ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33: Kekecewaan Elina
Hari itu berjalan lambat.
Setidaknya, begitu yang dirasakan Elina. Ia sedang berdiri di depan kelas, namun pikirannya nyaris tidak bisa fokus sepenuhnya. Suara-suara anak-anak, coretan kapur di papan tulis, semuanya terasa seperti latar yang jauh, kabur... karena ada satu hal yang sejak pagi memenuhi pikirannya:
Adrian.
Pagi tadi, mereka hampir terjebak dalam momen yang lebih dari sekadar kebersamaan biasa. Sebuah momen yang begitu dekat, begitu menggoda, namun akhirnya buyar karena panggilan polos dari Claire.
Dan sekarang, saat Elina berdiri di depan murid-muridnya, dengan senyum tertahan di bibir, pipinya kembali memanas mengingat tatapan Adrian... suara beratnya yang berbisik... dan permintaan tak terucap yang tertahan di ujung ciumannya.
Elina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia bahkan tak sadar ketika salah satu anak mengangkat tangan memanggilnya.
"Bu Elina? Soalnya yang nomor lima... bingung...?"
"Oh... ya. Maaf, sayang. Mari Ibu jelaskan lagi," sahutnya gugup.
...****************...
Sementara itu, jauh di lantai 28 kantor Leonhart Group, Adrian duduk di ruang rapat kaca yang menghadap kota. Presentasi strategi ekspansi sedang berlangsung, grafik demi grafik ditampilkan di layar... tapi pikirannya tidak di sana.
Ia mencoba mencatat, mencoba memusatkan perhatian, tapi semuanya berakhir dengan ia menatap kosong pada halaman kosong di notepadnya. Tangannya memutar pena, dan tatapannya seringkali jatuh ke layar ponsel di sampingnya.
Satu foto terpampang di sana: Elina dan Claire tertidur di sofa, dengan kepala kecil Claire bersandar di pangkuan ibunya.
Damn.
"Pak Adrian?" suara tajam sang kepala strategi menghentikan alur rapat. Semua mata kini tertuju padanya.
Adrian mengerjap. "Maaf. Ulangi bagian terakhir."
Ada jeda hening. Beberapa eksekutif bertukar pandang, hal yang aneh terjadi. Adrian Leonhart tidak pernah kehilangan fokus seperti ini. Ia biasanya tajam, cepat, dan... nyaris tak bisa diganggu.
Kecuali, tentu saja, satu orang yang kini menyeringai dari sudut ruangan. Samuel, sahabat lamanya yang kini menjabat sebagai penasihat khusus, menyilangkan tangan di dada sambil menggeleng pelan.
Setelah rapat selesai dan semua mulai berkemas, Samuel menyusul Adrian yang berjalan menuju ruangannya.
"Aku kenal kamu dari zaman kita masih pakai jas dua kali lipat lebih besar, bro," ujar Samuel sambil menyikutnya. "Dan dari semua versi Adrian Leonhart yang pernah aku lihat... yang barusan itu bukan CEO. Itu suami muda yang lagi kesengsem sama bini sendiri."
Adrian mendesah berat. "Aku bahkan tadi hampir tanda tangan kontrak tanpa baca ulang. Fokusku... parah."
Samuel tertawa. "Jangan bilang kamu lagi mikirin sisa tadi malam?"
Adrian hanya bisa tersenyum getir mendengar ledekan dari sahabatnya.
Samuel mengangkat alis. "Wah, bahaya. Kamu jatuh terlalu dalam."
Adrian tidak menjawab. Ia hanya menatap jendela besar ruangannya, memandangi langit yang mulai memerah di ufuk barat.
Ya, aku jatuh. Dalam. Terlalu dalam. Dan rasanya... tidak mau keluar lagi.
...****************...
Senja telah menyentuh pekat saat Elina dan Claire tiba di rumah.
Udara malam terasa hangat, langit menebarkan warna keemasan terakhir sebelum gelap. Claire langsung berlari ke ruang tamu, mengambil boneka kelincinya dan mulai bermain dengan puzzle, sementara Elina melepas tasnya dan bergegas ke dapur.
Ia tidak pernah pandai memasak makanan mewah, tapi malam ini berbeda. Ia ingin sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang akan dikenang. Sup krim hangat dengan roti buatan sendiri, salmon panggang lemon-herb, dan salad buah segar, semuanya tertata indah di atas meja dengan lilin di tengahnya.
Malam ini, ia ingin menjadi versi terbaik dari dirinya, bukan sekadar istri kontrak, bukan hanya ibu Claire, tapi wanita yang mencintai dan ingin dicintai. Wanita yang berani mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang besar.
Claire telah selesai makan, cuci tangan, dan tidur lebih awal setelah mandi. Elina menyelimutinya di kamar, mencium keningnya lembut, lalu kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdegup.
Ia mengenakan lingerie tipis berwarna merah muda pucat, salah satu dari koleksi pemberian Nenek Elizabeth yang disembunyikan rapi di laci terdalam. Di luar dugaannya, pakaian itu tak hanya membentuk tubuhnya, tapi juga membuatnya merasa... hidup. Cantik. Dan, untuk pertama kalinya, diharapkan.
Elina melirik jam. Hampir pukul sembilan malam.
Ia menyalakan lilin-lilin kecil di meja makan. Cahaya temaram menyebar pelan, menciptakan suasana intim. Makanan hangat masih tersaji. Dia mengecek ponsel, belum ada pesan dari Adrian.
Dengan sedikit ragu, Elina mengetik pesan singkat:
"Claire sudah tidur. Makan malam sudah siap. Aku tunggu di meja."
Ia duduk. Menunggu.
Sementara itu, di sisi kota yang berbeda...
Adrian berdiri di tengah ruang rapat darurat dengan wajah serius dan kerah jas yang setengah terbuka. Proyek kerja sama mereka dengan mitra luar negeri mendadak mengalami gangguan: dokumen perjanjian bocor sebelum finalisasi, dan seorang investor kunci menarik diri tiba-tiba. Tim legal dan PR duduk panik, dan semua mata tertuju pada satu orang, Adrian Leonhart.
"Beri saya waktu 30 menit untuk memutuskan jalur komunikasi," katanya cepat, dingin, namun sedikit lelah. "Tak satu pun dari ini keluar ke media. Samuel, kawal bagian kontrak."
"On it," sahut Samuel sambil melirik jam. Ia menatap Adrian, menimbang.
"Kau seharusnya sudah pulang jam tujuh," ucapnya pelan.
Adrian baru terdiam saat itu. Pandangannya menajam, seolah baru ingat sesuatu. Ponselnya ia keluarkan dengan cepat, 14 notifikasi tak terbaca, dan di antaranya ada satu dari Elina.
Matanya membaca cepat:
"Claire sudah tidur. Makan malam sudah siap. Aku tunggu di meja."
Adrian memejamkan mata sejenak, mendesah berat. Rasa bersalah menyeruak dari dadanya. Dia telah memimpikan malam ini seharian, wajah Elina, suara lembutnya, sentuhannya... bahkan aroma kulitnya yang selalu menenangkan.
Dan kini, saat semua telah disiapkan dengan indah... dia tak ada di sana.
Dan lebih buruk lagi, dia lupa memberi kabar.
Di rumah, Elina memandangi lilin yang mulai meleleh habis. Makanan sudah tak lagi hangat. Ia masih mengenakan lingerie tipis itu, duduk diam di ujung meja dengan tangan yang mengepal di pangkuannya.
Ia mencoba memahami. Ini bukan pertama kalinya Adrian terjebak dalam pekerjaan. Tapi malam ini... terasa seperti sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang ingin ia bagi, bukan hanya dengan tubuhnya, tapi dengan hatinya.
Tapi seperti malam-malam lainnya, kesunyian lebih dulu datang.
Dan kali ini, menyakitkan.
...****************...
Jarum jam hampir menunjuk angka dua belas
ketika mobil Adrian memasuki pelataran rumah. Suara mesin mati pelan, lalu senyap. Ia turun dengan langkah cepat, membuka pintu depan tanpa suara. Di ruang tengah, hanya cahaya lampu kecil yang menyala. Rumah itu sepi. Terlalu sepi.
Ia melangkah ke ruang makan.
Dan di sanalah semuanya menunggu.
Makanan yang telah dingin di atas piring-piring keramik putih. Lilin-lilin yang telah meleleh habis, meninggalkan jejak lilin kering di atas taplak meja. Dan di ujung meja, selembar kain tipis berwarna merah muda tergantung pada sandaran kursi, luruh, seolah pemiliknya menyerah menanti.
Adrian menghela napas berat.
Dadanya bergemuruh oleh perasaan yang tak ia beri nama. Ia tahu Elina menunggunya. Ia bisa membayangkan betapa wanita itu duduk diam di sana, mengenakan pakaian yang pasti membuatnya malu setengah mati, hanya demi... dia.
Langkahnya beralih ke ruang keluarga. Dan di sana, ia menemukan Elina.
Wanita itu tertidur meringkuk di sofa, mengenakan daster tipis berbahan satin, selimut kecil setinggi pinggang menyelimuti tubuhnya. Rambut panjangnya tergerai lemas di bantal kecil, pipinya tampak memerah karena posisi tidur, dan di sudut mata tampak bekas air mata yang sudah kering.
Adrian berhenti. Berdiri di tempat.
Untuk sesaat, ia hanya menatap.
Ia merasa... gagal.
Dia telah mengecewakannya. Bukan karena tak datang makan malam. Tapi karena tak memberi kabar. Tak menjadikan Elina prioritas, bahkan untuk satu pesan sederhana.
Ia duduk perlahan di tepi sofa, mengusap rambut Elina lembut dari wajahnya.
"Maaf..." bisiknya nyaris tak terdengar.
Elina mengerang pelan dalam tidur, menggeliat kecil, lalu tiba-tiba membuka matanya sedikit. Samar.
"Adrian...?" gumamnya pelan. Suaranya serak dan lelah.
"Ya, ini aku," jawabnya pelan, jemarinya masih membelai sisi wajah Elina.
"Aku pulang... terlambat."
Elina mencoba bangun, tapi tubuhnya terlalu lemas. Ia hanya menggigit bibir dan mengalihkan pandangan. "Aku sudah tahu... kamu sibuk."
Adrian menunduk. "Tapi tetap salahku. Aku bahkan lupa memberi kabar."
Ia menarik napas dalam. "Aku lihat semuanya... makan malam, lilin... dan gaun itu."
Elina menahan napas. Wajahnya langsung memerah. "Itu... aku hanya ingin... membuat malam ini... istimewa."
Keheningan menggantung sebentar.
Lalu Adrian menariknya pelan dalam pelukannya. Hangat. Penuh sesal. Penuh rasa.
"Maafkan aku," bisiknya lagi. "Aku berjanji, Elina... lain kali, aku akan ada di sana. Di meja. Di sampingmu. Menunggumu, bahkan sebelum kau sempat menyalakan lilin."
Elina terdiam. Lalu mengangguk kecil, dengan kepala bersandar di dada Adrian. Degup jantungnya menenangkan. "Aku tidak marah. Hanya... kecewa. Tapi aku mengerti, Adrian. Aku tahu kamu... bukan milikku sepenuhnya."
Adrian menggenggam tangannya.
"Aku milikmu seutuhnya Elina!"
Untuk sesaat, waktu berhenti.