Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Mengganti Obat dengan Vitamin
Mark membuka perlahan matanya, rasa tidak nyaman di tubuhnya sebenarnya sudah hilang sejak pertama kali dia berhubungan dengan Alisa malam ini. Namun, Mark bahkan harus berpura-pura masih terpengaruh obat, supaya Alisa dengan rela berhubungan dengannya lagi dan lagi malam ini.
Pemandangan yang pertama kali Mark lihat adalah wanita yang menurutnya semakin bertambah cantik akhir-akhir ini. Dan semakin membuatnya penasaran, karena berubah dari kucing rumahan yang begitu jinak dan penurut. Menjadi macan betina yang menakutkan jika di ganggu.
Tangan Mark terangkat perlahan, pria itu belum mengenakan apapun ketika dia memiringkan tubuhnya dan menjadikan tangan kanannya penopang kepalanya yang sedang menatap wajah cantik istri yang sudah dia nikahi satu tahun, tapi rasanya menggandeng tangannya selayaknya seorang istri pun, belum pernah Mark lakukan.
Tangan pria itu mendarat di pipi Alisa. Menyentuhnya dengan lembut, memberi ucapan yang sangat lembut. Saat Mark sedang memandang ke arah lain, dia melihat di laci yang sedikit terbuka. Pil yang biasa Alisa minum.
Mark segera turun dari tempat tidur, lalu mencari ponselnya di saku celananya yang tergeletak di lantai. Mark meraih celana pendeknya dan memakainya. Lalu meraih obat itu dan mengambil gambar dengan kamera di ponselnya.
Dia menghubungi Anggun. Ya, Anggun. Asisten pribadi Mark. Jika Vivian adalah sekertaris Mark, yang tugasnya memang fokus di perusahaan. Anggun ini multiguna sekali. Tidak hanya di kantor saja, tapi dia memang bertugas membantu seluruh pekerjaan Mark, baik itu formal maupun informal.
Setelah beberapa saat, Mark kembali ke ruang kerjanya membawa obat itu bersamanya.
Satu jam berlalu, Anggun datang. Bahkan saat matahari belum menunjukkan tanda-tanda dia akan terbit.
Anggun menyerahkan obat itu pada Mark, dan Mark memberikan obat yang asli pada Anggun.
"Tuan, sudah berubah pikiran rupanya" tanya Anggun.
Mark melirik ke arah orang kepercayaannya yang serba bisa itu.
"Ada apa?" tanya Mark.
"Tadinya aku berpikir, tuan masih tidak ingin punya anak sampai Rena menikah. Tapi aku rasa pendapat seperti itu tidak benar juga tuan. Tuan bukan orang dengan penghasilan pas-pasan. Punya anak 10 pun tidak akan mengurangi jatah tanggung jawab tuan pada Rena dan Tasya. Percayalah tuan!" ujar Anggun.
Mark yang mendengar itu tersenyum tipis. Sangat tipis. Tadinya dia memang berpikir seperti itu, tidak ingin punya anak dahulu. Apalagi dengan wanita yang tadinya tidak dia cintai sama sekali. Namun, 6 bulan terakhir ini, hatinya mulai berubah.
Menurutnya orang yang selalu ada untuknya itu sebenarnya adalah Alisa. Tidak pernah menuntut apapun, tidak pernah meminta sesuatu yang berlebihan dan sulit dikabulkan. Sayangnya hubungan mereka di mulai dengan situasi yang rumit.
"Pergilah! suamimu pasti mencarimu!" kata Mark.
Anggun mengernyitkan keningnya.
'Sudah tahu, suamiku pasti mencariku. Kenapa memberiku tugas, pagi-pagi buta begini!' batin Anggun sebelum pergi.
Mark membawa obat itu kembali ke kamar Alisa. Pria itu sudah mandi, dan hanya menggunakan jubah mandinya saat masuk ke dalam kamar istrinya yang bahkan masih tertidur pulas itu.
Mark membenarkan selimut Alisa. Dan meletakkan obat itu kembali di laci. Saat akan keluar, pria itu berbalik dan menghampiri Alisa lagi.
Cup
Sebuah kecupan di kening Alisa. Membuat pria itu tersenyum tipis sekali lagi.
Beberapa jam kemudian...
Paula membuka matanya perlahan, matanya berkedip beberapa kali. Wanita itu memegang keningnya. Dan pandangan menatap nanar ke depan.
"Hais, mimpi apa aku? kenapa aku bermimpi pria kasar itu mencium keningku? aku pasti sudah tidak waras!" gumamnya menggerutu sendiri.
Paula meraih obat yang ada di lacinya. Dia sama sekali tidak ingin membuat masalah dah mencari masalah untuknya sendiri di masa depan. Tanpa dia ketahui, sebenarnya obat itu sudah diganti oleh Mark, dengan vitamin supaya bisa cepat hamil.
Paula baru turun dari tempat tidurnya, berbalut dengan selimut. Sebelum akan pergi ke kamar mandi.
Tok tok tok
"Nyonya"
Itu suara bibi Dini. Mendengar suara bibi Dini, Paula pun menyempatkan dirinya untuk membuka pintu terlebih dahulu.
Ceklek
Paula memperlihatkan hanya kepalanya saja kepada bibi Dini.
"Iya bi, ada apa?" tanya Paula.
Bibi Dini terlihat tersenyum.
"Nyonya, tuan bilang 'tuan sedang menunggumu untuk sarapan bersama' begitu katanya!" kata bibi Dini yang bahkan terlihat begitu senang.
Paula terdiam, dia cukup terkejut. Selama satu tahun menikah, mana pernah pria itu mengajaknya sarapan bersama.
"Ha ha ha, katakan padanya aku sibuk!" kata Paula.
Wajah bibi Dini langsung terlihat kecewa.
"Tapi nyonya...."
Paula segera menyela bibi Dini.
"Bi, aku akan kehilangan selera makanku kalau melihat wanita simpanan suamiku itu. Sudah ya, katakan padanya. Aku belum bangun, nah katakan saja begitu!"
"Tapi nyonya, nona Karina bahkan sudah berangkat ke rumah sakit pagi-pagi sekali!" kata bibi Dini.
Paula kembali terdiam dan berpikir.
"Hah, mimpi apa wanita itu?"
Tapi beberapa detik kemudian, Paula ingat apa yang terjadi semalam. Mark bilang, dia di beri obat oleh Karina. Mark malah pergi ke kamarnya. Pasti wanita itu merasa malu sendiri pada Mark karena tidak berhasil.
'Eh, tapi apa dia punya malu? kalau dia punya malu, tidak mungkin merayu pria yang jelas-jelas sudah punya istri' batinnya lagi.
Bibi Dini yang merasa hal ini akan sangat baik untuk tuan dan nyonyanya. Berusaha membujuk Paula.
"Nyonya, jika nyonya memang tidak ingin pergi. Lebih baik mencoba untuk mendapatkan hati tuan" kata bibi Dini memberikan saran.
Masalahnya, kan bibi Dini juga sudah berusaha beberapa kali membujuk Paula untuk pergi saja. Daripada terus menerus disiksa oleh Berta, Rena dan Tasya.
Namun, akhir-akhir ini bibi Dini juga bisa melihatnya. Kalau nyonya nya sudah mulai melakukan perlawanan. Ada yang membantunya. Diam-diam memberikan banyak barang, dan segala kenyamanan bagi nyonyanya itu.
Sekarang, bibi Dini berpikir. Kalau memang nyonyanya ingin tetap tinggal. Akan lebih baik, jika bisa mendapatkan hati tuannya.
Dan mendengar bibi Dini bicara seperti itu. Paula mengernyitkan keningnya.
"Siapa yang tidak mau pergi dari sini, bibi? aku akan pergi. Tapi nanti, aku masih punya hutang pada pria kasar dan pemaksa itu!" kata Paula.
"Jika begitu, cobalah berdamai dengan tuan nyonya. Jika nyonya bisa mendapatkan hati tuan. Tidak akan ada lagi yang akan berperilaku tidak sopan pada nyonya di rumah ini!" ujar bibi Dini.
Paula terdiam, ucapan bibi Dini itu benar juga. Yang paling berkuasa di rumah ini kan memang Mark. Tapi, sedetik kemudian Paula kembali berpikir lagi.
'Eh, aku Paula Anna Helmith loh! memangnya siapa yang bisa berperilaku tidak sopan padaku!' batinnya lagi.
***
Bersambung...