Riris Ayumi Putri seorang gadis yang haus akan kasih sayang dan cinta dari keluarganya. Dan sialnya ia malah jatuh cinta pada kakak temannya sendiri yang umurnya terpaut jauh dengannya. Bukanya balasan cinta, justru malah luka yang selalu ia dapat.
Alkantara Adinata, malah mencintai wanita lain dan akan menikah. Ketika Riris ingin menyerah mengejarnya tiba-tiba Aira, adik dari Alkan menyuruhnya untuk menjadi pengantin pengganti kakaknya karena suatu hal. Riris pun akhirnya menikah dengan pria yang di cintainya dengan terpaksa. Ia pikir pernikahannya akan membawa kebahagiaan dengan saling mencintai. Nyatanya malah luka yang kembali ia dapat.
Orang selalu bilang cinta itu membuat bahagia. Namun, mengapa ia tidak bisa merasakannya? Apa sebenarnya cinta itu? Apakah cinta memiliki bentuk, aroma, atau warna? Ataukah cinta hanya perasaan yang sulit di jelaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon risma ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Di sebuah kamar tamu, Riris dan Alkan terpaksa tidur di sana karena kamar milik Riris telah di tempati oleh Cantika.
"Sebenarnya dia siapa sih," gumam Riris bingung.
Sedari tadi Alkan terus memperhatikan istrinya yang terlihat kebingungan dan ada rasa kesal juga. Alkan mulai merebahkan tubuhnya dan memeluk istrinya yang sedang bersandar di ranjang.
"Kalau kamu gak betah di sini, kita kembali ke rumah Ibu ya? Mas merasa tidak enak, hatiku tidak tenang. Sebenarnya Mas belum sepenuhnya mempercayai mereka, apalagi adik kamu itu," ujar Alkan khawatir.
"Gapapa, Mas. Aku masih rindu Mama Papa, sekalian pengen cari tahu dia siapa."
"Besok Mas mulai kerja, orang tua kamu juga suka sibuk kan? Nanti kamu sama siapa? Mas khawatir kalau harus ninggalin berdua dengan dia," Alkan menatap istrinya dengan wajah benar-benar tidak tenang.
"Mas tidak usah khawatir, aku bisa jaga diri. Lagian dia adikku juga, tidak mungkin macam-macam," ucap Riris sambil tersenyum mengelus rambut suaminya.
"Tetap saja Mas khawatir, sayang. Apalagi kamu lagi hamil. Kalau terjadi apa-apa langsung telfon Mas ya."
"Iya, Mas. Kamu tenang saja," Riris menangkup wajah suaminya gemas, makin ke sini makin tampan aja pantes dirinya dulu langsung suka pada pandangan pertama.
"Aku masih gak nyangka bisa miliki kamu. Dulu hanya mimpiku, sekarang menjadi kenyataan. Aku bahagia bisa bersamamu," ucap Riris menatap wajah suaminya tak percaya.
"Aku lebih bahagia memilikimu. Dulu Mas bodoh udah sia-siakan perempuan sebaik dan setulus kamu," balas Alkan.
"Sekarang bobo siang dulu gih. Kamu pasti masih capek," titahnya yang di balas anggukan kecil, memang waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang.
"Temenin ya," ucapnya dengan manja.
"Iya sayang, Mas juga pengen istirahat," sahutnya sambil mencubit pelan pipinya gemas.
"Sebentar mau ganti baju dulu, gerah."
Tak lama, Riris telah keluar dengan dress tipis dan karena perutnya yang sudah sangat membuncit membuat dress itu menjadi ketat dan terlihat lekuk tubuhnya. Rambutnya yang di ikat terlihat leher mulusnya. Memang semakin besar kehamilannya, dirinya gampang capek dan mudah gerah. Makanya Alkan selalu menyuruhnya jika sedang di kamar pakai baju pendek saja.
"Kok dress nya makin ketat ya? Aku gendut banget ya Mas?" tanyanya sambil memanyunkan bibirnya.
Ah sangat gemas, membuat iman Alkan makin tidak kuat. Istrinya selalu saja pintar menggodanya. Alkan memalingkan wajahnya mencoba menahan sesuatu.
"Tuh kan Mas aja sampe gak mau lihat. Aku gendut kan? Aku jelek ya?"
Sontak Alkan langsung menoleh dengan panik. Ia tidak ingin istrinya salah paham, bakal berabe nantinya. Apalagi semenjak hamil sangat sensitif, mood nya suka berubah-ubah tidak jelas.
"Bukan begitu, sayang. Kamu cantik kok, masyaallah bahkan sangat cantik. Kamu gak gendut, kan lagi hamil," Alkan mencoba menenangkan dengan hati-hati.
"Bohong! Kamu aja gak mau lihat aku!"
Alkan menghela nafas pelan, lalu menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Ia menangkup wajah istrinya, wanita itu masih memalingkan pandangannya dengan cemberut.
Cup! Cup! Cup! Cup!
Alkan mengecup kening, kedua mata istrinya dan terakhir mengecup bibirnya lama.
"Dengerin, Mas," keduanya saling tatap dengan jarak yang dekat.
"Mas lakuin itu karena takut khilaf. Habisnya kamu sengaja banget sih goda, Mas. Udah tau iman Mas suka goyah kalau lagi sama kamu," jelas Alkan.
"Kamu lagi hamil besar, sayang. Mas masih harus puasa sampe bayinya lahir, takut terjadi apa-apa sama kamu dan dedeknya," lanjutnya.
"Tapi kan kata dokter malah bagus biar lahirnya lancar," sahut Riris.
"Beneran?"
"Iya, mau?" tawarnya dengan senang hati karena peka melihat wajah suaminya yang sedang menahan sesuatu.
"Nanti saja, sayang. Mending sekarang kamu istirahat saja. Lagian gak enak ini di rumah orang tua kamu," tolak Alkan lembut, ia tidak ingin menggangu waktu istirahat istrinya.
Sebenarnya Alkan menginginkannya, apalagi dirinya sudah puasa selama beberapa bulan. Karena terakhir melakukan paginya Riris terus meringis merasakan sakit pada perutnya.
"Gapapa, Mas. Ayo, pelan-pelan saja jangan berisik," bisiknya di telinga Alkan, membuat bulu kuduknya berdiri.
Alkan bersikeras menolaknya pelan karena tidak ingin lagi terjadi sesuatu dengan mereka. Namun, Riris terus meyakinkannya dan sesekali menggodanya karena dia juga menginginkannya. Dan akhirnya iman Alkan pun goyah, mereka kembali melakukan itu setelah sekian lama.
Sedangkan di luar sana tak sengaja mendengar samar suara mereka. Tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras.
Hari-hari kian berlalu. Keduanya masih tinggal di rumah orang tua Riris. Selama ini orang tuanya selalu memperlakukan Riris dengan baik begitupun dengan Cantika. Namun, tanpa Riris ketahui diam-diam Cantika selalu mendekati suaminya.
Seperti saat ini, malam hari di dapur. Alkan sedang membuatkan susu untuk istrinya. Tiba-tiba Cantika menghampirinya dengan pakaian yang sangat sexy.
"Lagi apa, Mas? Mau Caca bantuin?" tawarnya sambil meliukkan tubuhnya mencoba menggoda dan memainkan rambutnya menggunakan jari.
"Tidak usah!" Alkan masih fokus tanpa memperdulikannya.
"Jadi cewe manja banget sih pake di bikinin segala. Harusnya dia yang nge layani suami. Bukan malah enak-enakan rebahan terus," ujarnya membuat Alkan mengepalkan tangannya merasa tak terima istrinya di hina.
Alkan menoleh menatap gadis itu dengan datar. Dengan tak tahu malunya dia malah bertingkah centil. Bukannya tergoda Alkan malah bergidik ngeri. Masih kecil sudah seperti itu.
"Dia istriku, terserah mau bagaimana pun tidak ada urusannya denganmu. Dan bagiku tidak masalah," belanya.
"Lo hanya orang asing yang masuk ke dalam kehidupan kita. Gak akan gue biarin Lo menyakitinya sedikitpun! Ingat ya, berani Lo nyakitin dia gak bakal gue biarin hidup Lo tenang!" ancamnya lalu berlalu pergi meninggalkannya begitu saja.
Kepergian Alkan membuat gadis itu menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Sayang, ini susunya. Ayo di minum."
Alkan baru saja sampai di kamar. Riris yang sedang menunduk sambil mengelus perutnya, sontak langsung menoleh.
"Kok lama?" tanyanya sambil meringis pelan.
"Ah itu tadi Mas lupa taro susunya. Jadi harus nyari dulu," bohongnya.
"Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Alkan khawatir sambil menaruh gelas yang di pegangnya di atas nakas.
"Dedeknya nendang-nendang terus kencang banget, kayak lagi main bola."
"Coba Mas mau rasain," Alkan menyentuh perut buncit istrinya dan mendekati telinganya.
Dug! Dug!
Benar saja, bayinya kembali menendang sangat keras membuat Riris kembali meringis kesakitan. Bahkan Alkan saja sampe terkejut.
"Sayang, nendangnya jangan kencang-kencang ya kasihan Bunda. Kamu udah gak sabar pengen ketemu Ayah sama Bunda ya," ujarnya mencoba menenangkan bayi di dalam perut istrinya.
Dug! Dug! Dug!
Bukannya tenang malah kembali menendangnya dengan kencang.
"Oh kamu pasti haus ya pengen minum. Ini maaf ya tadi Ayah bikinnya lama," Alkan mengambil susu yang di bawanya tadi lalu memberikan pada istrinya.
"Udah dingin ya, mau Mas bikinin lagi yang anget?" tawarnya.
"Gak usah, ini aja."
Alkan masih asik mengelus perut buncitnya dengan gemas. Dan benar saja setelah minum susu bayinya kembali diam.
"Padahal baru mau 8 bulan. Kok gede banget ya kayak lebih dari 9 bulan?" tanya Alkan terheran-heran.
"Gak tau aku juga bingung. Udah berat banget sampe susah mau ngapa-ngapain," sahut Riris.
"Kamu gak usah banyak gerak, sayang. Mas gak mau kamu kecapean."
"Aku gak enak gak bisa nge layani kamu lagi. Pulang kerja capek gak ada yang nyiapin makan," ucapnya merasa tidak enak.
"Gapapa, sayang. Mas ngerti, kamu kan lagi hamil. Mas lebih takut kalau kamu ngerjain ini itu. Jadi untuk sekarang kamu diam saja ya."
Sedangkan di sisi lain. Di sebuah kamar, terlihat sepasang suami-istri yang sedang bersantai di halaman belakang rumahnya. Meminum kopi sambil menatap indahnya langit malam. Mereka mencoba menenangkan pikirannya yang lelah terus bekerja.
"Kamu merasa gak sih, ternyata lebih nyaman dekat dengan anak kita sendiri?" tanya wanita paruh baya pada suaminya.
"Iya, kita semakin tua. Sudah seharusnya kita melupakan semuanya. Hidup terus di hantui rasa benci tidak membuat kita bahagia. Lagian tidak sepenuhnya dia yang salah. Hanya kita saja yang tidak bisa menerima takdir."
"Benar, Mas. Dulu kita bodoh banget ya nyia-nyiakan anak sebaik dia."
"Sekarang coba perbaiki semuanya di sisa hidup kita ini. Semakin tua sudah mulai sakit-sakitan, sudah seharusnya kita bersantai. Hasil jerih payah kita, jika tidak di berikan padanya sama siapa lagi?"
Sedari tadi ada seseorang yang mendengar percakapan mereka. Tangannya terkepal sangat kuat dengan muka memerah.
'Gue gak boleh diam saja seperti ini!'