Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Lily merasa sangat senang ketika dokter mengatakan kalau kondisi Pak Faiz sudah stabil. Ia pun beberapa kali menciumi sang ayah. Hatinya begitu lega. Tak lupa, Lily memberitahu kabar gembira itu kepada sahabatnya.
"Ayah, harus sembuh, ya. Aku takut ayah ninggalin aku." Lily memeluk sang ayah dengan erat. Pak Faiz hanya membalas pelukan itu dan tak lupa mengecupi puncak kepala sang putri dengan penuh sayang.
Selang beberapa saat, Brian datang dengan segera. Ia bernapas lega ketika melihat Pak Faiz yang sudah membuka mata. Tak lupa, pria itu menyalami tangan calon mertuanya dengan begitu sopan. Ciee calon mertua. Haha.
"Yah, Om Tampan ini yang sudah membayar semua biaya perawatan Ayah. Bahkan, dia memanggil dokter terbaik untuk menyembuhkan ayah," jelas Lily. Namun, gadis itu mengaduh ketika Brian sudah menjitak kepalanya padahal tidak terlalu kencang.
"Terima kasih, Nak Brian."
"Itu sudah kewajiban saya, Om. Saya senang Om Faiz sudah sadar." Brian berbicara sopan.
Lalu mereka bertiga pun mengobrol walaupun Lily dan Brian lebih banyak berdebat saat berbicara berdua. Pak Faiz yang melihatnya hanya menggeleng.
Malam sudah sangat larut, Lily sudah tertidur lelap di samping Pak Faiz, Dengan perlahan Brian memindahkan ke sofa. Pak Faiz yang merasakan gerakan pun segera membuka mata. Membiarkan Brian memindahkan Lily. Setelahnya, Brian mendekati Pak Faiz.
"Maaf, Om. Saya mengejutkan, Om."
"Tidak. Duduklah, Nak. Aku ingin mengobrol denganmu," suruh Pak Faiz. Brian pun segera duduk di hadapan pria itu. "Terima kasih banyak, Nak."
"Tidak perlu berterima kasih, Om. Itu sudah kewajiban saya membantu sesama."
"Nak ... aku ingin kamu menjawab dengan jujur. Apakah kamu benar-benar mencintai putriku?" tanya Pak Faiz serius.
Brian diam. Bukan karena bimbang untuk menjawab, tetapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui. Pak Faiz pun tidak memaksa pria di depannya untuk memberikan jawaban.
"Lily itu aku besarkan dengan penuh kasih sayang. Dia putriku satu-satunya. Tentu saja aku ingin yang terbaik untuknya. Jujur, aku merasa senang saat Lily mengatakan kalian berpacaran. Walaupun ada keraguan yang kurasakan. Kalau memang kamu benar-benar mencintai Lily, aku akan merestui asal kalian bahagia." Pak Faiz menjeda ucapannya untuk mengambil napas dalam.
Brian tidak menyahut atau menanggapi. Ia memilih untuk diam mendengarkan.
"Kalau kamu tidak serius, lebih baik kamu sudahi saja hubungan kalian. Aku tidak mau Lily terluka. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang ayah yang menginginkan kebahagiaan putrinya. Suatu saat kamu pasti akan merasakannya. Nak ... lepaskan Lily kalau memang kamu tidak punya rasa padanya." Pak Faiz menatap Brian dengan dalam dan penuh makna.
Brian mengusap lengan Pak Faiz dengan lembut. "Om, saya akan menjawab jujur. Sebenarnya saya sudah jatuh cinta dengan Lily. Hanya dia wanita yang bisa membuat saya jatuh cinta, Om."
Ucapan Brian mampu membuat bibir Pak Faiz tersenyum simpul.
"Hanya saja, saya masih belum yakin untuk mengungkapkan perasaan saya yang sesungguhnya. Saya takut Lily menolak. Lily selalu mengatakan bahwa kita berbeda. Dia ingin menikah dengan pria yang sederajat. Padahal bagi saya, kita sama saja. Saya tidak peduli dengan status sosial, harta, atau apa pun itu." Brian benar-benar yakin berbicara demikian.
"Tidak apa, Nak. Kamu hanya harus berusaha lebih keras lagi untuk membuat hati Lily luluh. Dia memang tidak mudah ditaklukkan."
"Terima kasih banyak, Om. Saya pasti akan berusaha lebih keras lagi. Terima kasih juga karena Om sudah memberi restu."
"Kamu tidak perlu berterima kasih, Nak."
***
Lily berpamitan untuk keluar sebentar karena kebetulan sudah ada Bibi Imah yang menemani Pak Faiz. Ada hal yang mau diurus oleh Lily. Dengan langkah sedikit lebar, Lily berjalan meninggalkan ruangan perawatan sang ayah. Namun, tiba-tiba ia terkejut ketika menabrak seseorang.
"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja." Lily mendongak dan terkejut ketika melihat pria itu. "Loh, Bapak kan ...."
"Wah, kita bertemu lagi di sini," ujar Tuan Regardian. Berlagak seperti orang yang juga terkejut.
"Bapak sedang apa di sini? Bapak sendirian?" tanya Lily sambil melihat ke sekeliling Tuan Regardian. Ia tidak melihat siapa pun.
"Aku sana Ardi, dia sedang mengurus administrasi," sahut Tuan Regardian.
"Oh, Bapak habis diperiksa? Bagaimana keadaan Bapak? Apa masih sakit?" tanya Lily cemas. Tuan Regardian menepuk bahu Lily sambil tersenyum simpul.
"Sudah lebih baik. Terima kasih kamu sudah menolongku waktu itu. Oh iya, Kamu sedang apa di sini?" tanya Tuan Regardian.
"Saya sedang menunggu ayah." Lily menjawab jujur.
"Ayahmu sakit?"
Lily mengangguk mengiyakan. "Iya, kemarin sempat kritis, tapi sekarang sudah stabil dan tinggal pemulihan saja."
"Syukurlah. Kamu mau ke mana? Bagaimana kalau aku menjenguk ayahmu sekarang, mumpung aku sedang di sini," kata Tuan Regardian. Lily langsung mengiyakan tanpa ragu. Lalu mereka pun menuju ke ruangan VVIP di mana Pak Faiz dirawat.
"Loh, Non Lily tidak jadi pergi?" tanya Bibi Imah saat Lily sudah kembali masuk ke ruangan. "Eh, Non Lily sama siapa?"
"Ya ampun, aku sampai lupa belum nanya nama Bapak." Lily menepuk kening lalu mengulurkan tangan menyalami Tuan Regardian. "Kenalin, Pak. Nama saya Lily."
Tuan Regardian tersenyum sambil membalas uluran tangan tersebut. "Panggil saja aku Pak Anggara."
"Baik, Pak Anggara. Salam kenal." Setelah mengucap itu, Lily langsung terdiam. Sepertinya ada yang salah.
Anggara? Bukankah Brian juga nama belakangnya Anggara? Apa mungkin .... emh, tapi orang yang bernama Anggara bukan hanya keluarga Brian saja.