NovelToon NovelToon
Perjalanan Menuju Surga Abadi

Perjalanan Menuju Surga Abadi

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Morning Sunn

Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 32: Duel Tiga Arah dan Niat Pedang Phoenix

Langit di atas Dataran Beku tidak memiliki warna. Ia hanyalah ruang kosong yang menelan segala gema. Kapal-kapal spiritual yang menembusnya bagai kilatan mimpi di tengah kehampaan, meninggalkan guratan tipis di udara yang segera menutup kembali seperti luka beku.

Yu Chen berdiri di tepi jurang es bersama Ning Rou. Angin di tempat itu bukan udara, melainkan arus spiritual yang mengandung serpihan waktu beku. Satu hembusan saja dapat memotong bayangan jiwa yang rapuh.

“Energi Chaos di sini menumpuk terlalu lama,” gumamnya. “Setiap langkah terasa seperti melangkah di antara dua detik yang tidak bersentuhan.”

Di kejauhan, dua cahaya muncul—satu hijau kehitaman, satu biru-ungu. Kapal Paviliun Langit Gelap dan Sekte Naga Hijau memasuki zona itu dengan formasi pelindung penuh. Mu Feng berdiri di haluan, jubahnya berkibar tanpa angin, Cermin Langit Waktu tergenggam di tangannya.

“Tempat ini mengunci ruang, tetapi tidak waktu,” ujarnya kepada Lin Xiao di sampingnya. “Dengan ini, kita akan melihat di mana bayangan Yu Chen tertinggal.”

Cermin itu berkilau. Arus waktu yang berlapis terurai di udara, dan di permukaannya muncul siluet Yu Chen yang sedang berbicara dengan Ning Rou. Mu Feng tersenyum dingin.

“Dia tidak lagi bersembunyi. Keheningan ini akan menjadi kuburnya.”

Namun sebelum mereka sempat bergerak, hawa lain menerobos kabut es. Kapal berwarna merah-keemasan muncul dari pusaran, memancarkan aura seperti sayap burung raksasa yang terbakar cahaya matahari. Dari atas kapal itu turun seorang wanita bersenjata pedang panjang berbilah merah lembayung.

Bai Luhan.

Rambutnya terurai seperti api yang menolak padam, langkahnya menapaki udara tanpa jejak Qi. Setiap hela nafasnya menyalakan bunga-bunga api kecil di udara beku, menandakan penguasaannya atas Hukum Api dan Kecepatan.

Mu Feng mengerutkan kening. “Murid inti Sekte Phoenix... Mengapa dia ikut campur?”

“Dia tidak memihak siapa pun,” jawab Lin Xiao getir. “Dia hanya mengejar satu orang: Yu Chen.”

[Bagian II – Pertemuan di Dataran Beku]

Ning Rou merasakan tekanan dari tiga arah sekaligus. Formasi pelindung kapal bergetar, kristal es di dinding retak satu per satu. Ia menatap Yu Chen, matanya menyimpan ketakutan yang dalam namun tak bersuara.

Yu Chen menatap balik, lalu menutup matanya. “Mulailah menyiapkan formasi mundur. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari kapal.”

Dia melangkah maju, meninggalkan jejak tipis cahaya keemasan di udara—pantulan Inti Jiwa Emasnya. Saat tubuhnya turun ke lembah, tiga kekuatan tiba bersamaan.

Mu Feng menurunkan Cermin Langit Waktu. Lin Xiao membentangkan Formasi Penyegel Qi. Dan dari langit, pedang merah Bai Luhan menukik seperti garis api ilahi.

Benturan pertama memecah udara. Gelombang ruang bergulung seperti air laut di atas awan. Yu Chen menangkis serangan Bai Luhan dengan Nada Pedang Hening. Dua bilah tak bersuara beradu; yang terdengar hanyalah gema waktu yang terhenti sepersekian detik.

Bai Luhan berputar cepat, api dari pedangnya menari spiral. “Kau benar-benar menguasai Nada Hening Pedang Jiwa... Jadi benar kau pencuri warisan Sekte Phoenix!”

Yu Chen menggeleng, suaranya tenang di tengah kekacauan. “Aku menciptakan jalanku sendiri. Jika ada kesamaan, itu hanya gema dari langit yang sama.”

Mu Feng tertawa dari kejauhan. “Bertarunglah sepuasnya, keduanya akan mati di tanganku!”

Ia mengangkat Cermin Langit Waktu tinggi-tinggi. Cahaya ungu menyebar, menyalin bayangan setiap gerak menjadi versi masa lalu dan masa depan. Dalam sekejap, seratus bayangan Yu Chen muncul di medan, semua bergerak dengan jeda waktu berbeda. Bai Luhan kehilangan fokus sepersekian detik, dan pedangnya menembus salah satu bayangan palsu.

Yu Chen merasakan tekanan waktu menindih tubuhnya. Dunia seolah bergetar di antara dua denyut nadi. Dalam hening itu, suara He Feng menggema di pikirannya—serak dan dingin:

“Gunakan keheninganmu, bukan kekuatanmu. Musuhmu adalah waktu itu sendiri.”

Yu Chen menarik napas panjang. Bayangan Jiwa Puncaknya bergetar, lalu ia menutup seluruh auranya. Dunia di sekelilingnya membeku. Salju yang sedang jatuh berhenti di udara, tetesan darah di lengannya berhenti mengalir. Dalam ruang sunyi itu, hanya satu suara yang tersisa—detak jantungnya sendiri.

Ia menurunkan pedang, membiarkan setiap getarannya meresap ke ruang hampa di sekitar. Hukum Waktu di sekelilingnya melengkung, menciptakan gelembung keheningan.

Mu Feng berteriak marah. “Dia memutar balik arus waktu lokal! Hancurkan segelnya!”

Lin Xiao melemparkan talisman penyegel Qi. Bai Luhan menebas udara dengan kilat merah. Tapi semua serangan lenyap begitu menyentuh batas gelembung itu, seperti dilempar ke dalam laut tanpa dasar.

Yu Chen membuka mata perlahan. Dunia di dalam gelembungnya tenang seperti cermin. Ia bisa melihat setiap garis waktu, setiap kemungkinan gerak. Ia menatap Bai Luhan, dan dalam sekejap mata mereka bertemu—dua kehendak pedang bertabrakan.

Bai Luhan menerobos masuk ke gelembung itu. Api dari pedangnya langsung padam begitu menyentuh batas ruang beku. Ia terkejut, namun tidak berhenti. Setiap ayunan pedangnya menciptakan serpihan waktu yang mengurai warna merah keemasan.

Yu Chen menangkis tanpa bunyi. Setiap tebasan Bai Luhan berhenti sepersekian jengkal sebelum tubuhnya, seolah udara itu sendiri menjadi perisai.

“Kecepatan tidak berarti apa-apa tanpa arah waktu,” ucap Yu Chen perlahan. “Pedangmu bergerak terlalu cepat untuk disadari oleh dunia.”

“Dan pedangmu... terlalu sunyi untuk diingat oleh langit.”

Mereka beradu lagi. Dalam keheningan total, cahaya merah dan emas menari seperti dua bintang di atas salju. Bai Luhan merasakan pikirannya terperangkap; waktu di sekelilingnya melambat, suaranya sendiri terdengar seperti gema dari mimpi jauh. Ia berteriak, melepaskan energi penuh.

Ledakan terjadi—api menyebar, gelembung pecah, keheningan patah.

Yu Chen terpental ke belakang, darah menetes dari bibirnya. Tapi di matanya tersimpan ketenangan baru, seolah ia baru saja melihat inti dari gerak waktu.

Bai Luhan terengah-engah, pedangnya retak di ujungnya. Ia menatap Yu Chen dalam diam, matanya memantulkan bayangan naga emas di balik tubuhnya.

“Itu... bukan warisan Phoenix,” bisiknya. “Itu sesuatu yang lain...”

Sementara itu, di kapal spiritual, formasi Ning Rou runtuh. Serangan Mu Feng yang memanipulasi waktu menghantam dinding pelindung. Waktu di sekeliling kapal bergetar; satu detik di luar menjadi sepuluh di dalam.

Ning Rou berlutut, darah mengalir dari bibirnya saat ia menahan formasi terakhir dengan tangan telanjang. “Yu Chen...” bisiknya, suara hampir tak terdengar.

Dalam gelembung waktu yang pecah, Yu Chen merasakan panggilan itu. Tanpa berpikir, ia mengaktifkan Hukum Ruang, memecah segel di sekelilingnya, lalu melesat ke arah kapal.

Cahaya keemasan membentuk sayap naga di belakangnya. Ia menembus badai salju dan waktu yang retak, menghantam energi Mu Feng tepat sebelum mencapai kapal.

Ledakan terang menelan seluruh lembah. Dalam keheningan yang kembali, hanya satu sosok berdiri di antara reruntuhan es—Yu Chen, memegang pedangnya yang bergetar halus, sementara bayangan naga emas mengelilinginya seperti kabut yang hidup.

Bai Luhan dan Mu Feng terpaku di kejauhan, masing-masing menyadari bahwa pertempuran ini baru saja berubah menjadi sesuatu yang melampaui kehendak mereka.

Es di lembah itu tidak mencair, tetapi terbelah seperti kaca. Di atasnya, tiga kehendak besar bertemu—Ruang, Waktu, dan Api.

Mu Feng berdiri di udara dengan Cermin Langit Waktu di tangan. Lin Xiao menebar Formasi Penyegel Qi yang berputar bagai jaring bintang. Dari sisi lain, Bai Luhan memulihkan napas, pedangnya memantulkan cahaya merah darah.

“Yu Chen,” Mu Feng berseru, suaranya bergema dalam gema waktu yang tak sejajar. “Kau membunuh murid-muridku, mencuri kehormatan sekte, dan kini bermain dengan hukum yang bahkan langit tak mengizinkan. Serahkan dirimu!”

Yu Chen mengangkat pedang yang dilapisi aura naga keemasan. “Aku tak bermain dengan hukum, aku belajar menanggungnya.”

Nada suaranya bukan teriakan, melainkan gema yang merambat ke ruang sekeliling; setiap kata membuat udara di sekitar bergetar dan pecah seperti kaca tipis.

Mu Feng tersenyum dingin. “Maka biarlah waktu menghancurkanmu.”

Ia menekan permukaan cermin. Serpihan waktu membentuk spiral raksasa, menarik Yu Chen ke dalam pusaran di mana masa lalu dan masa depan saling menelan.

Lin Xiao mengaktifkan formasi—jaring hijau menutup di atas pusaran, menahan semua kemungkinan keluar.

Bai Luhan tidak menunggu; ia menukik, pedangnya menoreh garis api yang berlapis-lapis, menembus setiap retakan ruang.

Yu Chen menutup mata. Ia mengingat ucapan He Feng, “Gunakan keheninganmu.”

Lalu ia membuka matanya—dan waktu di sekitarnya berhenti.

Semua gerak melambat. Api Bai Luhan beku di udara, gelombang ruang berhenti mengembang, bahkan gema suara Mu Feng terputus di tengah kalimat. Di tengah diam itu, Yu Chen melangkah maju satu kali, memotong jaring formasi Lin Xiao, menebas spiral waktu Mu Feng dari dalam.

Ketika waktu kembali mengalir, dunia meledak.

Sinar ungu, merah, dan emas bertubrukan. Puncak gunung hancur; langit terbuka memperlihatkan pusaran hitam di balik awan.

Mu Feng terhuyung, darah hitam mengalir dari sudut bibirnya. “Dia… menyentuh inti Hukum Waktu…”

Lin Xiao menatap tangan gemetar yang memegang talisman hancur. “Tak mungkin, ia belum mencapai Ranah Kehampaan…”

Yu Chen menatap mereka berdua tanpa kebencian. “Aku hanya menolak kehilangan yang tersisa.”

Ia melirik sekilas ke arah kapal Ning Rou—masih utuh, walau berlumur retakan es. Kesadaran bahwa satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya menyalakan sesuatu di dalamnya: kesadaran bahwa kekuatan tanpa kendali adalah kehampaan sejati.

Bai Luhan mengangkat pedangnya lagi, tapi kali ini tak menyerang. Ia menatap Yu Chen, pupilnya memantulkan naga keemasan yang melingkari tubuh lelaki itu.

“Pedangmu… bukan pedang manusia,” katanya perlahan. “Nada itu—suara langit yang pernah hilang.”

Yu Chen tidak menjawab. Ia menundukkan pedang, menutup aura keemasan, dan dunia sekitarnya kembali hening.

[Bagian VI – Pembubaran Pertempuran]

Mu Feng sadar bahwa bertahan lebih lama hanya akan menguras artefaknya. Ia mengangkat Cermin Langit Waktu, menyerap kembali sisa energi. “Lin Xiao, mundur. Kita tak akan menang di tempat ini.”

“Apa kau akan membiarkan dia pergi?” Lin Xiao menatap penuh amarah.

“Kau tak mengerti. Dia sudah berada di luar waktu—kita bahkan tak tahu detik apa yang sedang kita jalani.”

Mereka berdua mundur ke kapal Paviliun, menghilang di antara kabut kehampaan.

Bai Luhan masih berdiri. Salju turun di rambutnya, tapi api samar di matanya belum padam.

“Kau tak akan bisa menyembunyikan dirimu selamanya,” ujarnya. “Sekte Phoenix akan menagih kebenaran. Tapi…,” ia berhenti sejenak, “aku ingin melihat sampai di mana pedang itu akan membawamu.”

Ia membalikkan badan. Sayap api terlipat di punggungnya, meninggalkan garis merah yang memudar perlahan ke langit dingin.

Keheningan kembali. Yu Chen berjalan perlahan melewati hamparan es yang hancur, setiap langkahnya menimbulkan gema rendah yang memantul di udara kosong. Di kejauhan, gua es tempat He Feng menunggu memantulkan cahaya kehampaan.

Ketika ia masuk, He Feng sudah duduk bersila di tengah lingkaran formasi perak, matanya terbuka sedikit, menatap Yu Chen seolah sudah melihat seluruh pertarungan dari kejauhan.

“Menarik,” ucap sang guru pelan. “Kau tidak memutar waktu untuk menang, tapi untuk melindungi. Itulah bedanya antara penguasa waktu dan pengelana waktu.”

Yu Chen berlutut di hadapannya. “Aku masih gagal menjaga keheningan. Aku meledakkan ruang.”

He Feng tersenyum tipis. “Kau hanya membuatnya mendengar suaramu. Keheningan sejati tidak berarti tanpa suara, tapi suara yang tak perlu diteriakkan.”

Ia menatap cap naga hitam-emas di dada Yu Chen, yang masih berdenyut samar. “Cap itu akan menuntunmu lebih jauh daripada Hukum Ruang. Namun setiap cahaya memiliki bayangan; jangan biarkan bayanganmu menjadi tuanmu.”

Yu Chen menunduk. “Aku mengerti.”

Ia menutup matanya dan mulai bermeditasi di bawah pengawasan He Feng. Dalam diam, arus waktu di sekeliling gua menyesuaikan napas mereka berdua; satu lambat, satu cepat, lalu bersatu dalam ritme aneh yang tidak diukur jam mana pun.

Beberapa jam—atau mungkin beberapa hari—kemudian, Yu Chen membuka matanya. Dunia di luar gua tampak berbeda. Salju tidak lagi putih; ia memantulkan cahaya keemasan yang samar, seolah seluruh Dataran Beku kini bernafas mengikuti alur waktunya.

Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya bergeser—bukan kekuatan baru, melainkan pemahaman. Bahwa waktu tidak dapat dikendalikan, hanya dapat didengarkan.

Ia memandang ke arah Ning Rou yang tengah memeriksa kapal di kejauhan. Perempuan itu masih bekerja tanpa mengeluh, menjaga kehangatan di tengah ruang beku. Bai Luhan mungkin sudah pergi, namun nyala tekadnya tertinggal di udara, mengingatkan bahwa perjalanan ini belum selesai.

Dan di balik kabut jauh, ia tahu Mu Feng belum menyerah.

Suara He Feng terdengar lembut, hampir tenggelam oleh deru angin:

“Setiap langkah di Kehampaan adalah gema dari waktu yang lain. Jika kau ingin berjalan lebih jauh, kau harus belajar bukan bagaimana menghentikan waktu, tapi bagaimana berjalan bersamanya.”

Yu Chen menatap langit kosong, di mana retakan-retakan ruang perlahan menutup, menyisakan satu garis cahaya lurus seperti bilah pedang.

Dalam hati, ia berjanji: Suatu hari, pedangku akan menebas bukan musuh, melainkan takdir itu sendiri.

Ia menundukkan kepala, membiarkan dingin meresap sampai tulang.

Di kejauhan, gema naga terdengar sekali lagi—bukan raungan perang, melainkan napas panjang yang memudar menjadi hening sempurna.

1
sitanggang
diawal namanya siapa berubah jd siapa 🤣🤣
sitanggang
buruknya terlalu banyak tingkatan dan namanya gak jelas
Nanik S
Jadikanlah cerita ini lebih hidup
Nanik S
NEXT
Nanik S
Darah boleh sama tapi perjalanan hidup dan waktu pasti berbeda
Nanik S
Cuuuuuuus#t
Nanik S
Akhirnya Mu Feng dan Bsi Luang pergi juga
Nanik S
Laaaanjutkan Tor
Nanik S
Ceritanya bagus tapi kurang hidup
Nanik S
Lanjutkan terus
Nanik S
Dunia Beku... berarti hamparan Es
Nanik S
Siapakah yang menatap Yu Chen diatas langit
Nanik S
Siap mengambil Kunci ke Tiga
Nanik S
Bai Luang.... ternyata msh mengejar Yu Chen
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
kalau bayangan Yu Chen bisa bertarung.. hebat sekali seperti Klon
Twilight: terimakasih ya kak sudah membaca novel saya😄🙏
total 1 replies
Nanik S
Mu Feng apakah masih mengejar lagi
Nanik S
Sungguh bagus ceritanya
adi ambara
dalam tak sedar..dirinya sombong yg tak kelihatan walau dirinya sendiri...org yg sombong tak bisa berfikiran jernih..
Nanik S
Naik Tingkat... Yu Chen.. musuhmu selalu mengejsrmu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!