Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 17.
Setelah malam gala itu, media lokal mulai ramai menulis tentang “duet arsitek dan bangsawan misterius” dari proyek istana pasir.
Foto-foto mereka tersebar di internet. Alena tertawa di samping Fadil, mereka berdiri bersama di panggung bahkan saat turun dari mobil yang sama.
Judul-judulnya beragam.
“Cinta di Balik Desain Istana Gurun?”
“Pangeran Fadil dan Arsitek Wanita dari Asia.”
“Apakah Mereka Pasangan Rahasia?”
Alena membaca beberapa artikel itu sambil menggeleng, setengah malu dan setengah geli.
“Media memang senang menebak,” katanya saat mereka sarapan di tenda utama.
Fadil menyeruput kopinya tanpa ekspresi. “Biarkan saja, mereka akan bosan sendiri.”
“Tapi… apakah ini tidak mengganggu reputasi mu?” tanya Alena hati-hati.
Pria itu menoleh, menatapnya lama. “Jika seseorang menuduhku memiliki rasa pada wanita cerdas dan berhati besar, aku rasa itu bukan tuduhan buruk. Lagipula, itu adalah... fakta.”
Mereka berdua tertawa kecil.
Angin gurun berembus lembut. Di bawah langit penuh bintang, dua hati yang dulu terluka mulai menemukan ritmenya sendiri. Sederhana, tulus, tanpa tergesa-gesa.
Cinta yang lahir bukan karena kehilangan, tapi karena kedewasaan.
Sore itu, mereka berdua memeriksa area taman istana. Di tengah gurun yang luas, taman itu menjadi oase kecil, dikelilingi kolam buatan dan pepohonan kurma muda.
Fadil berjalan di sampingnya, tangannya memegang map.
“Aku ingin menamai taman ini... Hadiyah,” katanya tiba-tiba.
“Artinya?” tanya Alena.
“Hadiah. Karena terkadang, Tuhan tidak memberi kita apa yang kita minta... tapi apa yang kita butuhkan.”
Alena menatap taman itu, lalu menatap Fadil. “Dan kamu… butuh apa?”
Fadil tersenyum samar. “Kedamaian.”
Ia menatap mata Alena, lembut tapi dalam. “Dan aku bersyukur... bisa menemukannya di sini. Dengan caramu berbicara, dengan setiap langkahmu yang lembut tapi pasti.”
Alena tersenyum kecil. “Aku tidak tahu apakah aku sudah menemukan kedamaian, tapi aku tahu satu hal... aku berhenti melarikan diri masa lalu.”
Matahari mulai turun di balik bukit pasir, mewarnai langit dengan semburat jingga dan emas. Bayangan mereka berdua memanjang di atas pasir, beriringan.
Hari itu sinar matahari menembus jendela kaca tinggi istana Al-Qamar, suara burung merpati di taman istana mengiringi langkah tenang Fadil yang bersiap menghadapi rapat keluarga besar.
Meksipun Fadil sudah keluar dari kerajaan, tetap saja dia harus datang saat pihak kerajaan memanggil.
“Dia bukan hanya sekadar karyawan, tapi dia adalah... kekasihku,” ujar Fadil dengan suara tenang namun mantap di hadapan para paman dan sepupunya. “Dia adalah wanita yang mengingatkan aku tentang hidup, tentang makna dari kehilangan dan kesederhanaan.”
Beberapa wajah keluarga tampak terkejut.
Pangeran Hassan, paman Fadil yang paling berpengaruh menyipitkan mata. “Fadil, kau tidak bisa membiarkan reputasi mu hancur karena seorang wanita asing. Dia tidak memiliki darah seperti kita, darah bangsawan. Seorang rakyat jelata yang tak punya darah biru sedikit pun. Dia juga seorang janda, Fadil!“
Nada suara Pangeran Hasan terdengar dingin, tajam seperti bilah pedang. “Ibumu saja, yang masih punya garis keturunan kerajaan Inggris... tidak sepenuhnya dihormati di istana ini.”
Ia menatap keponakannya dengan tatapan penuh perhitungan sebelum melanjutkan. “Lalu bagaimana menurutmu nasib wanita itu? Seorang perempuan biasa... berani bermimpi menjejak di tanah para bangsawan?”
Fadil menatap Pamannya dengan sama tajamnya. “Cinta bukan urusan darah, Paman. Dan Alena… tidak meminta apa-apa dariku selain rasa hormat. Lagipula, aku bukan lagi bagian dari kerajaan, gelar resmi pangeran sudah lama kulepaskan. Aku datang ke sini bukan karena perintah kalian, tapi karena aku masih menghormati kerajaan ini. Dan juga, demi... mendiang Ayahku. Jadi, jangan coba menekanku lagi dengan aturan yang sudah tak punya hak atas hidupku.”
Kata-kata itu menggetarkan seluruh ruangan.
Suasana ruangan menjadi senyap, hanya suara jam antik yang berdetak di dinding ruangan pertemuan Istana.
Setelah pertemuan berakhir Fadil keluar dengan napas panjang, namun wajahnya tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.
.
.
.
Sejak malam Gala, nama Alena semakin populer di bawah naungan perusahaan arsitektur ternama milik Fadil—Al-Majid Holdings.
Hari-harinya dipenuhi rapat, presentasi, kunjungan proyek dan juga memperdalam hubungan dengan Fadil. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain.
Suatu pagi, Alena tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia baru saja menyerahkan proposal desain renovasi untuk proyek hotel di Abu Dhabi, ketika sekretaris mengetuk pintu ruangannya.
“Miss Alena, Tuan Fadil meminta Anda bergabung dalam rapat tim gabungan siang ini. Akan ada beberapa anggota baru yang tiba.”
Alena tersenyum singkat. “Baik, tolong siapkan berkas presentasinya.”
Ia tak berpikir apa-apa, sampai siang tiba.
Rapat digelar di ruang kaca besar di lantai dua puluh. Fadil duduk di ujung meja, mengenakan setelan abu elegan seperti biasa, sementara beberapa staf baru berdiri memperkenalkan diri satu per satu.
Saat pintu kembali terbuka, langkah sepatu hak tinggi terdengar menggema di lantai marmer.
Semua kepala serentak menoleh.
Dan Alena membeku.
Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya diri, rambutnya tergerai indah. Penampilannya nyaris sempurna... Nadine.
“Perkenalkan,” suara Nadine terdengar lembut namun tajam, “Saya Nadine, staf baru. Mulai hari ini... saya akan menjadi bagian dari tim desain kreatif Al-Majid Holdings.”
Udara di ruangan seolah berubah kaku, Fadil menatap sekilas ke arah Alena. Hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat perubahan ekspresi kekasihnya.
Namun Alena tidak menunjukkan emosi. Tidak ada getar, tidak ada kemarahan. Ia hanya tersenyum tipis, lalu berdiri dan mengulurkan tangan.
“Selamat datang, Nadine. Semoga kamu betah di sini.”
Nadine membalas jabat tangannya dengan tekanan halus tapi menggigit.
“Oh, tentu. Aku sudah lama ingin bekerja di perusahaan ini, apalagi mendengar siapa yang jadi kepala timnya.”
“Syukurlah,” balas Alena dengan nada kalem. “Aku senang bisa bekerja dengan orang yang punya semangat tinggi.”
Fadil memperhatikan percakapan itu dalam diam.
Setelah sesi perkenalan berakhir, Fadil memanggil Alena ke ruang kerjanya. Nada suaranya tenang, tapi matanya penuh tanda tanya.
“Dia dari Indonesia, sama sepertimu,” kata Fadil sambil menatap layar tablet di depannya. “Selain karena kemampuannya memang bagus, aku pikir kamu akan senang punya teman satu negara. Tapi... kenapa aku merasa kamu tak begitu suka padanya? Ada sesuatu?”
Alena menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Dia pernah membuatku terluka, tapi itu sudah lama. Mungkin ini cuma kebetulan dia melamar ke sini. Lagipula... masuk perusahaan ini kan selektif. Kalau dia lolos, berarti memang pantas.”
Fadil bersandar di kursinya, pandangannya tajam tapi lembut.
“Itu benar... tapi kalau kehadirannya membuatmu tak nyaman, aku bisa memberhentikannya sekarang juga. Aku tak ingin ada satu pun hal yang mengganggumu.”
Alena terkekeh kecil. “Jangan, aku justru ingin tahu kemampuannya. Kamu pikir aku tak bisa menanganinya?”
“Tentu saja aku yakin padamu. Tak ada yang lebih hebat darimu, Ratuku. Mana ada yang bisa menandingi bakat luar biasa mu.” Pria itu menutup kalimatnya dengan satu kedipan nakal.
“Sebenarnya dia bukan penyebab utama rumah tanggaku hancur dulu, tapi sempat... jadi bagian dari lukaku.” Suara Alena tenang, tidak ada lagi amarah.
Fadil mengangguk, seolah menyimpan catatan penting di pikirannya. “Baiklah, lagipula sekarang aku juga jadi penasaran... kenapa dia berani melamar ke perusahaan yang jelas-jelas ada kamu di dalamnya.”
“Syukran, ya... Habibi.” Alena menjawab dengan nada manja yang membuat Fadil tersenyum geli.
Keduanya lalu tertawa bersama. Di antara candaan ringan dan sisa luka yang mulai sembuh, mereka berdua belajar satu hal. Hubungan yang hangat tak selalu datang dari hal besar, tapi dari keberanian untuk jujur pada hal-hal kecil.
Beberapa hari berikutnya, suasana kantor berubah.
Nadine bergerak cepat, membawa ide-ide segar yang menarik perhatian banyak rekan. Ia menampilkan diri sebagai sosok profesional dan pandai bergaul, hingga sebagian staf mulai membicarakannya dengan kekaguman.
Namun di balik semua itu, Nadine menyimpan misi tersembunyi... dia ingin menjatuhkan Alena.
Bagi Nadine ini bukan sekadar pekerjaan, ini pembuktian. Jika dulu ia gagal merebut cinta Arga, maka kali ini ia akan merebut posisi Alena di dunia kerja.
Wanita licik itu tahu proyek Abu Dhabi adalah proyek Alena, dan Nadine mulai menyusun rencana diam-diam untuk mencuri perhatian Fadil dan klien besar perusahaan.
Kalo Arga meminta Alena untuk balikan, jangan harap deh yah.. 😫
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...