Warning.!! Area khusus dewasa.!
Bukan tempat untuk mencari nilai kehidupan positif. Novel ini di buat hanya untuk hiburan semata.
Tidak suka = SKIP
Pesona Al Vano Mahesa mampu membuat banyak wanita tergila - gila padanya. Duda beranak 1 yang baru berusia 30 tahun itu selalu menjadi pusat perhatian di perusahaan miliknya. Banyak karyawan yang berlomba lomba untuk mendapatkan hati anak Vano, dengan tujuan menarik perhatian Vano agar bisa di jadikan ibu sambung untuk anak semata wayangnya.
Sayangnya rasa cinta Vano yang begitu besar pada mendiang istrinya, membuat Vano menutup hati dan tidak lagi tertarik untuk mencintai wanita lain.
anak.?
Namun,,,, kejadian malam itu yang membuatnya tidur dengan sorang wanita, tanpa sengaja mampu membuat anak semata wayangnya begitu menyukai wanita itu, bahkan meminta Vano untuk menjadikan wanita itu sebagai ibunya.
Lalu apa yang akan Vano lakukan.?
Bertahan pada perasaannya, atau mengabulkan permintaan sang anak.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Celina duduk merenung di ruang tamu. Lembar pemeriksaan dan hasil USG berjejer di atas meja. Sesekali Celina melirik foto USG yang memperlihatkan isi rahimnya. Rasa penyesalan sedikit memudar. Janin itu mampu mengetuk relung hati Celina hingga mampu menghadirkan setitik kebahagiaan.
Meski sempat kecewa dengan hadirnya kehidupan di rahimnya, bahkan sempat berfikir untuk menghilangkan janin itu, kini pikiran Celina mulai terbuka dan mampu menerima kenyataan yang ada.
Celina mengerti bahwa janin itu tidak pernah memilih untuk hadir di rahimnya. Dia akan sangat berdosa jika menghilangkannya, karna kehadirannya merupakan perbuatan buruknya sendiri.
"Lalu bagaimana dengan hubunganku dan kak Dion.?" Celina bergumam bingung. Ditatapnya ponsel yang sejak tadi dia genggam. Sudah berulang kali Celina berencana untuk menghubungi Dion, namun berulang kali pula Celina mengurungkan niatnya. Dia masih bingung bagaimana caranya memberitahukan Dion perihal kehamilannya. Celina belum siap melihat kekecewaan Dion.
Ya, kemungkinan besar Dion akan kecewa setelah mendapati kenyataan bahwa calon istrinya sedang mengandung darah daging laki - laki lain.
"Aku sudah siap hidup dan membesarkannya seorang diri, tapi belum siap melihat kak Dion kecewa,," Kedua manik mata Celina mulai digenangi air mata. Dia tau betul bagaimana perasaan Dion padanya selama ini. 1 bulan terakhir, Dion tak pernah absen menghubunginya. Dion selalu mengirimkan pesan setiap hari hanya untuk menyuruhnya makan, ataupun sekedar menanyakan keadaannya meski mereka sering bertemu.
"Dan mereka,,," Gumam Celina sendu. Dia memikirkan perasaan kedua orang tuanya.
"Aku akan membuat mereka kecewa dan merusak nama baik mereka,," Suara Celina bergetar, dia menitikkan air matanya.
Membayangkan hancurnya perasaan kedua orang tuanya hanya membuat dada Celina semakin sesak.
Suara bel membuat Celina langsung menghapus air matanya. Dia juga merapikan hasil pemeriksaannya dan menyimpannya di dalam tas, begitu juga dengan ponsel yang ada di tangannya.
Celina menatap ragu kearah pintu. Dia tidak bisa menebak siapa yang datang ke apartemennya. Rasanya tidak mungkin jika Dion yang berdiri di balik pintu. Karna laki - laki itu masih sibuk berada di kantor.
Sebelum membuka pintu, Celina menarik nafas lebih dulu untuk menghilangkan sesak yang masih bersarang di dadanya. Tapi sayangnya usaha yang dilakukan oleh Celina hanya sia - sia. Seseorang yang datang justru membuat dadanya semakin sesak. Sudah lama dia merindukan orang itu dan ingin memeluknya hanya sekedar menghilangkan rindu yang terasa semakin menggebu.
"Kak Vano,,," Bibir Celina bergetar saat menyebut namanya. Kedua manik matanya tak lepas dari wajah tampan Vano yang menatap tajam padanya. Tatapan yang sulit untuk di tebak, namun yang pasti ada tatapan tak suka dari sorot mata Vano. Meski sebagian lagi tatapan itu seakan menyambut rasa rindunya.
"Ada yang ingin aku bicarakan,," Suara tegas Vano membuatnya merinding. Vano menatap ke dalam apartemen, seakan melihat situasi sebelum akhirnya melenggang masuk tanpa disuruh oleh Celina.
Celina mengikuti langkah Vano tanpa menutup pintu. Jantungnya bergemuruh, dia tidak tau tujuan Vano datang menemuinya. Sedangkan Celina ingat betul terakhir kali mereka bertemu, Vano enggan untuk bertemu dan berhubungan lagi dengannya karna tidak mau Naura terus dekat padanya.
Vano menjatuhkan diri di sofa. Dia mengangkat 1 kakinya, duduk bersender dengan wajah angkuh.
"Ada apa.?" Tanya Celina. Dia ikut duduk di hadapan Vano. Semakin lama melihat Vano, semakin besar pula keinginannya untuk memeluk laki - laki itu.
Celina meremas ujung dressnya dengan kedua tangan. Dia menahan diri sekuat yang dia bisa untuk tidak bertindak bodoh dengan memeluk laki - laki yang jelas - jelas tidak lagi membutuhkannya. Namun menahan semua itu membuatnya semakin tersiksa.
Celina mungkin tidak menyadari jika apa yang dia inginkan bukanlah sepenuhnya keinginannya. Dia tidak berfikir jika janin yang ada di dalam rahimnya memiliki ikatan yang kuat dengan Vano.
"Apa kamu baik - baik saja.? Sepertinya kehamilan membuatmu terlihat tertekan."
"Apa kekasihmu tidak mau bertanggung jawab.?" Suara datar dan tatapan Vano begitu mengiris hati. Tatapan yang begitu merendahkan dan menghina.
"Apa maksudnya.?" Tanya Celina dengan suara yang sedikit meninggi.
"Jangan pura - pura bodoh, aku tau kamu hamil." Sahut Vano cepat.
"Tidak sia - sia aku menyuruh orang untuk menguntitmu, dengan begitu aku tau siapa ayah dari anak yang kamu kandung." Tuturnya santai. Vano merogoh saku jasnya, dia mengeluarkan selembar kertas yang sudah dia siapkan sejak jauh - jauh hari jika hal ini terjadi.
"Tanda tangani surat perjanjian ini,," Vano membuka lebar - lebar kertas itu dan meletakkannya di atas meja beserta bolpoin.
"Aku sudah tau anak itu berasal dari benih laki - laki lain, jadi jangan harap aku akan bertanggungjawab jika kamu datang padaku.!" Ucap Vano tegas. Sorot matanya semakin tajam, bahkan tidak merasa iba sedikitpun pada Celina yang sudah mulai berkaca - kaca.
Ucapan Vano berhasil menghancurkan perasaan Celina. Tidak hanya perasaannya saja, hatinya juga ikut hancur oleh laki - laki yang seharusnya bertanggungjawab atas janin yang dia kandung.
Remasan tangan Celina pada ujung dress berumah menjadi kepalan kuat.
Celina menyesali ucapan yang keluar dari mulut Vano, karna saat itu juga dia bergumam dalam hati akan membuat Vano menyesal sudah menolak darah dagingnya sendiri.
"Anda terlalu percaya diri Tuan Elvano.!" Ucap Celina penuh penekanan. Dia menarik surat perjanjian itu agar lebih dekat padanya, tak lupa mengambil bolpoin yang diberikan oleh Vano.
"Dengan senang hati aku akan menandatanganinya." Katanya tegas. Celina berusaha bicara dengan tenang agar tidak terlihat menyedihkan dimata Vano.
"Asal anda tau, sekalipun anak yang aku kandung adalah darah dagingmu, aku tidak akan merendahkan diri untuk meminta pertanggung jawaban darimu." Celina menatap tajam penuh amarah dan kekecewaan.
Tatapan Celina mampu membuat Vano tertegun, namun dia terlihat berusaha bersikap santai dengan gaya angkuhnya.
"Bagus kalau begitu.!" Seru Vano.
"Jadi tunggu apa lagi.? Semakin cepat kamu menandatangani surat itu, maka semakin cepat pula urusan kita selesai." Tuturnya sinis.
Celina tersenyum miris. Dia merasa kasihan pada Vano karna yakin laki - laki itu akan menyesali perbuatannya seumur hidup.
"Baiklah kalau itu maumu,,!" Tegas Celina sinis. Dia menandatangani surat itu tanpa membaca poin yang tertera disana.
"Ambil ini dan keluar dari apartemen ku.!" Seru Celina sembari berdiri dan menyodorkan kertas itu pada Vano. Vano beranjak dari duduknya, dia menerima kertas itu dengan senyum kepuasan yang mengembang di bibirnya.
"Kerja bagus,," Puji Vano sambil menatap tanda tangan Celina di atas materai. Senyumnya semakin merekah karna merasa menang.
Ulah Vano membuat jantung Celina seperti di remas. Dia merasa kesulitan untuk bernafas, bahkan bagian bawah perutnya mulai terasa sakit.
"Anda akan menyesal jika mengetahui kebenarannya.!" Geram Celina penuh amarah.
"Keluar sekarang juga.!" Tegasnya sambil menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka lebar.
"Apa sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, jadi untuk apa berlama - lama disini." Jawab Vano. Dia melangkahkan kakinya menuju pintu.
Saat itu juga air mata Celina tumpah tanpa bisa dia bendung lagi. Vano bukan hanya menancapkan duri dalam hidupnya, tapi menghancurkan hatinya tanpa sisa.
Penglihatan Celina mulai memudar seiring dengan rasa sakit yang berpusat pada bagian bawah perutnya. Perlahan badannya melemas dan ambruk ke lantai.
Vano langsung berbalik badan saat mendengar suara benturan di lantai. Matanya membulat sempurna, terkejut melihat Celina yang sudah tergeletak tak sadarkan diri.
"Celina.!!" Pekik Vano. Dia lari menghampiri Celina dan langsung menggendongnya. Tanpa pikir panjang, Vano bergegas keluar untuk membawa Celina ke rumah sakit.
Dia berjalan cepat menuju basement. Sepanjang perjalanan terus melirik wajah Celina untuk memastikan keadaannya. Berulang kali juga Vano menyuruh Celina untuk membuka matanya.
Tidak bisa dipungkiri, ada kecemasan dan sakit yang dia rasakan saat melihat kondisi Celina yang tidak berada dalam dekapannya.
Vano mungkin tidak menyadari akan hal itu, dia berfikir apa yang dia rasakan hanya sebatas rasa kasihan karna Jasmine juga pernah mengalami hal yang serupa seperti Celina saat tengah mengandung Naura.
menginginkan yang lebih baik tapi sendirinya buruk . ngaca wooy 🙄
lagian celina kan kelakuannya doang yg buruk . hatinya mah melooooow 😂
Vano VS celine(rusak)