NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENANTIAN CINTA HALAL

Cahaya lampu gantung kuning redup menyinari ruang tengah.Bayu membuka pintu rumah, tepat pukul 21.00.

Bayu langsung mengambil air wudu, dan lansung menggelar sajadah di ruang salat. Bayu duduk tenang di atas sajadah, mengulang hafalan Qur’an dengan suara lirih namun mantap. Suasana tenang. Angin malam berhembus pelan dari ventilasi atas.

Tak lama, langkah kaki Azela terdengar dari arah kamar. Ia muncul membawa mushaf kecil berwarna coklat tua dan duduk agak jauh dari Bayu. Wajahnya tampak ragu-ragu, namun ia memberanikan diri bicara.

“Mas Bayu…”

Hmm?”

Bayu menoleh sekilas, lalu kembali menunduk menyimpan hafalan.

“Aku… mau minta tolong. Bisa ajari aku baca Al-Qur’an?” ucap Azela hati-hati. “Aku pengen belajar dari awal. Dari surah Al-Fatihah.”

Bayu terdiam sejenak. Lalu, dengan gerakan perlahan, ia mengambil sajadah cadangan dan menggelarnya di seberang Azela.

“Buka mushafmu.” suaranya datar, tanpa tatapan, namun tetap terjaga dalam adab.

Azela menuruti. Hatinya berdesir, bukan karena sikap manis, tapi justru karena wibawa Bayu yang tak bisa ditembus.

“Baca,” ujar Bayu singkat.

Azela mulai membaca Al-Fatihah dengan suara lembut. Sedikit gugup. Beberapa tajwidnya terdengar keliru.

Bayu tak langsung memotong. Ia biarkan Azela selesai. Baru kemudian suaranya terdengar.

“Ulang. Yang benar bukan ‘ghoiril’, tapi ‘ghairil’. Huruf ‘ghain’, bukan ‘kho’. Panjang mad-nya juga kurang. Bacanya, jangan terburu-buru. Dengarkan, Mas contohkan.”

Bayu membacakan satu ayat dengan pelafalan sempurna, nada tartil, dan suara tegas namun terkontrol. Azela terdiam. Suara itu, meski terdengar dingin, menenangkan jiwanya.

Ia mengangguk.

“Baik, Mas. Aku ulang.”

Azela mencoba lagi. Membaca perlahan. Bayu terus mengoreksi dengan sabar, namun tanpa intonasi lembut atau sentuhan emosi. Ia benar-benar hanya menjalankan tugasnya sebagai pengajar.

Setelah beberapa kali pengulangan, Azela menutup mushaf dan berkata pelan:

“Terima kasih, Mas...”

Bayu hanya mengangguk. Lalu ia bangkit dari duduknya.

“Kalau mau lanjut, besok pagi. Jam empat. Saya biasanya murajaah habis tahajud. Kamu boleh ikut, asal konsisten.”

“Iya, Mas...” jawab Azela dengan nada lembut.

Bayu pun berjalan kembali ke kamarnya. Sementara Azela masih duduk, menatap mushaf yang baru saja ia baca. Tak ada pelukan, tak ada belaian, tak ada senyum. Tapi di balik semua itu… ada ruang kecil di hatinya yang hangat.

Angin dini hari menyusup lembut dari sela jendela kaca. Jam menunjuk pukul 03.40. Rumah masih sunyi, hanya terdengar detak jarum dinding.

Azela membuka pintu kamar perlahan. Tubuhnya terlihat lemas karena mual semalam, tapi tekadnya menguat. Ia menyelimuti tubuhnya dengan mukena, lalu melangkah pelan ke ruang salat.

Bayu sudah ada di sana. Berdiri tegak menghadap kiblat. Matanya terpejam khusyuk, mulutnya melantunkan doa-doa panjang setelah rukuk. Di belakangnya, sajadah tambahan sudah tergelar. Seolah Bayu memang menyiapkannya.

Azela ikut berdiri. Salat tahajud mereka berjalan tenang. Berdua. Tanpa suara, tanpa bicara.

Usai tahajud, Bayu tetap duduk dalam posisi tawarruk. Tangannya mengambil Al-Qur’an dan ia mengangguk singkat ke arah mushaf milik Azela.

“Buka,” ucapnya.

Azela duduk berjarak. Tangannya membuka lembaran mushaf. Tapi sebelum ia mulai membaca, suara Bayu terdengar pelan namun dalam.

“Zela…”

Azela mengangkat wajahnya gugup. Belum sempat Azela menyahut,Bayu sudah melanjutkan ucapannya.

"Bukankah hari ini, usia kandunganmu genap empat bulan..?"

Azela tertegun, lalu mengangguk.

"Kamau tahu...? Diusia kandungan empat bulan, di mana menurut ajaran Rasulullah, ruh ditiupkan ke janin dalam kandungan."

Bayu menoleh pelan ke arah Azela, lalu kembali melanjutkan, bicaranya, walau tetap dengan nada datar.

“Maju sedikit, aku bacakan doa untuk anakmu.”

Azela tertegun. Matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan, lalu menyilangkan tangan di atas perutnya yang mulai membesar.

Bayu duduk bersila. Wajahnya menunduk dengsn khusyuk melafazkan doa.

“Allâhumma aj‘alhu dzurriyyatan thayyibah.”

Ya Allah, jadikanlah ia anak keturunan yang baik.

“Allâhumma aj‘alhu ‘âliman bi dînik, hâfizhan li kitâbik, wa mubârak[an] fîhi wa fî ‘umrih.”

Ya Allah, jadikanlah ia orang yang paham agama-Mu, penjaga kitab-Mu, dan berkahilah ia dan usianya.

“Allâhumma shabbirnî ‘alayhî wa shabbirhû ‘alayy.”

Ya Allah, karuniakan lah kesabaran untukku dalam membesarkannya, dan jadikan ia sabar padaku.

Suara Bayu tidak berubah, tetap berat dan stabil. Namun pada kalimat terakhir, suaranya sedikit tertahan. Ia menutup mushaf, lalu menatap Azela.

“Mulai malam ini, biasakan dengarkan Al-Qur’an sebelum tidur. Ajak dia bicara yang baik-baik. Anakmu sudah bisa mendengar.”

Kalimat itu singkat, tapi menusuk jauh ke hati Azela.

Ia menunduk. Matanya basah, dan air mata jatuh ke lipatan tangan.

“Terima kasih, Mas…” ucapnya pelan.

Bayu mengangguk.

“Dan saat seorang perempuan mengandung, maka setiap hembus napasnya adalah ibadah. Tapi hanya kalau ia niatkan karena Allah. Di zaman Rasulullah, para istri salihah menjadikan masa hamil mereka sebagai kesempatan emas untuk mendidik sejak dalam rahim."

Azela diam. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Kalau ingin anakmu menjadi anak salih atau salihah, maka kamu harus jaga ucapan, makanan, pikiran. Jangan banyak mengeluh. Perbanyak dzikir. Perbanyak shalawat. Bacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Jangan dengar musik yang tak bermanfaat. Jangan menonton yang tak ada nilai... dan jangan membuka aib, sekecil apapun.”

Bayu menutup mushafnya dan melanjutkan.

“Anak itu akan mendengar sejak dalam kandungan. Ia akan mengenal apa yang kamu cintai dan siapa yang kamu taati. Maka jadikan Allah sebagai yang utama. Bukan manusia.”

Azela menunduk. Setetes air mata jatuh di mushafnya. Ia menyeka diam-diam.

“Maafkan aku, Mas... aku belum jadi ibu yang baik bahkan sejak awal...” lirihnya.

Bayu diam. Ia tak memberi pelukan, tak memberi belaian. Hanya suara dingin dan tegas.

“Masih ada waktu. Tapi waktu tak menunggu siapa-siapa.Kecuali kamu berusaha”

Azela menggigit bibirnya, menahan tangis. Dalam hening itu, ia mulai membaca Al-Fatihah perlahan. Suaranya bergetar, tapi penuh niat.

Bayu mengoreksi dengan tenang, sesekali memberi contoh, tetap menjaga jarak dan adab. Tak ada hal romantis di antara mereka, hanya satu ruang kecil bernama hidayah yang mulai tumbuh dalam hati Azela.

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!