NovelToon NovelToon
Bukan Karena Tak Cinta

Bukan Karena Tak Cinta

Status: tamat
Genre:Berondong / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Tamat
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tangis Pilu yang Tak Dapat Mengubah Apa Pun

Setelah melalui proses hukum yang panjang dan mediasi yang penuh drama, Diana akhirnya bebas dari tahanan polisi. Ia tiba di rumahnya dengan wajah yang masih menunjukkan kekesalan mendalam. Meskipun Novia telah mencabut laporannya, Diana sama sekali tidak merasa berterima kasih. Sebaliknya, ia merasa dipermalukan dan dendamnya semakin membara.

Begitu masuk ke dalam rumah, Diana langsung membanting tasnya ke sofa. Ia tak bisa menyembunyikan lagi rasa kesalnya pada Novia. Matanya menatap kosong ke depan, seolah-olah Novia berdiri di hadapannya.

"Dasar wanita sialan! Berani-beraninya dia melaporkanku ke polisi!" teriak Diana, suaranya melengking tinggi. Ia memaki seolah Novia ada di depannya. "Kamu pikir kamu siapa, hah?! Kamu itu hanya sampah! Janda mandul yang tidak tahu diri! Kamu tidak pantas hidup tenang!"

Diana berjalan mondar-mandir di ruang tamu, meluapkan semua amarah yang selama ini tertahan. Ia merasa semua masalahnya, semua rasa malunya, semua kekesalannya, adalah ulah Novia.

"Aku tidak akan membiarkanmu bahagia, Novia! Aku akan pastikan kamu menderita! Aku akan pastikan kamu tidak bisa hidup tenang!" sumpah Diana, tangannya mengepal erat. "Kamu pikir dengan mencabut laporan itu kamu bisa jadi pahlawan?! Tidak! Kamu itu tetap musuhku!"

Januar yang mendengar keributan, keluar dari kamarnya. Ia sudah lelah dengan drama ibunya yang tak berkesudahan. Ia tahu ibunya baru saja bebas, namun amarahnya sudah kembali membara.

"Bu, sudahlah!" kata Januar, mencoba menenangkan ibunya. "Jangan berteriak-teriak lagi. Kita sudah cukup banyak masalah."

Diana menoleh tajam ke arah Januar. "Kamu ini membela siapa, hah?! Ibu ini baru saja keluar dari sana gara-gara wanita sialan itu!"

"Aku tidak membela siapa-siapa, Bu," sahut Januar, nadanya lelah. Januar mengingatkan Diana untuk tak berbuat onar lagi. "Ingat, Bu. Polisi bilang, kalau Ibu membuat masalah lagi, mereka tidak akan segan untuk menahan Ibu lebih lama. Kenzi juga tidak akan main-main lagi."

Diana mendengus. "Aku tidak peduli! Aku tidak akan membiarkan wanita itu hidup tenang!"

"Bu!" bentak Januar, suaranya sedikit meninggi. "Tolonglah, Bu. Jangan membuat masalah lagi. Aku sudah pusing dengan semua ini."

Diana menatap Januar dengan tatapan kesal. Ia tahu Januar benar, namun egonya terlalu tinggi untuk mengakui. Ia juga tahu bahwa Kenzi bukan orang sembarangan, dan ancaman polisi itu nyata.

****

Minggu itu, menjadi hari terberat bagi Pak Marzuki. Dengan langkah gontai, ia memasuki ruang kunjungan di lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Di sana, Bu Desi sudah menunggunya, mengenakan seragam tahanan. Wajahnya sembab, matanya bengkak, dan kulitnya terlihat kusam. Penampilannya sangat jauh berbeda dari Bu Desi yang selalu tampil angkuh dan glamor.

Begitu melihat suaminya, air mata Bu Desi langsung tumpah. Ia mendekati jeruji besi, tangannya mencoba meraih Pak Marzuki. Bu Desi nampak menangis terisak-isak, dan memohon suaminya membebaskannya.

"Mas... Mas Marzuki! Tolong aku, Mas! Aku tidak sanggup di sini!" rintih Bu Desi, suaranya parau. "Aku mohon, Mas! Bebaskan aku! Aku tidak tahan lagi!"

Pak Marzuki menatap istrinya dengan tatapan prihatin, namun juga getir. Ia tahu betul situasinya. Ia sudah mencoba segala cara, berbicara dengan pengacara, bahkan memohon pada Kenzi, tapi semua itu sia-sia.

"Desi, tenanglah," kata Pak Marzuki, mencoba menenangkan. "Aku sudah berusaha sekuat tenagaku. Tapi... aku tidak bisa melakukannya."

Mendengar itu, tangis Bu Desi semakin menjadi-jadi. "Tidak bisa bagaimana?! Kamu ini suamiku, Mas! Kamu Kepala Sekolah! Kamu pasti punya kenalan! Kamu pasti bisa mengeluarkan aku dari sini!"

Pak Marzuki menggelengkan kepala. "Ini kasus serius, Desi. Kamu ditahan karena tabrak lari dan pencemaran nama baik. Ada banyak bukti dan saksi. Aku sudah minta bantuan pengacara terbaik, tapi mereka bilang kasusmu berat."

Bu Desi menggebrak jeruji besi, amarahnya kembali memuncak di balik kesedihannya. Bu Desi pun marah tak terima. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia harus mendekam di penjara, sementara Novia, yang ia benci, bebas berkeliaran.

"Tidak mungkin! Ini semua salah wanita sialan itu, Mas! Novia! Dia yang menjebakku! Dia yang ingin aku menderita!" teriak Bu Desi, menunjuk-nunjuk seolah Novia ada di depannya. "Aku tidak akan terima ini! Kamu harus membebaskan aku, Mas! Sekarang juga!"

"Desi, sadarlah!" bentak Pak Marzuki, frustrasi. "Kamu sendiri yang membuat masalah ini semakin besar! Kamu tidak mau mendengarkan nasihat siapa pun! Aku sudah memohon padamu, tapi kamu tetap saja keras kepala!"

"Aku tidak keras kepala! Aku hanya membela diri! Wanita itu memang pantas mendapatkan semua ini!" balas Bu Desi, tak mau kalah. "Kamu tidak mencintaiku lagi, Mas! Kamu membiarkan aku di sini! Kamu sama saja dengan mereka semua!"

Hati Pak Marzuki terasa sakit mendengar tuduhan istrinya. Ia sudah mencoba menjadi suami yang baik, melindungi dan menasihati, tapi Bu Desi selalu menutup mata dan telinga. Kini, istrinya itu harus merasakan konsekuensi dari perbuatannya.

"Aku melakukan apa yang aku bisa, Desi," kata Pak Marzuki, suaranya pelan dan putus asa. "Tapi ada batasnya. Kamu harus menghadapi konsekuensi dari perbuatanmu sendiri. Ini juga demi kebaikanmu, agar kamu belajar."

Bu Desi hanya menangis meraung-raung, tak peduli lagi dengan sekitarnya. Ia tidak bisa menerima nasibnya, tidak bisa menerima bahwa ia harus mendekam di balik jeruji besi, sendirian, tanpa kemewahan yang selalu ia banggakan. Pak Marzuki hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan sendu, tahu bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kunjungan itu berakhir dengan kesedihan dan keputusasaan bagi keduanya.

****

Malam itu, di kamar kontrakannya yang sederhana namun nyaman, Novia menyelesaikan kewajibannya. Ia membentangkan sajadah, mengenakan mukena putih bersih, dan berdiri menghadap kiblat. Dengan tenang, ia memulai salat Isya. Setiap gerakan dilakukannya dengan penuh kekhusyukan, bibirnya melafazkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan lembut. Dalam setiap rukuk dan sujud, ia merasakan ketenangan yang mendalam, menyerahkan segala beban dan rasa sakitnya kepada Sang Pencipta.

Setelah salam, Novia tetap duduk di atas sajadah, merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ia memejamkan mata, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya. Selepas selesai salat, ia berdoa pada Allah. Doa yang keluar dari lubuk hatinya, tulus dan penuh pengharapan.

"Ya Allah, Rabbku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..." bisik Novia, suaranya bergetar menahan haru. "Segala puji bagi-Mu atas nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan kepadaku."

Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya yang penuh liku. Dari keterpurukan karena fitnah, perceraian yang menyakitkan, hingga kesulitan ekonomi dan pengusiran. Namun, di tengah badai itu, Allah selalu mengirimkan pertolongan melalui orang-orang baik seperti Kenzi, Bu Mariam, dan kedua orang tuanya, Suryani dan Tarman. Ia bersyukur atas pekerjaan barunya, tempat tinggal yang nyaman, dan kehadiran orang-orang yang tulus mendukungnya. Ia bersyukur atas kebaikan yang Allah berikan padanya.

Novia melanjutkan doanya, kini dengan permohonan yang lebih dalam. "Ya Allah, hamba mohon, berikanlah hamba ketabahan dan kekuatan untuk menghadapi segala cobaan yang masih akan datang."

Ia teringat lagi pada Diana dan Bu Desi, pada hinaan dan perlakuan jahat mereka yang tak berkesudahan. Meskipun ia telah mencoba memaafkan, bayangan itu kadang masih menghantui. Ia tahu, dunia ini penuh dengan orang-orang yang bisa saja berniat jahat.

"Jauhkanlah hamba dari orang-orang yang ingin berbuat jahat padaku, ya Allah," pinta Novia tulus, air matanya menetes lagi, namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan permohonan. "Lindungilah hamba dari segala fitnah, kedengkian, dan kezaliman. Berikanlah hamba kebijaksanaan untuk menghadapinya, dan kesabaran untuk menjalaninya."

1
Grenny
🔥👍🏻
Serena Muna: makasih kakak
total 1 replies
Indah Rindayani
masa gak hbs2 masalh n cercaannya buat novo, bikin yg baca gedek sm yg buat cerita terlalu d dramatisir tao gak?!
Serena Muna: NGGAK TAHU!
total 1 replies
Dewi Dama
malas baca nya lagi novel nya beratam dan taurann terus....
Serena Muna: Terserah
total 1 replies
Dewi Dama
GK.enak
...baca nya cerita nya penuh dgn caci maki
Muhammad Rafli321
Thor Thor klo buat cerita jgn jg pemeran utamanya trllu goblok ga ada pembelaan diri,pantesan ga ada yg bc crtanya garing LG jengkelin
Serena Muna: kalo begitu terima kasih banyak ya😊
Muhammad Rafli321: lahhh gue cm mampir doang,dr judulnya bagus ternyata crtanya ampunn byk kata2 yg diulang2,byk umpatan tp koq heran crta beginian bs lolos review..mau d KSH rate bintang 1 tp gue msh pny rasa kasihan krg baik apa coba
total 5 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!