" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Ria duduk termenung di balkon rumahnya, matanya menatap kosong ke arah langit senja yang mulai meremang. Angin sore berembus pelan, membawa aroma melati dari taman kecil di halaman rumah. Tapi ketenangan itu terasa semu. Sejak surat misterius itu datang kemarin sore, pikirannya terus diganggu tanya—siapa yang menggugatnya, dan untuk apa?
Tangannya kembali meraih surat bercap hukum itu yang tergeletak di atas meja. Ia membacanya lagi, untuk kesekian kali. Gugatan perdata atas tuduhan "penggelapan dana perusahaan". Tidak ada nama penggugat, hanya tercantum "kuasa hukum penggugat", dan permintaan untuk hadir dalam mediasi awal minggu depan.
Julio, sahabatnya yang kini menjadi tangan kanannya di perusahaan, belum bisa menjawab siapa yang bisa punya niat jahat seperti ini. Semua laporan keuangan sudah diaudit dengan sempurna. Tidak ada celah. Tapi seseorang jelas ingin menjatuhkannya. Dan Ria tahu, ini bukan sekadar soal uang.
Pikirannya melayang ke Andre. Pria itu baru saja melamarnya, dengan cara yang sederhana tapi penuh ketulusan. Namun, Ria belum sempat memberi jawaban. Hatinya terlalu kusut. Bagaimana bisa ia menyambut cinta ketika masa lalunya kembali menampar dengan cara sekejam ini?
Ponselnya bergetar. Pesan dari Andre.
> “Aku di dekat rumah. Kalau kamu ingin bicara, aku tunggu di taman kota. Aku tahu kamu lagi banyak pikiran.”
Ria menggigit bibir bawahnya. Andre selalu tahu cara menenangkan hatinya—dan itu yang membuatnya takut. Ia tak ingin Andre ikut terseret ke dalam badai yang mungkin akan datang lebih besar.
---
Sementara itu, di rumah kontrakan kecil yang Riyan sewa untuk Winda, suasana tak kalah panas. Winda sedang duduk di sofa dengan mata sembab, sementara Riyan mondar-mandir seperti orang kalap.
"Jadi... kamu bilang kamu hamil?" tanya Riyan, matanya tak percaya.
"Aku nggak bohong, Yan. Ini hasil tesnya!" Winda menyodorkan test pack yang garis dua itu sudah mulai pudar warnanya, tapi masih jelas terbaca.
Riyan memijat pelipis. "Winda, kamu tahu kita ini... kacau. Aku belum cerai, hidupku lagi berantakan, dan kamu muncul dengan kabar begini?"
Air mata Winda mengalir lagi. "Maaf kalau aku salah. Aku juga nggak minta hamil. Tapi... aku pikir kamu akan bertanggung jawab."
Nada suara Winda terdengar pelan dan rapuh, namun matanya menyimpan sorot tajam. Ia tahu cara memainkan rasa bersalah Riyan. Ia tahu Riyan terlalu lemah untuk menghadapinya dengan tegas.
"Aku akan tanggung jawab... tapi kamu harus sabar. Jangan bawa ini ke mana-mana dulu. Jangan kasih tahu siapa-siapa, apalagi ibuku," ucap Riyan akhirnya.
Winda hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia sudah tahu langkah berikutnya. Ia akan mengikat Riyan dengan anak ini. Bahkan jika harus berbohong, ia siap.
---
Di sisi lain kota, Bu Lila dan Putri tengah duduk di ruang tamu rumah mewah keluarga Mahardika. Wajah Bu Lila tampak serius. Putri, seperti biasa, memainkan rambutnya sambil tersenyum sinis.
"Jadi dia benar-benar hamil?" tanya Bu Lila pelan.
"Menurut kabar yang aku dapat dari tetangganya, iya. Tapi belum jelas sudah berapa lama," jawab Putri.
Bu Lila menghela napas panjang. "Bodoh sekali anak itu. Kukira dia hanya main-main, ternyata malah menjerumuskan diri sendiri."
"Tenang, Tante. Kita bisa pakai ini buat singkirin dia. Kalau perlu, kita buat dia terlihat gila. Atau kita tarik bukti bahwa kehamilannya itu bukan dari Riyan."
Mata Bu Lila menyipit. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Putri mengangguk. Ia sudah menyiapkan skenario: menyebar gosip, membayar dokter untuk menyatakan kehamilan Winda bermasalah, atau bahkan menyewa orang untuk menguntit Winda dan memancingnya ke jebakan.
"Semua ini demi masa depan Riyan," bisik Bu Lila pada dirinya sendiri, membenarkan rencana jahatnya.
---
Sore itu, di taman kota, Ria duduk di bangku tua yang menghadap kolam kecil. Andre datang dengan kemeja santai dan senyum tulusnya yang hangat.
“Terima kasih sudah mau ketemu,” katanya sambil duduk di sebelah Ria.
Ria menarik napas panjang. "Aku harus jujur, Andre. Aku bukan wanita yang kamu kira. Aku punya masa lalu yang rumit, dan sekarang aku mungkin akan menghadapi gugatan hukum."
Andre tak terlihat kaget. Ia hanya menatap Ria, lalu berkata, "Aku tahu kamu bukan wanita biasa, Ria. Aku tahu kamu menyembunyikan banyak hal. Tapi itu nggak mengubah perasaanku."
Ria menoleh cepat, matanya membulat. "Kamu tahu?"
Andre mengangguk. “Julio pernah bicara. Tentang siapa kamu sebenarnya. Tentang perusahaanmu, tentang bagaimana kamu menyembunyikan identitasmu saat menikah dulu. Aku tahu semuanya.”
Ria terdiam, dada sesak. Ia merasa telanjang di depan pria itu. Tapi sekaligus, ada rasa lega.
"Aku mencintaimu karena siapa kamu sekarang. Bukan karena kamu kaya, bukan karena masa lalumu. Tapi aku perlu tahu satu hal: kamu masih ingin melanjutkan hidupmu dengan cara lama, atau kamu mau membuka lembaran baru bersamaku?"
Ria menggigit bibir. Hatinya bergemuruh. Tapi ia tahu, jika ia terus berlari, tak akan ada akhir. Ia menatap mata Andre dalam-dalam. “Aku takut, Andre. Bukan soal masa lalu, tapi soal orang-orang yang ingin menghancurkan aku.”
Andre menggenggam tangannya. “Kalau kamu izinkan, aku akan jadi orang pertama yang berdiri di depanmu.”
Air mata Ria menetes perlahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri.
---
Malam itu, di kamar Winda, wanita itu duduk di depan cermin. Ia memandangi bayangannya yang tampak lelah, tapi senyumnya masih tersisa. Ia tahu permainannya belum selesai. Tapi dia juga tahu, waktu sedang berjalan cepat.
“Riyan nggak akan bisa pergi dariku. Bukan sekarang. Bukan setelah ini,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari nomor tak dikenal.
> “Kami tahu kamu hamil. Hati-hati, kamu bisa kehilangan segalanya.”
Winda menegang. Matanya menyipit membaca pesan itu. Tapi detik berikutnya, ia tersenyum tipis.
“Permainan dimulai,” bisiknya.
---
Di tempat lain, Julio masuk ke ruang kerja Ria sambil membawa setumpuk berkas. "Aku nemu sesuatu aneh."
Ria yang baru pulang dari pertemuan dengan Andre, langsung berdiri. “Apa itu?”
"Ada transaksi dari akun perusahaan lama yang nggak pernah kamu pakai lagi. Dan itu dilakukan seminggu sebelum kamu kembali memegang kendali."
“Siapa yang melakukannya?”
Julio menatapnya lekat. “Kalau dugaanku benar… ini ada hubungannya dengan Putri.”
Setelah Andre pulang, Ria masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Ia melepaskan cardigan tipisnya dan duduk di tepi ranjang. Pikirannya berputar cepat. Menerima Andre berarti membuka kembali luka, membuka pintu yang telah lama ia kunci rapat. Tapi menolaknya? Entah apakah ia sanggup melepas pria yang mampu membuatnya merasa hidup kembali.
Ia membuka laptopnya. Julio sudah mengirimkan scan dokumen yang mencurigakan itu. Ada transfer dana dalam jumlah besar dari salah satu sub-akun perusahaan lama yang dulu dipegang oleh Putri saat masih jadi staf senior. Masalahnya, sub-akun itu seharusnya sudah ditutup. Tapi entah bagaimana, bisa aktif kembali.
"Putri..." gumamnya. Wajah wanita licik itu terbayang jelas di benaknya. Dendamnya belum usai rupanya. Mungkinkah surat gugatan itu berasal dari pihak yang digerakkan oleh Putri?
Ria mengetik cepat, mengatur pertemuan darurat keesokan pagi dengan tim hukum perusahaannya. Ia tak bisa diam. Jika ini adalah awal perang, maka ia harus jadi panglima pertama yang turun ke medan.
---
Sementara itu, Putri sedang berdiri di depan jendela apartemen sewaannya. Ia memegang sebotol wine dan menatap lampu kota dengan senyum miring.
“Ria, Ria… Kamu pikir kamu bisa hidup tenang setelah mempermalukanku? Kamu ambil semuanya dari aku—kerjaanku, reputasiku. Sekarang, giliranku.”
Ia melirik berkas fotokopi dari surat gugatan yang telah dikirim ke Ria. Nama kuasa hukum memang palsu, tapi dokumen itu sah secara formal. Ia hanya perlu menggiring opini, memunculkan keraguan, dan membuat Ria kehilangan kredibilitas. Bahkan kalau gugatan itu gagal, citra Ria sudah lebih dulu tercoreng.
Putri lalu mengirim pesan ke salah satu kontaknya.
> “Lanjutkan fase kedua. Serang di media sosial. Bikin buzz soal dugaan korupsi pemilik baru PT Sahabat Tumbuh. Gunakan akun-akun buzzer.”
Ia lalu meneguk wine-nya sambil tertawa pelan. “Mari kita lihat seberapa tangguh kamu sebenarnya, Nyonya Suci.”
---
Di malam yang sama, Riyan duduk di dalam mobil, tak sanggup menatap rumah yang baru saja ia tinggalkan. Winda menangis keras ketika ia pamit. Ia bahkan sempat mengatakan, “Kalau kamu tinggalin aku sekarang, aku nggak tahu apa aku bisa tetap waras.” Kalimat itu terus bergema di kepala Riyan.
Ia menyalakan rokok dan menunduk. Ia mencintai Winda? Entahlah. Yang ia tahu, Winda memberinya pelarian. Tapi sekarang pelarian itu berubah menjadi jebakan berduri. Dan ia, seperti laki-laki bodoh, terperangkap di dalamnya.
Namun, ada suara dalam hatinya yang mulai memberontak. Suara itu berkata bahwa ia harus keluar sebelum semuanya terlambat—bahwa bayi dalam kandungan Winda mungkin bukan satu-satunya alasan Winda mempertahankan hubungan ini.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal:
> “Kamu percaya dia? Kamu pikir dia satu-satunya korban?”
Riyan terdiam. Dadanya bergemuruh. Apakah ini peringatan? Atau sebuah jebakan lain?
---
Di tempat berbeda, Bu Lila duduk di kamar pribadinya, memandangi foto pernikahan Riyan dan Ria yang dulu masih terpajang rapi di meja. Ia tak pernah menyukai Winda. Tapi lebih dari itu, ia merasa Winda adalah aib yang bisa menghancurkan nama keluarga mereka.
Ia lalu membuka laci kecil di bawah meja riasnya, mengeluarkan buku catatan tua milik almarhum suaminya. Ada sesuatu di dalamnya—data dan informasi saham yang pernah dialihkan ke nama Ria sebagai pengaman ketika perusahaan mereka hampir bangkrut dulu.
Seketika, mata Bu Lila menyala.
“Jadi... dia sebenarnya masih punya pengaruh di sini.”
Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena ia tahu, Ria bukan hanya mantan istri Riyan. Ria masih punya taring. Dan taring itu kini mulai mengarah ke keluarganya lagi.