NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:939
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Dunia di Roma

Kring... Kring... Suara alarm menusuk telinga seperti jeritan tajam, sehingga membuat Kim Taeri meringis sambil menguap lebar. "Huawww... Kenapa pagi datang begitu cepat?" gumamnya lesu. Tangannya meraba-raba tombol mati di ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidur. Tubuhnya terasa berat saat bangkit. Rambut panjangnya kusut menjuntai seperti benang hitam yang tak terkendali. Mini dress tipisnya mengerut di pinggang dan paha, lalu menempel lengket pada kulit yang masih hangat dari tidur.

Dia melangkah pelan ke kamar mandi. Kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu dingin yang bergema samar di apartemen kecilnya di Roma. Taeri adalah mahasiswi seni rupa berusia dua puluh satu tahun. Dia anak tunggal dari keluarga Kim yang kaya. Satu tahun di Roma telah memenuhi hari-harinya dengan warna-warni kanvas dan tawa teman-teman. Meski begitu, bayang-bayang kota abadi ini kadang terasa terlalu megah untuk gadis seperti dia.

"Pagi yang menyenangkan untuk sang ratu," gumamnya ceria. Bibirnya melengkung tipis saat membuka keran air panas. Uap segera mengepul dan membungkus tubuhnya seperti pelukan lembut. "Kira-kira Yuna sudah bangun belum ya?" pikirnya penasaran. Dia ingat teman kampusnya yang selalu kesiangan jika tak dijemput. Taeri melangkah masuk ke bak mandi. Air hangat menyambut kulitnya dengan riak kecil. Ia mengambil sabun beraroma bunga sakura. Busa lembutnya meluncur di lekuk lehernya, kemudian turun perlahan menyusuri bahu, dada, hingga pinggang ramping. Setiap usapan membawa sensasi relaksasi yang membuat bahunya merosot dan matanya terpejam sejenak dalam kedamaian pagi.

Jauh dari ketenangan itu, di markas besar yang tersembunyi di pinggiran Roma yang gelap, seorang pemuda tampan turun dari tangga besi. Setelah formalnya acak-acakan, kancing atas kemejanya terlepas, dan dasinya longgar seperti bekas pertempuran malam panjang. Udara di koridor terasa tebal karena bau logam dan asap rokok menyelimuti. Bawahannya, Leonardo, melangkah ragu di belakangnya. "Tuan, tidak akan pulang ke mansion?" tanyanya hati-hati. Suaranya gemetar samar.

Azey Denizer berhenti sejenak. Tatapannya dingin menusuk seperti pisau es. Mata biru tuanya menyipit presisi. "Apa pertanyaanmu itu penting, Leo?" balasnya datar. Nadanya rendah tapi penuh ancaman sehingga membuat udara terasa lebih berat. Leonardo tersentak. Wajahnya memucat dan tangannya mengepal di sisi tubuh. "Ma... maafkan saya, Tuan. Saya... saya lancang," katanya cepat. Suaranya pecah dan dia mundur selangkah saat Azey mengangkat dagu tipis. Itu sebuah gerakan terkalkulasi yang tak perlu kata lebih untuk menyampaikan dominasi mutlak.

Azey tak memperdulikannya lagi. Ia berlalu pergi. Langkahnya tegas dan tak tergoyahkan, lalu melewati pintu besi berat menuju malam yang masih gelap di luar. Markas itu menyeramkan. Tempat itu dikelilingi puluhan penjaga bersenjata yang berdiri kaku seperti patung bayangan. Senjata mereka berkilau samar di bawah lampu redup. Azey Denizer berusia dua puluh lima tahun. Rambut cokelatnya disisir rapi meski malam ini berantakan. Dia adalah pemimpin Mafia Blood Eagle, yaitu kelompok kriminal yang menebar kekejaman presisi di seluruh Italia, bahkan merayap ke Eropa seperti racun tak terlihat. Setiap hembusan napasnya membawa aroma kekuasaan, yaitu dingin dan tak tergoyahkan.

Jam delapan pagi menyapa Roma dengan cahaya keemasan yang menembus celah bangunan kuno. Udara membawa aroma espresso dan bunyi klakson samar dari jalanan yang mulai bergeliat.

Setelah mandi yang meninggalkan sisa hangat di kulit dan sarapan yogurt yang menenangkan perut, Taeri melangkah cepat keluar apartemen. Rok pendeknya bergoyang lembut mengikuti langkah. Rambutnya masih sedikit basah dan memantulkan cahaya. Mobil sport putihnya berkilau seperti permata di bawah sinar matahari. Ia masuk dan duduk di kursi kulit yang dingin, lalu menyalakan mesin. Suara halusnya menyatu dengan detak jantung pagi.

"Awas saja kalau sampai terlambat lagi," gumamnya pelan. Bibirnya mengerucut kesal. Jemarinya menekan pedal gas, lalu membiarkan mobil meluncur di jalanan Roma yang padat. Pohon pinus bergoyang di sisi. Colosseum tampak samar di kejauhan, tapi matanya hanya tertuju pada jarum jam yang terus berputar tanpa ampun.

Mobil berhenti halus di depan villa kecil berpagar besi tempa. Seorang gadis berdiri di gerbang. Rambutnya diikat asal dan senyum lebarnya menembus dingin pagi.

"Tumben sudah siap? Biasanya juga masih di alam mimpi," ledek Taeri sambil menurunkan kaca jendela. Nada suaranya ringan, tapi mata hijaunya menyipit genit.

"Hehe, soalnya Mama dan Papa sudah kembali dari Korea!" sahut Yuna ceria. Ia membuka pintu lalu masuk dengan langkah kecil. Tas kampus menggantung di bahu. Kursi berderit saat tubuhnya menyesuiakan posisi.

Di perjalanan, mobil melaju stabil di tengah lalu lintas padat. Yuna meraih ponselnya. Layarnya menyala di antara cahaya yang menembus kaca depan. "Kamu tahu? Semalam tu ada pembantaian sebuah keluarga," katanya dengan suara bergidik. Bahunya merapat seolah merasakan dingin. Ia menyodorkan layar ke arah Taeri. Judul Blood Eagle terpampang besar, dengan huruf merah seperti goresan darah.

Taeri melirik sekilas. Tangan kirinya mengepal ringan di setir. "Perampokan, ya?" tanyanya singkat. Nadanya datar tapi napasnya tersendat halus.

"Bukan, Tae. Ini ulah kelompok mafia yang menguasai wilayah ini," Yuna menjelaskan. Jari-jarinya menegang di sekitar ponsel. "Tadi Ayahku juga bilang begitu."

Taeri mengangkat bahu. Otot lehernya menegang sesaat sebelum kembali rileks. "Sudah, itu bukan urusan kita. Ngapain sok cari tahu masalah begituan?" suaranya tegas, tapi ada getar halus di ujung kalimat. Seolah dia berusaha menepis bayangan gelap yang mencoba menyusup ke pagi cerahnya.

"Bukan gitu, tapi aku takut aja. Bagaimana kalau yang di posisi keluarga itu adalah kita? Bagaimana kalau—"

Ucapan Yuna terputus ketika Taeri meraih ponselnya cepat tapi lembut, lalu meletakkannya di jok belakang. Jemarinya sempat menyentuh punggung tangan Yuna, yaitu hangat dan menenangkan.

"Sudah, Yuna. Jangan menakut-nakuti aku. Dasar gadis konyol," ujar Taeri kesal. Alisnya berkerut. Namun sudut bibirnya melengkung tipis, sambil berusaha melunakkan nada suaranya.

Yuna mengerucutkan bibir. Pipinya menggembung seperti anak kecil yang kehilangan mainan, lalu menatap jendela di mana gedung-gedung Roma berlalu seperti bayangan.

Begitu tiba di kampus, Taeri memarkir mobil dengan presisi. Suara roda berderit lembut di atas aspal. Mereka berjalan berdampingan melewati koridor batu yang memantulkan langkah mahasiswa lain.

Seorang dosen paruh baya lewat. Jasnya rapi dan senyum tipis mengembang di wajah. "Selamat pagi, Pak," sapa Yuna malu-malu. Pipinya merona.

"Selamat pagi, Yuna, Taeri," balas Pak Marcelo ramah. Suaranya hangat namun matanya sempat menatap Yuna sepersekian detik lebih lama dari seharusnya, lalu menyisakan sesuatu yang samar.

Yuna menunduk. Senyum tipis di bibirnya. “Pak Marcelo itu tampan, ya?” bisiknya pelan. Suaranya mengandung nada geli.

"Itu bukan urusanku, Yuna. Kenapa pertanyaanmu sangat tidak penting? Seharusnya kamu bisa bertanya tentang pelajaran atau apa gitu," jawab Taeri kesal. Tangannya memijat pelipis. Jari-jarinya menekan lembut sisi kepala yang mulai berdenyut.

"Iya, iya, gak usah cerewet. Kek Mama aku aja. Orang cuma minta pendapat," sahut Yuna cemberut. Bibirnya maju dan langkahnya mengejar Taeri yang sudah berjalan lebih dulu.

Taeri menarik napas panjang sebelum mendorong pintu kelas yang berderit pelan. Yuna menyusul di belakang. Cemberutnya masih menempel seperti bayangan kecil yang enggan hilang dari pagi yang terlalu hidup.

Disisi lain Azey Denizer melangkah masuk ke markas besar. Dia rapi dan tak tergoyahkan. Kemeja hitam tergulung di lengan dan dasi tipis mengikat leher seperti tali kekuasaan. Rambutnya disisir ke belakang presisi militer. Udara koridor mengental saat ia berjalan. Langkah sepatu kulitnya bergema pelan tapi tegas, sehingga membuat para penjaga menegak.

Leonardo segera menyambut. Bahunya tegang. Mata biru Azey hanya menatap sekilas sebelum memberi anggukan singkat. Itu adalah perintah diam untuk menuju ruang rapat.

Pintu kayu berat berderit. Angin dingin dari jendela tinggi menyusup, lalu menurunkan suhu ruangan. Meja konferensi panjang dari kayu gelap dikelilingi bawahan yang menunduk. Saat Azey duduk di kepala meja, punggungnya lurus dan tatapan birunya tajam seperti pisau bedah. "Mulai," ujarnya datar. Suaranya rendah tapi bergema seperti perintah eksekusi.

"Masalah pertama hari ini adalah pengiriman senjata ke Mexico. Silakan, Sophia," kata Leonardo. Suaranya stabil namun tangannya kaku menunjuk ke arah gadis berambut pendek di ujung meja.

Sophia menelan ludah. Wajahnya memucat. Laptopnya terbuka. Layar biru dingin menerangi wajahnya. "Maaf sebelumnya, Tuan. Mungkin ini kabar yang tidak mengenakkan," suaranya pecah tipis. "Karena pengiriman senjata ke Guadalajara gagal. Kapal kita karam karena badai."

Azey mengetuk meja pelan. Iramanya lambat seperti hitung mundur. Rahangnya menegang samar, tapi ekspresinya tetap dingin. "Jadi hari ini kamu cuma ingin melaporkan kerugian, Sophia?" Nadanya datar dan tajam. Udara di ruangan menebal.

"Ma... maaf, Tuan. Tapi ini faktor alam, di luar kendali kami," jawab Sophia. Suaranya tercekat. Tangannya mengepal di pangkuan, sambil menahan getar.

Tatapan Azey beralih ke Giorgino, yaitu mantan tentara bayaran. Pria berotot itu membeku. "Apa kamu tidak memeriksa ramalan cuaca, Giorgio? Kenapa sekarang ototmu jadi mengeras sampai ke otak?" suaranya datar dan sarat ejekan.

Tawa tipis Elena terdengar. Itu genit dan menembus ketegangan. Tapi terputus seketika saat Azey meletakkan pistol hitam mengkilap di meja. Denting logam pelan bergema seperti vonis. Giorgino menelan ludah kasar. Keringat menetes di pelipis. "Ampuni kecerobohan saya, Tuan. Saya berjanji akan lebih hati-hati kedepannya," katanya serak. Matanya menunduk.

"Bukan janji, Giorgio. Tapi sumpah," potong Azey tajam. Ia menghela napas berat. "Sophia, ambil alih kapal yang tersisa. Lewati Greenland. Pastikan senjata sampai, meski dua kali lipat biaya." Tatapannya kembali ke Giorgino. "Jika ini gagal, kalian berdua yang menghadapi badai peluru."

Sophia mengangguk cepat. Jari-jarinya menari gugup di keyboard. Wajahnya pucat dan bibirnya tergigit. Sekilas, matanya melirik Giorgino dengan kesal yang nyaris menyala.

Ricardo, yaitu mantan sniper, angkat bicara dengan suara tenang. Tubuhnya rileks, tapi mata hitamnya waspada. "Operasi keluarga Belletti selesai semalam, Tuan. Tidak ada satu pun yang tersisa, kecuali putra sulungnya di Milan." Ia menelan napas. "Ta... tapi di kamar itu... berangkasnya kosong."

Wajah Azey tetap tenang. Tenang yang beracun, seperti danau beku menyembunyikan arus mematikan. Ia berdiri perlahan. Kursinya bergeser pelan. Dia menatap keluar jendela tinggi yang memantulkan bayangan Roma yang gelap. "Antonio..." suaranya rendah dan tajam. "Kamu orang terakhir yang harus bertanggung jawab. Aku tidak membayarmu untuk sebuah kegagalan. Di mana seorang ahli forensik yang diagung-agungkan di Italia, Antonio?"

Keringat dingin mengalir di wajah Antonio. Tangannya mengepal sampai buku jarinya memutih. "Saya dan tim memang yang terakhir di sana, Tuan. Tapi sebelum operasi pembantaian dimulai, Tuan Belletti telah menyerahkan dokumen itu pada putranya."

Azey berbalik mulus, lalu melempar pistol ke arah Antonio. Senjata itu meluncur presisi dan mendarat di depannya dengan denting keras. Semua menegang. "Itu senjata yang selama ini membunuh musuh-musuh kita. Tapi itu juga bisa jadi kematian salah satu dari kita, Antonio," ucapnya pelan, dengan tenang, dan penuh ancaman. Ia duduk kembali. "Jangan buat aku kecewa lagi. Atau kita berdua tidak bisa bertemu lagi kedepannya."

"Ma... maafkan saya, Tuan..." suara Antonio pecah. Kepalanya menunduk dan bahunya gemetar.

"Diam," potong Azey dingin. Tatapannya bergeser ke Leonardo, dengan perintah tak terucap. "Cari tahu di mana putra Belletti bersembunyi. Chole, bantu dia. Temukan dokumen itu secepatnya. Gunakan segala cara. Itu satu-satunya cara menuju berlian yang kita cari."

Leonardo dan Chole mengangguk serempak. Gerakannya tegas dan bahunya tegang. Ruangan jatuh hening. Hanya detak jam yang bergema. Itu pelan, berat, seperti napas terakhir.

Massimo bersuara. Suaranya dalam dan tenang, lalu mengalihkan ketegangan. "Dana masuk bulan ini semua telah dinetralkan, Tuan. Tim penanganan korupsi telah menyatakan setiap dana yang mengalir dari keluarga Denizer adalah dana bersih dari perusahaan hotel dan restoran kami."

"Bagus," puji Azey. Suara rendahnya terdengar seperti dengungan mesin yang efisien. "Tetap awasi pihak jaksa ataupun dari kepolisian. Untuk tidak banyak ikut campur, beri mereka sedikit imbalan, atau hilangkan mereka semua." Matanya melirik pada Elena. Rambut merahnya berkilau di bawah lampu remang. "Buatkan satu program digital yang bisa mengontrol seluruh dana yang masuk ke kepolisian dan mahkamah. Itu akan menjadi kartu as untuk menghancurkan balik tikus-tikus busuk itu."

Elena mengangkat jempol. Senyum tipis di bibir gelapnya. Matanya tak lepas dari layar laptop yang memantulkan cahaya biru ke wajahnya. "Siap, Tuan. Semua akan berjalan aman."

Pembicaraan bergeser ke bisnis gelap. Itu lancar dan dingin. "Pengiriman obat-obatan ke Asia Tenggara berjalan lancar, Tuan," lapor Francesco. Nadanya mantap. "Kapal kargo sudah memasuki pelabuhan Kamboja. Tim di sana akan mendistribusikan ke Indonesia, Malaysia, dan Thailand melalui jalur darat dan udara."

"Awasi ketat," perintah Azey. Jarinya mengetuk meja dengan irama lambat. "Asia Tenggara bisa jadi pasar keuntungan untuk kita. Mereka harus tahu bagaimana barang berkualitas dari Eropa," ucapnya. Senyum licik merekah di bibirnya, yaitu sebuah kilatan pisau di kegelapan. "Dan setiap keuntungannya langsung pulangkan ke Monaco."

Massimo menyeringai. Giginya putih tajam di bawah pencahayaan remang. "Kasino Le Rêve sudah siap menjadi mesin cuci utama kita. Pemiliknya sangat kooperatif setelah kami menyelamatkan putri kecilnya dari penculikan yang kami atur sendiri." Kata-katanya datar dan tanpa emosi, yaitu sebuah pernyataan fakta yang dingin.

"Bagus. Sentuhan klasik," puji Azey, tanpa nada. Ia meneguk anggur merah perlahan. Matanya melayang melewati dinding ruang rapat, lalu melampaui ruang itu, dan menelusuri strategi berikut yang berliku. Di kepalanya, Blood Eagle berdiri sebagai simbol kekuasaan mutlak: gelap, tak terbatas, dan membentang di bawah bayang-bayang Roma.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!