👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Battle Royale
Akihisa sedang dalam puncak cerita tentang bagaimana Miku melambaikan tangan dengan "kekuatan magnetis yang luar biasa," ketika suara keras dan bernada memerintah tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan kelas, memotong pembicaraannya. Suara itu begitu jernih, seolah-olah Araya Yamada berdiri tepat di samping mereka, padahal hanya datang dari speaker tak terlihat yang tersembunyi di sudut langit-langit.
"Perhatian, kepada seluruh murid baru Academy Animers!" Suara itu dingin dan tegas. "Aku Araya Yamada, Ketua OSIS kalian. Aku mengucapkan selamat datang secara resmi kepada kalian semua yang telah berhasil bergabung ke dalam institusi ini." Indra, yang tadinya membenamkan wajah di meja, sedikit mengangkat kepalanya. Bahkan dalam posisi malasnya, ia menyimak dengan serius. Akihisa, di sampingnya, langsung terdiam, ekspresinya berubah dari ceria menjadi penuh perhatian.
"Tolong disimak, Pangeran," bisik Akihisa, matanya terpaku ke langit-langit.
Araya melanjutkan, nadanya kini terdengar terlalu antusias, hampir terlalu manis. "Sungguh suatu kehormatan dan kebahagiaan yang luar biasa bagiku dan para petinggi di Akademi untuk menyambut talenta-talenta luar biasa seperti kalian tahun ini. Kalian adalah bunga-bunga terbaik yang mekar dari benih Kristal Kehidupan di Crown City."
"Tapi," lanjut Araya, jeda yang dibuatnya terasa mencekam, "Akademi ini bukan sekadar tempat untuk belajar tata krama atau rumus sihir dasar. Sejak aku menjabat sebagai Ketua OSIS, aku telah memperkenalkan dan memimpin sebuah tradisi yang sesungguhnya. Sebuah tradisi yang akan menguji batas kemampuan, moral, dan terutama... keinginan kalian untuk bertahan."
Seluruh kelas hening. Bahkan Miku dan Evelia pun terlihat tegang. Araya kemudian tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti pecahan es.
"Kalian semua datang ke sini untuk kekuatan. Jadi, aku akan memberikannya. Tapi ingat, di Academy Animers, hanya ada satu filosofi yang berlaku, yang sudah menjadi credo di bawah kepemimpinanku: 'Yang bertahan, ia akan menjadi pemimpin.'"
Indra menegakkan tubuh sepenuhnya, matanya yang merah menyala menajam. Ia menoleh ke Akihisa, yang ekspresinya kini tidak lagi santai, melainkan waspada. "Aku rasa 'tradisi' yang dia maksud bukan sekadar ujian tulis biasa," ujar Indra. "Kurasa ini sudah dimulai." Akihisa mengangguk, napasnya tertahan. Suara Araya kembali menggema, lebih keras. "Sekarang, aku perintahkan semua pintu kelas dikunci otomatis! Pelajaran pertamamu: Bertahan Hidup"
Begitu pengumuman Araya Yamada berakhir dan suara "klik" keras dari pintu yang terkunci otomatis terdengar, suasana di kelas berubah drastis. Murid-murid yang tadinya hanya menyimak dengan tegang kini bangkit dengan tatapan mata yang bringas dan bersemangat. Energi magis mulai berdenyut di udara; ada yang tangannya mulai diselimuti api, sementara yang lain membiarkan aura gelap menyelimuti tubuh mereka.
"Lihat mereka," desis Indra, ekspresinya kembali dingin dan tajam. Ia bisa merasakan gelombang ambisi dan kekuasaan yang tiba-tiba meluap di ruangan itu. "Mereka sudah menunggu saat ini. Mereka haus akan 'tradisi' gila ini." Di sampingnya, Akihisa tidak lagi santai. Matanya yang biru elektrik memindai ruangan, menunjukkan kewaspadaan penuh.
Di barisan tengah, Miku tampak ketakutan, sementara Evelia—ketua kelas yang imut itu—menarik napas dalam, wajahnya pucat karena terkejut. Mereka berdua adalah satu-satunya yang terlihat benar-benar kebingungan dengan perubahan situasi yang ekstrem ini.
"Kita harus ke sana!" seru Akihisa. Ia dan Indra segera bergegas menuju tempat Miku dan Evelia berdiri, namun pertarungan telah dimulai bahkan sebelum mereka mencapai mereka. Sebuah proyeksi energi berwarna ungu melesat cepat ke arah mereka, memaksa Indra untuk menarik Akihisa menghindar.
Melihat kekacauan yang tak terhindarkan, Evelia bertindak cepat. Ia meraih tangan Miku. "Kita harus keluar dari sini, Miku! Pintu terkunci!" Tiba-tiba, ia menatap ke jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan luar Crown City. "Kita lompat!"
Indra, yang kini sudah mengaktifkan auranya, berteriak, "Tunggu, Evelia! Itu terlalu tinggi!" Tapi Evelia tidak mendengarkan. Ia menoleh ke Indra dan Akihisa sejenak. "Kalian berdua, urus kekacauan di sini! Kami akan mencari bantuan!" Setelah mengucapkan itu, Evelia melompat lebih dulu, diikuti oleh Miku yang berteriak kecil, menghilang di balik ambang jendela. Akihisa melihat kepergian mereka. "Yah, setidaknya mereka sudah aman. Sekarang..." Akihisa tersenyum tipis, aura hitam mulai menyelimuti tangannya. "Mari kita tunjukkan pada mereka apa artinya menjadi 'terpercaya,' Indra!" Keduanya saling pandang, lalu berbalik bersamaan, bersiap menghadapi gelombang serangan dari teman-teman sekelas mereka.
Tepat saat Indra dan Akihisa bersiap untuk menyerang balik, suara Araya Yamada kembali menggema di speaker kelas, suaranya kini terdengar riang dan sadis. "Oh, satu hal lagi yang lupa kusebutkan! Jangan khawatir, anak-anak manis! Jika kalian kalah atau terbunuh dalam tradisi ini, Kristal Kehidupan yang ada di tubuh kalian akan melindungi kalian semua! Jadi, bermainlah sepuasnya! Ketika permainan selesai, kalian akan kembali normal!"
Indra mengelak dari sapuan api yang dilepaskan seorang siswa lain. Ia melempar pukulan tinju lurus yang dibalut aura merah muda tipis—sebuah teknik bela diri yang dipelajarinya sejak kecil—tepat ke perut penyerangnya. Sambil bergerak, Indra berteriak pada Akihisa, "Apa maksudnya kita tidak akan mati?! Ini tidak masuk akal!"
Akihisa, dengan kemampuan shape-shifting dasar, mengubah penggaris kayu yang tadinya ia ambil dari meja menjadi pedang kayu yang ramping dan panjang. Ia menangkis serangan energi listrik yang datang. "Aku tidak tahu, Indra! Tapi itu berarti kita tidak perlu menahan diri, kan?!" Akihisa tertawa kecil, meskipun ada sedikit nada tegang dalam suaranya. Ia mulai memutar 'pedang' kayunya, mengeluarkan serangan tebasan cepat yang mengejutkan.
Sementara itu, di luar kelas, Evelia dan Miku berlarian di lorong akademi. Pemandangan di sana jauh lebih mengerikan. Kabinet-kabinet logam penyimpan buku sudah penyok, lantai marmer retak-retak, dan suara ledakan terdengar dari berbagai kelas. "Evelia, ini gila! Semua orang benar-benar berkelahi!" seru Miku, napasnya terengah-engah.
Evelia terus menarik Miku, matanya menyapu sekeliling. "Kita harus mencari tempat persembunyian, Miku! Kita harus mencari guru atau siapapun yang bisa menghentikan ini!" Tapi sejauh mata memandang, yang ada hanyalah kekacauan dan murid-murid lain yang sibuk bertarung satu sama lain di lorong yang luas itu, tidak ada satupun sosok guru yang terlihat.
"Tidak ada guru," bisik Evelia, ketakutan mulai merayap di wajahnya. "Ini... ini benar-benar Battle Royale yang dia maksud!" Tiba-tiba, dari ujung lorong terdengar suara benturan keras, dan dua orang siswa terlempar keluar dari sebuah kelas yang pintunya hancur. Miku menarik Evelia ke belakang pilar. Mereka menyadari, melarikan diri di lorong pun sama berbahayanya dengan tetap berada di dalam kelas.
Sambil bersembunyi di balik pilar besar, mata ungu Evelia memicing ke arah sumber kekacauan. Di tengah asap tebal dan pecahan material, ia melihat sosok yang bertanggung jawab atas ledakan di lorong: seorang wanita muda berambut merah panjang, wajahnya dihiasi senyum histeris. Itu adalah Nina Yamada, adik dari Ketua OSIS, Araya. Nina terus bergerak dengan cepat, mengendalikan pedang-pedang proyektil yang terbang dari udara, menghantam siswa-siswa lain yang kini hanya bisa pasrah dijadikan samsak.
"Berikan lebih banyak... darah! Lagi!" gumam Nina, suaranya melengking penuh kesenangan, benar-benar menunjukkan sisi yandere dan buasnya.
Melihat adegan mengerikan itu, Evelia menelan ludah dengan susah payah. Ia sangat membenci Nina dan obsesi menyeramkannya terhadap kekerasan dan kekacauan. "Monster," bisik Evelia, gemetar. Miku segera merangkul sahabatnya, mencoba menenangkan. "Tenang, Evelia. Kita aman di sini. Jangan dilihat..."
Namun, perhatian mereka kembali tersita ketika mereka mendengar suara seorang siswa yang babak belur, salah satu 'teman' yang dikalahkan Nina, sedang memohon. "Tolong, lepaskan aku! Aku akan memberitahumu rahasia! Aku tahu ada seorang Pangeran Mahkota yang datang ke akademi ini! Namanya Royal Indra Aragoto, rambutnya merah menyala! Dia ada di Kelas F!"
Evelia langsung tersentak, rasa kesal dan marah membuncah. Ia menyadari bahaya yang mengancam Indra. "Kelas F! Itu kelas kita! Dia mengincarnya!" Evelia hendak maju untuk menghadapi Nina, tetapi Miku menahan lengannya dengan kuat. "Jangan, Evelia! Kekuatan Nina di luar akal sehat! Kau akan mati sia-sia!" bisik Miku memohon.
Nina, yang mendengar informasi itu, menyeringai puas. "Kelas F, ya? Pangeran Mahkota... Menarik." Namun, ia dengan cepat mengingkari janjinya untuk melepaskan temannya itu. "Terima kasih atas informasinya yang bagus. Tapi kau sudah tidak berguna lagi." Dengan satu perintah, salah satu pedang proyektilnya menusuk siswa malang itu, membunuhnya seketika (sesuai aturan Araya, Kristal Kehidupan akan melindunginya, tetapi kini ia sudah tereliminasi). Nina kemudian membersihkan tangannya yang tidak ternoda, dan mulai berjalan perlahan, menuju satu arah: Kelas F.
Melihat Nina Yamada berjalan menjauh, Evelia dan Miku akhirnya bisa menghela napas lega, meskipun suasana masih mencekam. "Ayo, Miku!" kata Evelia, wajahnya kini menunjukkan tekad. "Kita harus cepat! Kita harus menjemput Indra dan Akihisa di Kelas F sebelum si yandere itu sampai di sana!" Mereka bangkit dari persembunyian, berpacu melawan waktu untuk memperingatkan teman-teman sekelas mereka.
Evelia dan Miku berpacu menuruni lorong, tiba di Kelas F hanya sepersekian detik sebelum Nina Yamada. Mereka mendobrak pintu yang sudah terbuka sedikit karena pertempuran di dalam, dan pemandangan di dalam membuat Evelia terkejut. Indra sedang berdiri, tampak sedikit lelah namun tanpa luka, sementara Akihisa yang kembali menggunakan wujud santainya, asyik menginjak-injak seorang siswa yang sudah pingsan di lantai.
"Kerja bagus, Tuan Proyektil Energi. Sekarang tidurlah," gumam Akihisa santai, sebelum ia menyadari kehadiran Evelia dan Miku. "Evelia? Miku? Kalian selamat! Tapi kenapa kembali ke zona bahaya?"
Evelia mengabaikan pertanyaan Akihisa, matanya melotot tajam. "Akihisa, jangan buang waktu! Nina Yamada sedang menuju ke sini! Kita harus segera pergi!" Tanpa menunggu respons, Evelia langsung berlari ke arah Indra.
"Tunggu, siapa Nina Yamada?" tanya Indra, kebingungan sambil mengelap sedikit keringat di pelipisnya. Pertarungan di kelasnya baru saja selesai, dan ia sudah siap menghadapi yang lain. Namun, Evelia sudah terlalu panik untuk menjelaskan. Ia meraih pergelangan tangan Indra dengan kuat. "Tidak ada waktu! Pokoknya dia adalah bahaya yang sangat besar! Ayo, kita ke pintu keluar belakang akademi!"
Evelia mulai menarik Indra, bergegas keluar dari kelas, diikuti oleh Akihisa dan Miku yang berlari di belakang mereka. Mereka bergerak cepat menuju bagian belakang gedung, menyelinap di antara bayangan dan reruntuhan. Sambil berlari, Evelia berusaha menjelaskan bahaya yang mereka hadapi.
"Nina Yamada itu... dia adik Ketua OSIS, Araya. Dia sangat kuat dan... dan psikopat! Dia punya obsesi yang menyeramkan pada kekerasan dan kekuatan. Aku dengar dia mengincarmu, Indra, karena kau Pangeran Mahkota!" kata Evelia, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang nyata. Indra terheran. "Obsesi? Ternyata ada wanita seperti itu?" gumamnya, sambil diam-diam memperhatikan raut wajah khawatir Evelia. Ada sedikit nada kecemburuan yang tersirat dalam suara Evelia—rasa takut jika dirinya 'direbut' oleh psikopat yang haus darah. Indra hanya memandang Evelia dalam diam, senyum kecil tak terlihat tersungging di bibirnya, menikmati sensasi ditarik oleh sang ketua kelas, sambil terus berlari.
Larian mereka yang panik akhirnya membawa mereka ke area belakang gedung. Hanya tinggal beberapa meter lagi menuju gerbang keluar yang terbuat dari besi tempa tebal. Mereka berhenti mendadak. Gerbang itu terkunci dengan rantai besar dan gembok digital yang kokoh.
Evelia menarik napas cepat, rasa frustrasi dan keputusasaan terlihat jelas di matanya. Ia melepaskan tangan Indra dan mulai meraba panel gembok dengan kasar. "Sial! Tentu saja terkunci! Mereka sudah merencanakannya!" Ia memukul gembok itu dengan kesal. "Ini semua jebakan! Aku harus bisa membukanya! Kita harus keluar dari sini!"
Indra melangkah maju, tangannya menyentuh lembut bahu Evelia. "Tenang, Evelia. Tarik napas. Kita akan mencari cara lain," ucapnya, berusaha menenangkan sang ketua kelas yang panik. Namun, Evelia tetap menggeleng keras. "Tidak, Indra! Kita tidak punya waktu! Dia—"
"Mencariku?" Sebuah suara melengking dan lembut, namun penuh ancaman, memotong ucapan Evelia.
Di ujung lorong, sosok Nina Yamada muncul dari balik bayangan, rambut merah panjangnya terurai seperti api. Wajahnya berseri-seri dalam kegilaan. "Betapa manisnya. Kalian pikir bisa kabur dari permainan kakakku?"
Evelia segera berbalik, berdiri di depan Indra, seolah perisai. Meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kemampuan bertarung, nalurinya untuk melindungi lebih kuat. "Menjauh dari dia, Nina!" bentak Evelia, suaranya bergetar tetapi penuh keberanian. "Dia tidak ada hubungannya dengan tradisi gila kalian!" Indra hanya terdiam, kebingungan melihat keberanian tak beralasan Evelia. Ia tidak mengerti kenapa wanita ini begitu protektif terhadapnya.
Nina hanya tertawa kecil, suara tawa itu terdengar mengerikan sekaligus memikat. "Oh, dia punya segalanya. Dia adalah Pangeran Mahkota. Hadiah utama. Dan kau... kau menghalangi jalanku." Sambil berjalan perlahan mendekat, aura gelap mengalir dari Nina, dan lusinan pedang darah proyektil mulai terbentuk dan mengambang di sekitarnya.
Akihisa yang melihat skill mematikan itu seketika merasa tidak berdaya. "Sialan! Kekuatan macam apa itu?!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat Miku. Miku bersembunyi di balik punggung Akihisa, matanya terpejam. Mereka menyadari, pertarungan ini berada di level yang sama sekali berbeda dengan kekacauan yang terjadi di dalam kelas.
Melihat pedang darah proyektil Nina Yamada yang mengambang mematikan dan gerbang yang terkunci, Evelia, Akihisa, dan Miku merasakan keputusasaan melanda. Evelia tetap berdiri di depan Indra, tetapi ia tahu pertahanan tubuhnya tidak akan berarti apa-apa. Tepat pada saat kepasrahan melanda, Indra menghela napas panjang—kali ini bukan karena malas, melainkan karena kesadaran.
"Aku mengerti sekarang," gumam Indra pelan, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Nina Yamada. Semua kepura-puraan cuek dan sikap tsunderenya hilang. Yang tersisa hanyalah tatapan seorang Royal yang siap bertempur. Seketika, aura Dingin yang intens memancar dari tubuhnya.
Dengan gerakan cepat, Indra mensummon dua pistol modern yang terbuat dari es murni, dilapisi kabut putih yang sangat dingin. Crack-crack! Suara tembakan terdengar nyaring. Peluru energi es melesat cepat dan tepat mengenai beberapa pedang darah proyektil Nina Yamada yang paling dekat. Dalam sekejap, pedang-pedang itu membeku dan hancur menjadi debu kristal merah di udara.
"Ini dia! Permainan yang kalian inginkan," ucap Indra dingin. Ia tidak menunggu. Indra maju menghadapi Nina Yamada dengan kecepatan luar biasa, kedua pistol esnya terus menembakkan proyektil. Nina, yang terkejut melihat serangan balik secepat itu, justru tertawa lepas. Tawanya terdengar merdu namun penuh kegilaan. "Pangeran! Kau sangat menarik!" serunya, sambil maju dan mengayunkan pedang darah di tangannya dengan tebasan gila.
Pertarungan sengit terjadi. Indra menggunakan kelincahan dan elemen Es yang sangat dingin untuk menjaga jarak dan membekukan serangan Nina, tetapi pedang darah Nina terlalu banyak dan brutal. Beberapa serangan es Indra berhasil membekukan lengan Nina sejenak, sementara tebasan cepat Nina berhasil menggores pipi Indra. Keduanya saling membalas, menciptakan benturan energi panas dan dingin yang mengguncang area gerbang belakang.
Akihisa, Miku, dan Evelia hanya bisa menonton dalam diam yang tegang. "Aku... aku tidak percaya dia punya kemampuan seperti itu," gumam Evelia, matanya terbelalak melihat Indra. Akihisa, di sampingnya, mengangguk linglung. "Dia bilang dia hanya malas. Ternyata dia menyimpan kartu AS yang sangat besar. Apa yang sebenarnya terjadi di akademi ini?" tanya Akihisa. Miku hanya bisa menggelengkan kepala, terkejut melihat pangeran yang cuek itu berubah menjadi petarung yang mematikan.
Pertarungan sengit antara Indra dan Nina Yamada terus memanas di depan gerbang yang terkunci. Indra, meskipun lincah, mulai terdesak oleh pedang darah yang jumlahnya tak terbatas. Saat Nina melompat tinggi, siap melancarkan tebasan darah yang mematikan, Indra menyadari bahwa pistol esnya saja tidak cukup. Dalam sepersekian detik, ia menjentikkan jarinya.
Sebuah bayangan raksasa tiba-tiba muncul di atas Nina. Itu adalah purwarupa senjata railgun besar berwarna putih metalik, melayang turun dengan cepat. Nina, dengan instingnya yang tajam, berhasil menghindar tepat sebelum senjata itu menghantam tempat ia berdiri. Indra menggunakan telepati dasar untuk mengendalikan railgun raksasa itu, mengangkatnya dengan ringan seolah hanya pena.
Ia membidik Nina yang mendarat dengan elegan. "Aku sebenarnya tidak ingin menggunakan senjata prototipe ini di hari pertama. Senjata ini adalah rahasia negara," ucap Indra dingin. "Tapi kau memaksaku, psikopat."
Nina hanya tertawa keras, kegembiraan terpancar di wajah gilanya. "Menarik! Semakin besar senjatamu, semakin besar kesenangan yang akan kurasakan!" Sambil berteriak, Nina meng-enhance Katana darahnya. Bilah pedang itu memanjang hingga dua kali lipat, memancarkan uap merah yang panas. Dia siap menebas.
Serangan pamungkas diluncurkan. Nina mengayunkan Katananya, melepaskan tebasan darah yang panas dan masif. Bersamaan dengan itu, Indra menekan pelatuk railgun. Sebuah misil Es Abadi besar ditembakkan dengan kecepatan suara, bertemu langsung dengan tebasan darah itu di udara.
Dampaknya dasyat. Gelombang kejut meledak, menghancurkan sisa-sisa gerbang dan membuat dinding di sekitarnya retak parah. Asap tebal bercampur uap panas dan dingin menyelimuti area itu. Ketika asap mulai mereda, pemandangan menyedihkan terlihat. Nina Yamada sudah terbaring tak sadarkan diri di tengah puing-puing, sementara di sisi lain, Indra terbaring dengan luka bakar ringan, railgun es-nya pecah berkeping-keping.
Tanpa peduli pada asap atau bahaya, Evelia bergegas menuju Indra. "Indra! Kau baik-baik saja?!" Ia berlutut di samping pangeran itu, wajahnya panik. Akihisa dan Miku segera menyusul, memeriksa keadaan mereka. Tiba-tiba, suara tepuk tangan yang lambat terdengar.
Araya Yamada, sang Ketua OSIS, berjalan perlahan ke area ledakan, melewati adiknya yang terbaring. Wajahnya tetap datar dan terkendali. "Selamat, Royal Indra Aragoto, kau berhasil bertahan sejauh ini," ucapnya dengan nada tenang. "Aku harus akui, purwarupa itu cukup mengesankan."
"Adikku memang sedikit... yandere," lanjut Araya, melirik Nina tanpa emosi. "Jika kalian membencinya, silakan saja. Aku tidak peduli. Dia hanyalah salah satu pion dalam tradisi ini." Evelia yang fokus pada Indra, mengabaikan Araya. Sementara Akihisa dan Miku menyimak perkataan Araya dengan waspada, sebelum akhirnya kembali fokus pada keadaan Indra yang terengah-engah.
Araya Yamada menatap purwarupa railgun es milik Indra yang kini perlahan menghilang menjadi uap dingin. Senyum tipis, penuh pemahaman, terukir di bibirnya. Ia tahu, senjata itu menggunakan energi Kristal Kehidupan, tetapi dipicu oleh teknologi modern; perpaduan yang mematikan.
Tanpa berkata-kata, Araya menjentikkan jarinya. Cahaya hijau lembut memancar dari tubuhnya, menyelimuti Indra yang terbaring. Dalam sekejap, luka gores dan rasa sakit di tubuh Indra menghilang. Indra bangkit, terkejut dengan kecepatan pemulihan itu. Araya kemudian mengulangi prosesnya pada Nina. Ia membuat suatu pola rumit pada telapak tangannya, dan dengan tarikan energi, Nina Yamada yang tak sadarkan diri pun lenyap dari pandangan, entah dipindahkan ke mana.
Indra menatap tajam ke arah Araya. "Hei, oe," panggilnya dingin. "Aku tidak tahu apa ambisi gilamu, tapi aku bersumpah, aku akan meruntuhkan tradisi gila ini suatu hari nanti. Aku akan mengembalikan akademi ini ke tujuan awalnya."
Araya hanya tertawa, tawa yang meremehkan. "Aku akan menunggu hari itu tiba, Pangeran Mahkota," balasnya. Ia memiringkan kepala, matanya berkilat penuh tantangan. "Saat ini, kau baru saja melewati babak pembukaanku. Ada banyak hal yang jauh lebih menarik di depan." Araya berbalik, siluetnya berbaur dengan bayangan yang dihasilkan oleh ledakan tadi. "Semoga senang bersekolah di akademi ini," pesannya, sebelum akhirnya menghilang ke dalam kegelapan lorong, meninggalkan keheningan total.
Begitu Araya pergi, suasana tegang sedikit mengendur. Evelia segera melingkarkan lengannya di bahu Indra, membopong pangeran itu meskipun Indra sudah pulih sepenuhnya. "Kita harus keluar dari sini sekarang," desaknya, suaranya masih dipenuhi kekhawatiran. Akihisa dan Miku mengangguk setuju dan berlari di sisi mereka, menjauh dari gerbang yang hancur.
Saat mereka berhasil keluar dari gerbang belakang akademi, di jalanan pinggiran Crown City, sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu. Itu adalah mobil pengawal Indra yang akhirnya berhasil menemukan lokasi mereka. Tanpa buang waktu, mereka semua masuk. "Bawa kami ke rumah sakit," perintah Indra pada pengawalnya, menyadari bahwa meskipun luka fisik mereka sembuh, mereka memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Perjalanan pulang itu terasa panjang, dan mereka semua tahu: petualangan gila di Academy Animers baru saja dimulai.