Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 33 ] Api Kecil dalam Hati Olivia
Setelah berpamitan dengan aparat desa, Maalik dan Irwan menghampiri Olivia dan Lala. Indri serta Teguh mengikuti dari belakang.
Maalik tersenyum lembut melihat istrinya yang duduk di bawah pohon bersama Lala. Pipi Olivia tampak memerah terkena panas matahari.
Sesampainya di sana, Maalik segera mengenalkan keduanya.
“Olivia, ini Teguh…” ujarnya sambil mengelus kepala anak kecil itu. “Dan ini Indri, ibunya Teguh.”
Olivia hanya melirik sekilas pada bocah kecil itu, lalu pandangannya beralih tajam ke arah Indri yang berdiri di samping Maalik. Ketika Indri mengulurkan tangan, Olivia bahkan tidak menanggapinya.
“Gue mau pulang,” ucap Olivia singkat.
Maalik terdiam. Ia tahu benar istrinya keras kepala, manja, sering jutek dan ketus. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—seperti ada bara yang ia sembunyikan di balik tatapan itu.
“Iya, kita pulang ya…” sahut Maalik akhirnya dengan suara tenang.
Namun Teguh tiba-tiba menatap Maalik dengan mata berbinar.
“Bapakk… Teguh boleh ikut?” tanyanya polos.
“Nggak!” Olivia langsung menjawab cepat, suaranya tajam. “Ngapain ikut-ikut? Lo ikut aja sama nyokap lo. Jangan nempel sama orang lain!”
Indri refleks meraih anaknya yang tampak ketakutan. “Maaf ya, Mbak… sebelum Mbak datang, Teguh memang sudah dekat dengan Mas Maalik. Dia sudah seperti anak sendiri buat Mas Maalik,” ucapnya hati-hati.
Olivia menyipitkan mata, nadanya sinis. “Oh, gitu? Jadi anak lo numpang hidup dari kedekatannya sama suami orang? Bapaknya kemana? Kabur? Mati? Terus lo sekarang sibuk nyari perhatian biar dikasihani? Denger ya, lo sama anak lo nggak punya hak deket-deket Maalik!”
Indri terdiam, wajahnya pucat. Teguh semakin erat memeluk ibunya.
Maalik cepat-cepat menggenggam tangan istrinya, mencoba meredam api yang mulai membakar.
“Kita pulang ya, Olivia…” bisiknya lembut, lalu menoleh ke Irwan, Lala, dan Rahmi. “Semuanya, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam…” jawab Lala dan Irwan hampir bersamaan. Tanpa menoleh lagi ke Indri, keduanya ikut beranjak pulang.
Perjalanan naik motor berlangsung hening. Olivia sama sekali tak mau repot berbasa-basi. Sesampainya di rumah, Maalik turun lebih dulu dan membantunya, tapi Olivia langsung melenggang masuk tanpa sepatah kata.
Maalik mengikutinya sampai ruang tamu.
“Olivia…” panggilnya pelan.
“Apa?!” balas Olivia ketus.
“Tadi kalimat kamu terlalu kasar, Olivia. Teguh masih kecil—”
“Ya terus kenapa kalau dia masih kecil? Lo mau biarin dia hidup bergantung sama lo?!” seru Olivia, suaranya meninggi.
“Bukan begitu, Olivia. Saya hanya—”
“Apa? Teguh kenapa? Nggak punya bapak? Terus hubungannya sama lo apa?” Olivia melangkah mendekat, tatapannya tajam menusuk.
“Saya cuma ingin berbuat baik sama mereka, Olivia.”
“Berbuat baik?” Olivia tertawa hambar. “Bullshit. Kalau niat lo cuma mau berbuat baik, sekalian aja nikahin emaknya. Lebih jelas dan lebih terhormat begitu.”
“Olivia…”
“APA?!” bentak Olivia. “Lo dari tadi ngebelain mereka. Kenapa nggak nikahin aja si janda itu? Anak sama lo udah klop, emaknya juga jelas-jelas suka sama lo. Cocok banget kan? Ngapain lo malah nikah sama gue!”
“Olivia berbalik masuk ke kamar dengan langkah keras. Dentuman pintu yang dibanting membuat Maalik terpejam sejenak. Ia tahu benar, istrinya bukan tipe yang bisa disentuh dengan bentakan atau kekerasan—sebab Olivia pasti akan membalas dengan luka yang lebih dalam.”
Maalik mengusap wajahnya. Ia memang dekat dengan Teguh, bukan karena Indri, tapi karena anak itu adalah buah hati dari Aryo—sahabat lama Maalik. Namun sejak Aryo dan Indri bercerai, dan Aryo menghilang entah ke mana, Indri harus membesarkan Teguh seorang diri. Maalik hanya ingin berbuat baik, tapi ternyata niatnya disalahartikan di mata istrinya.
Ia berdiri di depan pintu kamar, mengetuk pelan. Namun tak ada jawaban. Gagang pintu dicoba diputar, terkunci rapat.
Maalik menghela napas panjang. Ia hanya bisa berdoa semoga esok hatinya dan hati istrinya bisa lebih tenang.
Hingga pukul sembilan malam, Olivia tak juga keluar dari kamarnya. Pintu itu tetap tertutup rapat, seolah menjadi tembok yang memisahkan dirinya dari dunia luar. Maalik gelisah, sangat gelisah. Sejak pulang dari balai desa pukul sebelas siang tadi, istrinya benar-benar mengurung diri tanpa suara, tanpa kabar.
Ia bahkan rela melewatkan rapat bersama karang taruna dan meminta Irwan untuk menggantikannya. Berkali-kali ia mengetuk pintu, memanggil dengan sabar, tapi tak sekalipun Olivia membuka.
Baru ketika ia teringat akan kunci cadangan kamar, hati Maalik sedikit lega. Ia mengingat-ingat di mana ia meletakkannya, lalu menyusuri gudang dengan sabar. Hampir satu jam ia mencari, hingga akhirnya kunci itu ditemukan, berdebu tapi masih utuh.
Tanpa menunggu lama, Maalik membuka pintu. Gelap menyergap ruangan, jendela terbuka, udara malam yang lembap masuk begitu saja, sementara AC mati sejak siang. Pandangannya jatuh pada sosok istrinya yang meringkuk di balik selimut, tak bergerak.
Dengan sigap, ia menutup jendela, menyalakan AC, lalu menyalakan lampu. Perlahan ia mendekat, duduk di sisi ranjang.
“Olivia… hei, Olivia. Bangun,” ucapnya lembut, nyaris berbisik.
Namun tubuh di hadapannya tetap diam. Maalik mengusap dahi istrinya dengan hati-hati, seakan menyentuh sesuatu yang rapuh.
“Olivia, bangun…” panggilnya sekali lagi.
Pelan-pelan, kelopak mata itu terbuka. Tatapan mata Olivia bertemu dengan mata Maalik yang penuh kelembutan. Namun, alih-alih luluh, Olivia justru menatapnya tajam.
“Ngapain lo di sini? Keluar!” serunya ketus.
Maalik buru-buru menggenggam tangan istrinya, hangat dan tegas.
“Saya minta maaf. Saya salah. Saya janji akan menjaga jarak dengan Teguh, kalau memang kamu tidak mengizinkan saya terlalu dekat dengannya. Kamu adalah prioritas saya, Olivia.”
Olivia tak menjawab. Ia hanya membalikkan badan, membelakangi Maalik.
“Gue nggak peduli. Mau lo dekat atau nggak, itu bukan urusan gue.”
Maalik menarik napas panjang.
“Olivia… saya tahu kamu marah. Tapi izinkan saya menjelaskan, supaya kamu tidak tidur dengan salah paham di hati.”
Olivia tetap diam.
“Olivia Yvaine Hadikusuma…” panggil Maalik lembut.
Olivia menegang. Ia tahu, ketika suaminya menyebut nama lengkapnya, itu tanda ia tak bisa menolak. Perlahan ia kembali berbalik, menatap Maalik dengan malas.
Senyum tipis muncul di wajah Maalik.
“Teguh itu anak sahabat saya, namanya Aryo. Dulu Aryo menikah dengan Indri, tapi mereka bercerai. Sejak itu Indri membesarkan Teguh sendirian. Sebelum pergi, Aryo sempat meminta saya untuk sesekali memperhatikan anaknya. Saya hanya ingin menunaikan janji itu, tidak lebih, Olivia.”
Olivia mendengkus pelan.
“Tapi nyokapnya si Teguh suka sama lo…”
Maalik menggeleng, sorot matanya tegas.
“Itu bukan urusan saya, dan saya tidak peduli. Saya tidak pernah, dan tidak akan pernah, membalas perasaan itu. Yang saya lakukan hanya menjaga titipan sahabat saya. Hati saya sepenuhnya untuk kamu, Olivia.”
“Tapi gue nggak suka lo deket-deket sama anak kecil itu!” Olivia meninggikan suara.
Maalik tersenyum kecil, seolah memahami gejolak hati istrinya.
“Iya, saya paham. Saya akan menjaga jarak dengan Teguh. Kalau itu bisa membuat kamu tenang, saya akan melakukannya.”
“Yaudah…” Olivia akhirnya menjawab singkat.
“Yaudah apa?” tanya Maalik, menatap istrinya lekat-lekat.
Olivia langsung salah tingkah, pipinya memerah.
“Ya… yaudah, sana tidur!” ujarnya cepat sambil mengalihkan pandangan.
Maalik menahan senyum. “Kamu cemburu?” tanyanya pelan. Dalam hati, ia merasa bersyukur Olivia sempat melihat Indri dan Teguh mendekatinya siang tadi. Karena dari situlah, ia bisa tahu isi hati istrinya yang sebenarnya.
Olivia buru-buru membuang wajah.
“Nggak! Ngapain gue cemburu.”
“Yakin?” Maalik kembali menggoda, senyumnya makin tipis.
“Ihh, iya! Sana pergi! Gue mau tidur,” gerutu Olivia, menarik selimut menutupi wajahnya.
Maalik tertawa kecil, tapi segera menatapnya dengan lembut.
“Makan dulu, ya? Dari siang kamu belum makan sama sekali.”
“Nggak mau. Gue kenyang.”
Maalik menghela napas panjang. Dalam hati, ia tahu ia harus menemukan cara agar Olivia tidak terus-menerus melewatkan makan. Mungkin ia perlu membeli vitamin penambah nafsu makan. Bukan soal tubuh Olivia yang ia pikirkan, tapi kesehatan istrinya yang selalu ia khawatirkan.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang