Farraz Arasy seorang pemuda biasa tapi mempunyai kisah cinta yang nggak biasa. Dia bukan CEO, bukan direktur utama, bukan juga milyarder yang punya aset setinggi gunung Himalaya. Bukan! Dia hanya pemuda tampan rupawan menurut emak bapaknya yang tiba-tiba harus terikat dalam hubungan cinta tak beraturan karena terbongkarnya rahasia besar sang calon istri sebelum pernikahan mereka terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banting setir
Setelah kejadian pamer tiga detik yang Arraz lakukan, hubungan keduanya menjadi sedikit..... Lebih bar-bar!
Canggung? Apa itu canggung? Nggak ada sama sekali. Bahkan kadang ketika mau mandi, Arraz sengaja membuka bajunya di luar kamar mandi. Atau sengaja memakai handuk dililitkan di pinggang lalu berjalan kemanapun dia suka di setiap sisi rumahnya.
Masalah buat Zea? Ya kagak! Zea kadang ikutan nakal, dengan berani memakai hotpants dan kaos milik Arraz setelah mandi. Tapi hanya sebatas itu. Zea nggak berani telanjang seperti yang Arraz lakukan. Ya karena belum ada keberanian lebih untuk Zea berbuat selancang itu, meski Arraz adalah suaminya sendiri.
Pagi itu, rumah mereka beraroma… karet gosong. Zea berdiri di depan kompor dengan ekspresi kalah perang. Dua panci berisi air mendidih telah berubah jadi dua kawah kecil berisi kekecewaan. Arraz keluar dari kamar mandi, mengelap muka dengan handuk kecil sambil bergumam...
"Kamu masak atau bakar dupa buat pengusiran setan, dek?" Ejek Arraz menatap bencana di depan matanya.
"Hiiis ini tuh aku mau buat teh panas, mas. Airnya dididihkan dulu!" jawab Zea bersemangat, sambil menunjuk gelas kosong tentunya.
Arraz menengok ke arah panci. "Airnya ke mana?" Tanya Arraz dengan muka tengil.
"Evaporasi cepat lah. Mas tahu kan ini lagi musim kemarau." Ucap Zea manyun lima centi.
Arraz menatapnya, mengacak rambut Zea pelan. "Ini dapur, dek. Bukan eksperimen cuaca ekstrem. Yunooo?"
Mereka tertawa. Meski hanya sedikit, tawa itu cukup untuk membuat pagi yang remuk jadi renyah kembali. Tiga hari sudah Arraz melepas statusnya sebagai guru. Tiga hari pula rumah itu penuh dengan eksperimen dapur gagal dan diskusi absurd soal "karir kedua".
"Mas yakin mau buka usaha konveksi?" tanya Zea saat menyajikan sarapan dengan roti bakar gosong, andalannya!
Pertanyaan itu sudah Zea sampaikan tiga kali pagi ini. Ya, gimana ya, Arraz yang tadinya adalah seorang guru malah banting stir di bidang lain. Mungkin ada perang batin bagi Arraz, ada kekecewaan di sana, tapi lelaki itu sangat pandai menutupi semuanya.
"Udah beli mesin jahit, mesin obras, mesin kam, juga merekrut emak-emak di sekitar rumah kita yang pandai menjahit, mereka udah aku tes sebelumnya dek. Dan hasil jahitan mereka sangat rapi. Jadi, kenapa enggak? Daripada jadi barista di kafe penuh anak SMA yang manggil aku 'Om'? Nggak, deh dek makasih."
Zea nyengir. "Ya, kan mas emang udah kayak om-om. Tapi om-om yang sayang sama aku!"
"Mas, mas habisin banyak uang buat modal usaha ini ya? Uang mas pasti udah habis, kan? Padahal mas harus berhemat karena belum punya kerjaan tetap.. Tapi malah boros borosan kayak gini. Maaf ya mas, semua karena aku ya?" Lanjut Zea mengubah mimik mukanya menjadi kesedihan.
Arraz menampilkan wajah sendunya, hanya pura-pura tentu saja. " Ya.. Bagaimana lagi, mas miskin sekarang dek. Kamu masih mau sama mas yang kere ini?"
"Miskin itu bukan aib mas, kita bisa bangun sama-sama dari awal. Aku temenin mas terus pokoknya! Aku nggak akan ninggalin mas!" Kata Zea manja. Tangannya sibuk memilah bagian roti yang nggak gosong, tapi mau dikeruk sampai habis pun semua bagian roti yang Zea bikin tetap berwarna hitam legam.
"Bagus lah, kalau gitu kamu siap jadi co-founder bisnis rombeng ku?"
Tanya Arraz mengambil roti di piring Zea. Dia menukar miliknya yang lumayan nggak gosong. Lumayan lah.. Warnanya lebih manusiawi ketimbang milik Zea.
"Deal! Asal aku nggak disuruh ngejahit ya mas ya. Jahitan aku itu... horor."
"Hahahaha.." Keduanya kembali tertawa.
Setelah sarapan bersama insiden roti gosong, Arraz memutuskan untuk mengantarkan Zea berangkat ke sekolah. Dia nggak ikut turun bersama Zea kali ini. Arraz tetap duduk di belakang stir sambil menatap Zea penuh perasaan.
"Sekolah yang pinter, nggeh dedek kesayangan." Ujar Arraz sambil mengecup kening Zea setelah Zea mencium punggung tangan Arraz terlebih dahulu.
"Nggeh mamas tayaaaang! Semangat! Kita pasti bisa lewati ini sama-sama, oke?! Kalau ada badai jangan berlindung di bawah pohon, kesamber gledek matek kita mas! Jadi pas ada badai kayak gini kita nikmati aja sambil minum kopi, makan roti, sambil nyanyi.. Kemesraan iniiiiiiiii... Janganlah cepat berlaluuuuuu..." Zea cekikikan.
Arraz tertawa gemas. Dia cubit hidung Zea kemudian.
"Gayane bojoku ini, bikin teh aja selalu ngebolongin panci tiap pagi kok ya bangga banget nyanyi kayak gitu." Ledek Arraz pada Zea.
"Iiih mas ih, di bahas mulu. Pundung lah aku pundung!"
Arraz mengecup singkat pipi Zea. Lalu mengelap bekasnya dengan ibu jari. "Sana masuk kelas. Nanti terlambat."
Zea ngefreeze sesaat kemudian mengangguk paham.
Mata Arraz menatap ke bangunan sekolah Tadinya Mesra. Sekolah yang selama ini dia banggakan. Dia pikir akan selamanya mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di sini, nyatanya kenyataan nggak sejalan dengan harapan.
Flashback, Melepaskan Seragam.
Seminggu sebelumnya.
Arraz duduk di depan meja kerjanya. Di atas meja, ada setelan seragam guru, kemeja putih dengan pin kecil bertuliskan Dedikasi Pendidikan Nasional. Arraz menyentuhnya perlahan. Dulu, dia bangga memakai ini. Menjadi guru bukan hanya pekerjaan, tapi itu adalah identitasnya.
Tapi sekarang…
Dia menulis surat pengunduran diri dengan tangan gemetar. Kata-katanya singkat. Nggak ada alasan personal yang dijelaskan.
'Saya Farraz Arasy memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya sebagai pengajar di SMA Tadinya Mesra per tanggal 1 bulan ini. Dengan hormat dan kesadaran penuh.'
Arraz menghela napas panjang.
"Digugu dan ditiru… Tapi kalau yang digugu menikahi muridnya sendiri, apa jadinya?" gumamnya pelan, seolah Tuhan ada di hadapan.
Tak ada pelanggaran hukum. Tapi moral… Ah, moral selalu punya suara lebih lantang di dalam kepala.
Kembali pada hari ini. Arraz selesai dengan tugasnya.. Yaitu mengantar sang tuan putri Zea berangkat ke sekolah. Dia menuju ke ruang belakang rumah yang disulap menjadi konveksi mini. Ada mesin jahit bekas, rak benang warna-warni, dan papan desain yang sebagian besar berisi… coretan Zea.
Arraz berdiri di tengah ruangan dengan tangan di pinggang.
'Ini dia. Kingdom of Konveksi. Produk: Kaos. Sumber daya: cinta, cucian, dan cicilan!' Arraz terkekeh membaca catatan Zea.
'Kerja, kerja, kerja!!! Muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga! Eh, matinya ntar dulu aja!'
Lagi-lagi Arraz tertawa sambil menunduk dan menggeleng pelan. Zea ini bisa banget naikin mood orang yang lagi down.
Nah jadi gini, setiap hari konveksi ini sudah mulai berjalan. Usaha kecil dengan harapan besar! Jika di siang hari Zea sibuk belajar di sekolah... malam harinya, mereka bekerja bersama. Zea sih nggak bisa apa-apa ya.. Cukup bantu doa sama mijitin Arraz aja, udah bikin Arraz bahagia! Sesekali gadis itu mendengarkan lagu-lagu kesukaannya, bersenandung meski suaranya biasa aja. Tapi jelas semua itu cukup menghibur suaminya. Yaaaa namanya juga bucin akut, paham lah yaaa!
Arraz menggambar desain kaus bertema 'Self Respect', 'Jangan Jadi Toxic', dan 'Bangga Jadi Baik'.
"Kaos desain mas itu kok kayak pelajaran etika, mas." celetuk Zea sambil mengintip apa yang Arraz kerjakan.
"Nggak dek, tapi pendidikan karakter. Tapi versi wearable." Jawab Arraz memijat tengkuknya yang terasa pegal.
Zea segera tahu jika mamasnya ini minta dipijit. Oh oke, baiklah.. Sebagai istri yang beriman, solehah, dan peka pada penderitaan suami.. Zea pijit tipis-tipis bagian yang di sentuh sentuh manjah sama Arraz tadi.
"Terus gimana cara masarin semua barang itu mas. Udah bikin banyak banget lho itu. Mau di jual di pasar?" Tanya Zea polos.
"Ke pasar? Kamu mau gelar lapak di pasar?"
Tanya Arraz melipat bibirnya ke dalam. Ingin tertawa takut dosa. Bukan tertawa karena jualan di pasarnya! Bukaaaan!! Tapi melihat reaksi Zea seperti sedang membayangkan jika dia berjualan kaos sambil teriak-teriak di dalam pasar, itu yang bikin Arraz pengen ketawa.
"Boleh! Besok kan Minggu. Kita ke pasar aja buat jualan ini semua, mas." usul Zea sambil manggut-manggut.
"Sementara kita pake jalur daring dulu dek. Mas udah bikin akun jualan online. Siapa tahu keberuntungan kita ada di sana. Bismillah aja ya, semoga semua dilancarkan."
"Aamiin paling kenceng pake pinjem toa mesjid depan sana!" Cepat Zea mengaminkan doa suaminya.
__________
Hari Sabtu pagi, Arraz duduk di depan kamera. Kaos polos warna putih menempel di tubuhnya, wajahnya sedikit berminyak karena stres, tapi senyumnya… tulus. Bentar, gantengin diri dulu aja kali ya. Ke kamar mandi buat cuci muka nggak bakal bikin dosa kan? Ketimbang nanti live muka Arraz dijadiin cibiran, oh no! Ganteng aja kalo kemproh ya orang-orang ogah mendekat mas'en
Di balik kamera, Arraz udah mengatur cahaya agar gambar yang di ambil bisa jelas terlihat di kamera.
'Inget, Mas. Jangan ngomong kayak guru pembukaan upacara.'
Pesan chat dari Zea. Zea kan masih di sekolah ini ceritanya, nggak bisa nemenin mas suami ngelive streaming. Bisa-bisa malah kebongkar kalo Zea lah yang Arraz nikahi jika Zea ikutan nongol ngelive pagi-pagi!
'Berarti gak boleh gini ya dek? Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak yang berbahagia... Apa kabar hari ini?' Balas Arraz cepat.
Zea membalas pesan itu dengan emoticon Hulk makan barbel! Arraz tertawa saja.
Kamera menyala.
Arraz menelan ludah. Dia gugup. Ini pertama kalinya dia seperti ini. Lalu dia mulai bicara..
"Hai… kalau ada yang nonton, ini kaus edisi pertama. Jahit sendiri, desain sendiri, endorse belum ada.."
Dia mengangkat kaus bertuliskan
'Gak Harus Hebat, Cukup Jadi Jujur.'
Layar menunjukkan, Penonton: 1
Zea.
Gadis itu sedang duduk di bangku kelasnya, hari ini ada jam kosong. Zea buru-buru mengambil earphone lalu menempelkan ke telinganya, dan di layar, hanya ada satu pria: suaminya.
Zea menggigit bibir bawah, menahan tangis.
"Mas…" bisiknya. "Semoga lelah mu menjadi lillah... Kamu mundur dari profesi guru. Tapi kamu maju untuk mempertahankan ku. Itu… cukup mas! Itu lebih dari cukup."
Sepulang sekolah, hujan turun ringan di luar. Zea kembali dengan ojek onlen. Dia nggak merengek minta dijemput Arraz, Zea tahu suaminya itu pasti mengalami hal berat hari ini.
Dan benar saja, ketika Zea membuka pintu rumah.. Arraz terlihat ketiduran di kursi, kamera masih menyala, suara hujan menyatu dengan napasnya. Di layar laptop, chat box kosong. Tak ada komen. Tak ada pesanan. Matanya menatap Arraz yang terlelap, tangannya masih menggenggam nota pengeluaran harian. Ada kesedihan di hati Zea. Dia ingin menangis tapi ditahan.
Dengan pelan Zea duduk di samping Arraz. Dia buka ponselnya lalu mengetik...
'Pesan satu kaos dong, mas. Ukuran: suami paling tangguh.'
Notifikasi berbunyi pelan.
1 Pesanan Masuk.
Arraz membuka matanya pelan. Melihat layar.
Ia membaca pesan itu, lalu memandang Zea. Gadis itu hanya tersenyum kecil, lalu menyelimuti tubuh Arraz dengan jaket Arraz yang selalu dia pakai kemana-mana.
"Pelanggan pertama kita luar biasa cantik," Kata Arraz dengan mata sayu.
Zea menjawab, "Dan owner konveksi kita… luar biasa sabar." Zea mengecup pipi Arraz.
Malam itu, nggak ada tepuk tangan. Nggak ada omzet ribuan. Hanya dua orang yang saling percaya, bahwa cinta yang jujur akan menemukan jalannya.
apa setelah jengger ayam, terbitlah HIV?! 😱
aku udah was² aja klo mreka ninu²😣
rugi bgt kamu Ar klo smpe lakuin itu.. masa yg masih ori celup² ke bekasan sih😐
kamu masuk diantara masalah yg ada..
mana statusmu gak kuat pulak🤦🏻♀️
kirain Ar nikahin Dewi secara siri juga😣
cukup 3 part ajalah Thor zea sama arraz cuek cuekan jangan ada part selanjutnya
wah² tuh suster kena bwrapa bayarnya ya
sekali nya dibales bikin nyesek 😭😭😭
berasa uji nyali keknya
kabur aja araz ke luar negeri 🤣🤣