Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Leo Wijaya
Yayasan itu dulu berdiri tegak, stabil, dan tumbuh cepat di tangan Radit. Namun belakangan, ada yang berubah. Laporan keuangan mulai tidak sinkron. Dana operasional yang seharusnya cukup, tiba-tiba menipis sebelum waktunya. Proyek-proyek sosial tertunda. Keluhan dari tim lapangan datang silih berganti.
Radit menggelengkan kepala berkali-kali di ruang kerjanya, mencoba menata ulang pikirannya yang kacau.
"Semua laporan terlihat rapi. Tapi feeling aku nggak enak, Nauval."
Nauval mengangguk. "Aku bakal turun langsung. Aku selidiki dari dalam. Mungkin ada kebocoran."
Beberapa hari berlalu.
Nauval menyamar sebagai konsultan eksternal. Ia datang ke salah satu proyek lapangan, berinteraksi dengan staf, memeriksa logistik, mencocokkan laporan dan dokumen. Ia tidak mencari kesalahan mencolok. Ia mencari celah yang disembunyikan.
Tapi, semuanya terlalu rapi. Terlalu sempurna. Dan justru itu yang mencurigakan.
Ia menelusuri pengadaan barang, transaksi vendor, dan distribusi dana. Setiap data terlihat sah. Tersusun rapi. Sudah diaudit. Tak ada cacat, tak ada celah, seolah seseorang tahu persis di mana harus menyembunyikan jejak.
"Gila," desah Nauval malam itu di hadapan Radit. "Ini kerjaan orang dalam. Orang yang ngerti banget cara kerja sistemnya."
Radit terdiam, mencoba menahan gejolak di dadanya.
"Kamu pikir ini ... ulahnya mama?"
Nauval menghela napas panjang. "Aku nggak punya bukti, Dit. Tapi iya. Feeling-ku kuat banget. Dan dia melakukannya dengan cara yang sangat bersih. Apalagi Bu Widya sempat menaungi yayasan ini. Dan masalahnya juga bermunculan sejak Bu Widya keluar dari penjara."
Di luar sana, yayasan perlahan kehilangan kepercayaan publik. Beberapa mitra mulai menarik diri. Para pekerja gelisah. Dan di tengah keruntuhan yang diam-diam menjalar itu, tak ada yang sadar. Pion-pion milik Bu Widya telah menempati posisi yang tepat. Tanpa suara. Tanpa jejak.
Ponsel Radit bergetar. Nama Rumi muncul di layar.
"Halo, Sayang. Tumben nelfon? Ada—"
Suara di seberang bukan suara Rumi. Radit langsung membeku.
"Pak Radit! Ini saya, Bi Yani! Cepat pulang, Pak. Ibu pendarahan!"
Detik itu juga jantung Radit seperti berhenti berdetak. "Apa?! Pendarahan?"
"Iya, Pak. Saya nggak tau harus gimana. Ibu tadi bilang perutnya sakit banget, terus—terus ... keluar darah, Pak ... banyak!"
Radit langsung berdiri, kursinya terjungkal ke belakang. "Bawa dia ke rumah sakit sekarang! Jangan tunggu saya!"
"Kenapa, Dit? Rumi kenapa?" tanya Nauval ikutan panik.
"Rumi pendarahan, Val. Aku harus ke rumah sakit. Kamu di sini, gantiin aku sementara waktu. Bila perlu, kosongkan semua meeting dan agenda."
"Baik, Dit. Serahkan padaku!"
Tanpa menunggu lama, Radit melesat keluar kantor. Tangannya gemetar di setir, otaknya berisik oleh jutaan kemungkinan buruk.
"Ya Allah, jangan sekarang. Jangan ambil mereka. Rumi, bertahan, Sayang. Aku di jalan."
Radit berlari ke arah IGD. Di sana, Bi Yani berdiri bersama Arif, supir di rumah yang tadi mengantar mereka ke rumah sakit.
"Pak ...."
"Di mana Rumi? Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Bu Rumi dibawa ke ruang operasi, Pak. Kandungannya melemah. Dokter akan melakukan tindakan darurat untuk menyelamatkan keduanya."
...****************...
Radit mondar-mandir di depan ruang operasi, wajahnya pucat. Tangan kirinya menangkup mulut, sementara tangan kanan mengepal di sisi tubuh. Nauval datang tergesa, langsung menghampiri.
"Belum ada kabar?"
Radit hanya menggeleng. Matanya memerah. "Bi Yani bilang Rumi sempat ke dapur. Mungkin makan sesuatu yang basi. Dia nggak bilang apa-apa pas tadi pagi."
Tak lama kemudian, seorang dokter laki-laki dengan jas putih keluar dari ruang operasi. Wajahnya tenang, tapi serius. Radit segera menghampiri.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?"
Dokter itu mengangguk pelan. "Operasi berjalan lancar. Istri Anda selamat. Tapi tadi ada pendarahan cukup hebat akibat keracunan makanan. Itu memicu kontraksi dan memaksa kami untuk segera mengeluarkan bayinya."
"Anak saya ...?" suara Radit terdengar gemetar.
"Putra Anda lahir dengan berat 2,4 kilogram. Secara medis, itu termasuk cukup baik. Meskipun lahir di usia 34 minggu, masih masuk kategori preterm, tapi ringan. Tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi untuk berjaga-jaga, kami tempatkan di inkubator selama beberapa hari. Tujuannya agar fungsi pernapasan dan suhu tubuhnya bisa distabilkan."
Radit mengangguk cepat, menahan napas lega.
"Bisa saya lihat mereka?"
"Bu Rumi masih dalam tahap pemulihan anestesi. Tapi Anda bisa lihat bayi Anda sebentar dari ruang NICU."
Dokter menunjuk ke arah lorong kanan. Radit berjalan cepat, setengah berlari.
Sementara itu, Nauval berdiri di tempat yang sama. Ia mengeluarkan ponsel, memberi kabar kepada Novi.
Dengan langkah tergesa namun hati-hati, Radit berjalan mengikuti perawat melewati lorong rumah sakit menuju ruang NICU. Wajahnya tegang, matanya sembap karena kurang tidur dan terlalu banyak rasa takut yang ditahan.
Perawat menunjuk ke salah satu inkubator.
"Ini, Pak. Bayi Ibu Rumi."
Radit mendekat perlahan. Di dalam inkubator, bayi mungil itu terbaring tenang, tubuhnya dibalut selimut lembut, wajahnya kecil, matanya terpejam damai. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya, namun detak jantungnya stabil.
Radit menatap dengan mata berkaca-kaca. Ia menyentuh kaca inkubator dengan ujung jari. Perlahan, takut menyakiti walau hanya dengan niat.
"Hai, Nak. Ini Papa." Suaranya pelan, bergetar. "Maaf ya, kamu harus lahir dengan cara yang berat. Tapi kamu kuat. Sama seperti Mama kamu."
Tak ada suara balasan, hanya bunyi mesin pemantau dan napas bayi yang teratur. Tapi Radit tahu, ada ikatan yang mulai tumbuh di detik itu juga.
...****************...
Beberapa jam setelah operasi, Rumi perlahan membuka matanya. Cahaya lampu kamar rumah sakit terasa lembut, dan suara monitor jantung berdetak pelan jadi satu-satunya yang terdengar jelas. Ia mengerjap pelan, mencoba memahami di mana ia berada.
Radit yang sejak tadi duduk di samping ranjang, langsung mendekat saat melihat istrinya sadar.
"Rumi. Sayang, kamu sudah sadar?"
Rumi menoleh lemah, mencoba tersenyum meski tubuhnya masih terasa lelah dan nyeri. "Mas, bayinya?"
Radit menggenggam tangan Rumi erat-erat, lalu mengecup punggungnya.
"Alhamdulillah, kamu dan bayi kita selamat. Dia lahir kuat, Rum. Sekarang masih di inkubator, tapi dokter bilang kondisinya stabil."
Rumi mengembuskan napas lega. Air mata menggenang di matanya. "Aku sempat takut banget, Mas."
Radit membelai rambutnya yang sedikit berantakan. "Aku juga. Tapi kamu hebat, Rum. Kamu luar biasa. Kamu menyelamatkan anak kita."
"Boleh aku lihat?" bisik Rumi.
Radit mengangguk. "Nanti. Begitu kamu cukup kuat, kita ke NICU bareng. Tapi aku sempat videoin tadi."
Ia mengeluarkan ponselnya dan memutar video singkat. Rumi melihat bayinya. Kecil, mungil, tapi hidup. Matanya tak kuasa menahan tangis.
"Itu ... anak kita?" ucapnya terisak.
Radit tersenyum. "Iya. Dan dia mirip kamu. Tapi dagunya dapet dari aku, kayaknya."
Rumi tertawa kecil di sela air mata. "Udah punya nama?"
Radit menatapnya dalam, lembut. "Kalau kamu setuju, bagaimana kalau namanya Leo? Leo Wijaya? Karena dia berani dan kuat."
Rumi mengangguk pelan. Matanya kembali basah, kali ini karena haru.
"Leo Wijaya ...." Ia mengulang pelan, seolah merasai setiap suku kata. "Indah banget, Mas."
Radit mengecup keningnya. "Sama seperti kamu."
kapal ku gak boleh karammmm!!/Sob/