Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Evanda pingsan ketika mendengar kabar jika putranya kecelakaan. Merepotkan sekali. Terpaksa Javas menuju rumah sakit bersama adik (Raven) dan putra pertamanya, Robert. Mereka jarang kelihatan karena memang jarang di rumah.
Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika Skala kehilangan banyak darah dan harus mendapatkan donor darah. Tapi, tidak berlangsung lama, karena Robert dan Javas mendonorkan darah mereka pada Skala.
Sedangkan Aurora masih belum sadar. Gadis itu berada di sebuah ruang rawat bersama Lythia dan juga Charlie. Yang lainnya sibuk mengurus ini itu.
Thomas dan Archie berusaha menyelidiki kecelakaan tunggal ini. Mereka sedang mencari siapa dalang di balik ini semua. Meski mereka sudah curiga pada satu orang. Namun, untuk membuktikan semuanya, mereka harus menyelidiki terlebih dahulu. Hanya menggunakan laptop dan tablet, Thomas serta Archie tak menyerah sampai begitu saja.
"Bagaimana?" tanya Benjamin pada kedua putranya.
Archie menggeleng sebagai jawaban. Hal itu membuat Benjamin geram.
"Lebih baik kalian pulang agar lebih konsentrasi. Gunakan alat yang lebih canggih dari itu," ujar Benjamin.
Archie dan Thomas mengangguk pelan. Pada akhirnya mereka memilih pulang ke rumah Skala untuk melanjutkan penyelidikan nya. Tersisa lah Benjamin dan Raven di sana. Javas dan Robert sendiri sedang berada di sebuah ruangan karena mereka sedang mendonorkan darah untuk Skala.
Raven berdehem canggung. Dia tau siapa Benjamin Alessandro yang sedang duduk di sampingnya ini. Meski sudah tau fakta yang sebenarnya, Raven tetap merasa canggung dan masih tidak menyangka.
"Terimakasih, Mister," ucap Raven sedikit gugup. Kenapa terimakasih? Sebab Benjamin lah yang membayar semua pengobatan Skala selama beberapa hari ke depan.
Benjamin mengangguk sambil menepuk-nepuk pundak Raven. Setelah itu mereka tidak bersuara lagi. Sebenarnya Raven termasuk orang yang mudah akrab dengan orang asing atau orang yang baru dia kenal, tapi, ini adalah Benjamin Alessandro. Dia tidak cukup berani mengajak pria itu bicara. Takut salah bicara.
Mereka menoleh ke arah Lythia yang berjalan menghampiri Benjamin. Seketika Benjamin berdiri dan menyuruh Lythia duduk di salah satu kursi.
"Dengan siapa Aurora di sana?" tanya Benjamin.
"Charlie. Aku ingin melihat keadaan menantu. Apa dia baik-baik saja?" tanya Lythia. Matanya terlihat memerah, mungkin karena terlalu lama menangisi putrinya.
"Belum ada pemberitahuan dari dokter. Lebih baik kamu makan sesuatu agar tidak lemas," ujar Benjamin sambil mengelus punggung istrinya.
Lythia hendak menolak, tapi Benjamin menatapnya penuh peringatan. Jadilah dia memilih mengangguk saja. Namun, sebelum mereka mencari makan, Benjamin lebih dulu menghubungi seseorang untuk menjaga keadaan sekitar ruangan Skala dan Aurora.
****
Tepat pukul sepuluh malam, Skala baru dipindahkan ke ruang rawat inap. Sedari tadi, Aurora selalu menunggu suaminya. Dia tidak mau makan sebelum Skala membuka mata, dia juga tidak mau pergi dari sisi Skala. Setelah bangun dari pingsan, Aurora benar-benar tidak makan atau membersihkan diri. Dia terus berada di samping Skala sambil memegang tangan pria itu.
Demi apapun, baru kali ini Aurora keras kepala. Tak ragu dia menolak segala perintah dari keluarganya yang menyuruhnya agar makan lebih dulu. Aurora hanya ingin melihat Skala membuka matanya.
"Sayang..."
Aurora sama sekali tidak menoleh saat Lythia mengelus pundaknya. Matanya hanya tertuju pada Skala yang masih tidak sadar.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua, karena dokter membatasi orang yang masuk untuk menjenguk pasien. Beberapa keluarga menunggu di depan ruang rawat Skala, seolah sedang memberi waktu untuk Aurora agar bisa melihat suaminya.
"Ayo makan dengan Mommy. Mommy lapar, Sayang. Mommy tidak mau makan jika kamu tidak makan," ujar Lythia memelas.
Aurora menatap wajah ibunya. "Benarkah? Aku tidak lapar, Mommy. Harusnya Mommy makan dengan kakak tadi," balasnya merasa bersalah..
Lythia menggeleng. "Kamu tau? Perasaan seorang ibu tidak akan tenang jika melihat anaknya belum makan. Itu yang Mommy rasakan sekarang, Sayang." Ia mengelus kepala Aurora dengan sayang. Bibirnya berusaha tersenyum meski tak tega melihat betapa kacaunya sang putri.
Aurora terdiam, dia beralih menatap Skala yang masih menutup mata, lalu ia menatap Lythia lagi.
"Baiklah, hanya sebentar, ya?"
Lythia mengangguk cepat. "Iya. Tunggu, Mommy ambilkan makanannya." Buru-buru Lythia ke luar untuk mengambil makanan yang dibeli Charlie tadi.
Aurora mencium kening suaminya sebelum beranjak menuju sofa yang ada di ruangan itu. Seketika dia merasa jauh dari Skala. Padahal jaraknya hanya lima meter dari ranjang ke sofa.
"Makanan datang~" Lythia berseru kecil dengan wajah sumringah. Dia langsung duduk di sebelah Aurora dan membuka kotak yang dia bawa.
"Mommy suapi, ya?"
Aurora mengangguk saja. Dia minum air lebih dulu sebelum menerima suapan dari Lythia.
Tidak ada perbincangan di antara mereka. Lythia memang tidak berniat mengajak Aurora bicara agar bisa makan dengan cepat. Sedangkan Aurora juga tidak tau harus bicara apa, matanya hanya tertuju pada Skala.
"Kamu harus tetap sehat, Sayang. Kalau nanti Skala bangun dan melihat kamu kelaparan, dia pasti akan marah. Kamu mau melihat Skala marah?"
Aurora menggeleng. Hal itu membuat Lythia tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus makan yang banyak. Mommy juga kupas kan buah untuk kamu tadi. Habiskan semuanya, ya?"
Aurora mengangguk lagi. Dia benar-benar menurut, meski matanya terus tertuju pada sang suami.
Tak sampai sepuluh menit, makanan yang dibawa Lythia sudah habis tak tersisa. Aurora juga tidak sadar jika sedari tadi hanya dirinya yang makan. Padahal rencana awalnya hanya menemani Lythia untuk makan bersama.
"Selesai! Pintar anak Mommy." Lythia mencium kening Aurora.
Aurora tersenyum tipis. Dia senang melihat mommy nya tersenyum.
"Kalau begitu—"
Perkataan Lythia terpotong ketika terdengar suara dari ranjang Skala. Sontak saja kedua wanita itu terbelalak kaget saat melihat Skala kejang-kejang. Aurora berlari menghampiri suaminya dan menangis memanggil-manggil nama Skala. Sedangkan Lythia ke luar dan memanggil dokter.
"Skala! Bangun! Ini aku! Kamu kenapa?!" Aurora menangis keras dan memeluk suaminya, berusaha membuat Skala tenang. Tapi, tubuh pria itu tetap kejang-kejang.
"Skala, tolong jangan seperti ini..." Aurora terisak keras.
Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke luar dari ruangan dan dokter langsung menangani Skala.
"Skala!" Aurora menggapai-gapai udara seolah menggapai tangan Skala.
Setelah pintu tertutup, Thomas memeluk Aurora dengan erat. Dia menyembunyikan wajah Aurora di dada bidangnya agar tidak melihat ke arah pintu.
"Ssstttt ... tenang, Baby. Dia pasti akan baik-baik saja," bisiknya tapi tidak mempan.
Untung saja tidak ada Evanda di sana, karena wanita itu sudah pulang. Di sana hanya ada Javas dan putra pertamanya, Robert serta keluarga Alessandro yang lain.
"Tidak, aku ingin melihat Skala. Lepas!" Aurora memberontak, tapi tenaganya tidak cukup untuk melawan Thomas. Akhirnya Aurora terkulai dalam pelukan kakaknya. Tubuhnya hendak luruh ke lantai, tapi Thomas mengeratkan pelukannya.
"Skala..." Aurora terisak kecil. Dia benar-benar lemas sekarang.
Thomas terus membisikkan kata-kata penenang untuk adiknya. Sedangkan Charlie berdiri di sisinya sambil membawa sebotol air untuk Aurora.
Semuanya terlihat kacau dan khawatir, bukan hanya Aurora saja. Terutama Javas, matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis, tapi dia tahan.
"Pelakunya sudah ketemu?" tanyanya pada Robert.
Robert melirik Archie sebentar sebelum menjawab. Dia memang sempat ikut menyelidiki dalang di balik kecelakaan Skala bersama Thomas dan Archie.
"Sudah," jawabnya pelan.
Jantung Javas berdetak kencang saat mendengar jawaban dari Robert.
"Siapa?"
Robert menghela nafas berat. "Daddy mengenalnya."
"Siapa?" Javas mengulangi, kali ini terdengar penuh penekanan.
Tak langsung menjawab, Robert mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto seseorang.
Deg!
bersambung...
lanjuuuut