi aku tidak bisa mengingatnya.
“Sistem, analisis tulisan tangan ini,” perintahku panik.
Sistem merespons, nada mekanisnya terasa tegang. “Analisis tulisan tangan memerlukan Skill ‘Deteksi Pola Sosial’ yang belum terbuka, Kinara. Namun, berdasarkan memori Amara, tulisan tangan ini memiliki probabilitas tinggi (88%) dimiliki oleh... Serena. Saudara angkat Amara.”
Serena. Saudara angkat Amara, yang seharusnya menjadi pendukungnya, kini malah menaikkan taruhan utang hingga 150 juta. Misi finansialku baru saja berubah dari kesulitan menjadi mustahil. Dan kini, aku menyadari bahwa kehancuran Amara di masa lalu mungkin tidak hanya disebabkan oleh kesalahannya sendiri, tetapi juga oleh pengkhianatan yang dingin dari orang terdekatnya.