(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deep talk ++
Alfred tanpa ragu memasukkan mulutnya ke ujung dada sebelah kanan Michelle. Ia mulai menyusu perlahan, lidahnya bergerak naik turun menikmati rasa hangat susu yang mengalir.
Michelle terdiam, merasakan sensasi lembut dan hangat yang belum pernah ia alami sebelumnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, menahan rasa malu. Matanya berusaha menghindar, menatap ke arah lain agar tak beradu pandang dengan suaminya yang masih setia menyusu.
Bibirnya tergigit pelan, menahan rasa malu yang menggelayuti. Tangan kiri Alfred mengusapnya lembut, seolah mengingatkan, “Jangan digigit.”
"Uh... jangan digigit," rengek Michelle pelan saat gigitan kecil Alfred menusuk ujung dadanya. Napasnya memburu, namun wajahnya berusaha tetap tenang meski pipinya merona merah.
Alfred melepaskan sejenak ujung itu, menatap Michelle dengan tatapan lembut dan penuh gairah. Bekas susu masih tersisa di sudut bibirnya, membuat tangan Michelle otomatis menyentuh, membelai dengan lembut seperti ingin menghapus jejak kenikmatan yang baru berlalu.
“Susumu... begitu lezat,” bisik Alfred, suaranya serak tapi penuh hasrat, lalu bibirnya bergeser ke dada sebelah kiri, menekan dengan gemas seolah tak rela melepasnya begitu saja.
Tangan kanannya mulai memilin ujung dada yang lain, mengundang suara desahan tipis dari mulut Michelle. Mendadak, Michelle menutup mulutnya dengan kedua tangan, malu dan terkejut, tapi Alfred hanya tersenyum tipis, senyum sinis yang menyimpan makna dalam.
“Ternyata kau juga menikmatinya,” goda Alfred sambil tangannya mengelus punggung Michelle yang terbuka, sentuhan itu begitu hangat dan menggoda.
Michelle gelagapan, cepat menggeleng. “Bukan begitu...” suaranya tercekat.
Alfred mencondongkan badan, menatap penuh selidik. “Masih sakit?”
Michelle segera menggeleng, mencoba mengangkat bokongnya seolah siap pergi, tapi tangan Alfred mencengkeram pinggangnya, menahan dengan lembut.
“Aku belum selesai,” bisik Alfred, napasnya berat, matanya menyala penuh nafsu.
Michelle terpaku, suaranya tersendat. “Apa yang belum selesai? Dadaku sudah tidak sakit lagi...” jawabnya terbata-bata, tapi matanya tak bisa lepas dari sorot Alfred.
Senyum miring terukir di bibir Alfred. "Aku sudah membantumu. Sekarang giliranmu untuk membalas, bukan?"
Michelle menggigit bibirnya, gugup merayapi setiap hela napas. "Aku harus bagaimana... membalasnya?"
Ibu jari Alfred perlahan menyusuri bibirnya, sentuhan hangat yang membuat tubuh Michelle mendadak tegang. "Mungkin dengan ini," bisiknya.
"O-om... aku tak bisa... Aku... belum pernah," Michelle menunduk, berusaha menghindar dari tatapan suaminya yang menusuk.
Alfred menarik napas dalam, suaranya berubah lembut, "Aku akan mengajarimu, dengan benar." Senyumnya mengembang.
"Bolehkah aku melakukannya?" tanyanya lagi.
Alarm di otak gadis itu berdentang keras, hati dan pikirannya berontak tanpa jeda.
Ini tanda bahaya!
Detak jantungnya menggila, pertama kalinya ia menghadapi ciuman. Ia menunduk, kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Alfred menyingkirkan tangan Michelle perlahan. "Atau, maukah kau menjawab pertanyaanku dulu?"
Michelle mengangguk ringan.
"Di luar sana, di sekolah... apa ada orang yang kau sukai?" lanjutnya lagi.
“Kenapa tiba-tiba Om menanyakan hal itu?” suara Michelle bergetar, menatap Alfred dengan penuh kebingungan.
Alfred menarik napas dalam, matanya menatap tajam tanpa ampun. “Aku akan melepaskanmu. Biarkan kau pergi bersama lelaki yang kau sukai. Apalagi usiamu masih muda, masih terlalu dini untuk terperangkap dalam hubungan yang rumit ini.”
Michelle terdiam, perlahan menggeleng pelan. “Aku tak punya waktu untuk memikirkan cinta, apalagi mereka takkan mau dekat denganku. Dengan asal-usulku yang penuh tidak jelas…”
Alfred mendesah, menatap tajam ke wajah istrinya. “Benar, kau dihina. Mereka menganggapmu anak haram, bukan?”
Michelle hanya mengangguk kaku. Semua kenyataan itu tak mungkin suaminya tak tahu.
Lalu, dengan suara yang lebih dalam dan penuh tanya, Alfred bertanya, “Kalau begitu, kau tak keberatan menjadi pasanganku? Aku pria dewasa dengan jarak usia tiga belas tahun lebih. Apakah kau tidak malu memiliki suami sepertiku?”
Dia menangkup wajah Michelle, memaksa tatapan mereka bersentuhan.
"Aku tidak pernah mempermasalahkan usia. Mungkin memang om yang sulit menerima punya istri sepertiku yang masih muda. Tapi aku bisa menjadi wanita dewasa, asalkan om tak melepaskanku," suara Michelle terdengar lirih tapi penuh keyakinan.
Hati Michelle sudah terjerat erat oleh suami dan keluarganya yang hangat, dan ia, gadis yang haus akan perhatian, tak ingin melepaskan semua itu.
Alfred menghela napas panjang. "Bukan aku tak ingin, tapi aku baru saja dikhianati oleh perempuan itu. Aku tak mau kamu jadi pelarian,"
"Apa kau bisa menungguku? Menunggu sampai hatiku benar-benar kosong?" Tanya Alfred, nadanya rendah namun penuh harap.
Michelle menatapnya dengan senyum tipis, suaranya lembut menyahut, "Jika om gagal?"
Alfred menggeleng mantap. "Tak mungkin gagal. Aku hanya butuh waktu."
Di sela kebisuan itu, Alfred mendorong kepala istrinya perlahan mendekat, lalu menempelkan bibirnya lembut di atas bibir ranum Michelle.
Michelle terkejut, matanya membelalak seperti merasakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menutup mata rapat-rapat, berusaha meredam ketegangan yang mengalir di seluruh tubuhnya.
Ia mencoba menikmati, namun tubuhnya tetap kaku, kaku karena ini adalah ciuman pertamanya. Tangan Alfred perlahan menyusup ke punggung mulus istrinya, mengusap lembut seolah ingin menghapus segala kecemasan yang membara dalam dada Michelle.
Bibir mereka terlepas, dan tatapan Alfred menghabiskan setiap inci wajah polos nan lugu yang kini ada di pelukannya. “Kau sudah merasakannya?” tanya Alfred dengan suara yang menggoda, “Bagaimana rasanya, ciuman pertama ini?”
Michelle merona, ingin saja ia menenggelamkan wajahnya, menghindar dari tatapan tajam suaminya yang penuh kehangatan. Tapi ia tak mampu mengelak. “Manis,” jawabnya lirih.
Tawa Alfred meledak, ringan dan penuh kebahagiaan. Ia menyisir lembut rambut yang menutupi wajah merona istrinya, seolah terpesona oleh keindahan yang baru saja ia temukan.
“Buka mulutmu!” bisik Alfred sambil sedikit membuka bibirnya. “Kalau kau ingin merasakan yang lebih, kau harus berani...”
Hati Michelle berdebar, gugup. Imenatap Alfred dengan ragu, bibirnya terangkat perlahan seolah tak yakin membuka sedikit saja.
Alfred merasakan semangatnya semakin membara. Tanpa menunggu lebih lama, ia menempelkan bibirnya ke bibir ranum istrinya kembali. Kali ini bukan sekadar sentuhan ringan; lidahnya menyusup ke dalam mulut Michelle, bertarung perlahan dengan lidah istrinya yang kaku dan tegang.
"Sial, kenapa bisa senyaman ini?" batin Alfred sambil terus menyalurkan ciuman penuh gairah itu.
Suara decapan memenuhi kamar itu, makin kuat saat ciuman turun perlahan dari dagu Michelle ke leher putih mulusnya. Michelle menengadah, seperti memberi sinyal agar Alfred melanjutkan lebih jauh.
Namun tiba-tiba, saat bibir itu merambat ke bahu Michelle, tubuh ia tersentak, seketika tersadar apa yang ia lakukan. Nafsu telah merasuki tubuhnya, ia merasa salah kepada sang istri kecil.
Wajahnya cepat-cepat menjauh, membuang udara berat dengan terengah-engah, lalu bersandar lemas di sofa. "Ah, sial! Kau masih belum cukup umur," keluh Alfred dengan frustrasi.
Michelle yang sama terengah, matanya menatap sendu ke arah suaminya, bertanya dalam diam, kenapa harus berhenti?
"Pakai bajumu lagi, bocil!" Alfred memerintah dengan nada santai yang membuat hati Michelle bergemuruh.
Perlahan, ia bangkit dari pangkuan suaminya, namun ketukan pintu yang tiba-tiba membuat seluruh tubuhnya membeku. Jantungnya berdebar, dan tanpa sadar ia duduk kembali.
"Masuk!" Alfred tersenyum geli, matanya menari menikmati kepanikan istrinya.
"Kenapa... disuruh masuk?" suara Michelle bergetar, wajahnya memerah seketika.
Tanpa kata, Alfred mendorong punggung istrinya, menekan tubuh kecil itu agar menempel erat di dadanya. Michelle langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, sembunyi di balik pelukan yang hangat itu, merasa detak jantungnya yang tak terkontrol.
Celline melangkah masuk dengan senyum tipis di bibirnya. Matanya singgah sejenak keintiman di depannya. "Untuk jaga-jaga," katanya tenang sebelum meninggalkan kamar dengan langkah ringan.
Alfred hanya mengangguk, tanpa melepaskan sentuhan lembutnya di punggung istrinya. "Lain kali, jangan ceroboh. Ingatlah sesuatu yang sangat penting seperti ini," bisiknya hangat, membuat Michelle terdiam dan mengangguk patuh.