Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#31
[MALAM HARI – HOTEL]
Suasana kota Medan terlihat ramai dari balik jendela besar kamar hotel. Lampu-lampu jalan menyala terang, kendaraan masih hilir mudik di bawah sana. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi kamar masih terasa sunyi.
Alden yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya bangkit dari ranjang. Ia melirik sekilas ke arah Naysila yang sedang duduk di sofa, sibuk memainkan ujung kerudungnya sambil sesekali menonton televisi.
"Aku mau keluar sebentar," ucap Alden sambil mengambil dompet dan ponselnya.
Naysila mendongak cepat. "K-keluar?" tanyanya heran.
Alden tersenyum tipis. "Iya. Mau cari angin di luar, sekalian cari makan malam. Aku malas kalau harus makan di restoran hotel."
Ia sempat ragu sejenak, lalu menambahkan, "Mau ikut?"
Pertanyaan itu membuat hati Naysila berdebar. Awalnya ia ingin menolak, mulutnya hampir saja mengucapkan, "Tidak usah, Mas." Namun rasa takut ditinggal sendirian di kamar hotel besar ini membuatnya urung.
"Memangnya… kita mau kemana, Mas?" tanyanya pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Alden mengangkat bahu santai. "Gak jauh. Cuma di sekitar hotel saja. Cari makan yang enak, mungkin di warung atau kafe kecil. Aku pengen coba makanan khas Medan lagi."
Naysila menggigit bibir bawahnya. Ia sempat menunduk, berpikir. Tapi akhirnya, dengan nada malu-malu ia menjawab, "Kalau begitu… aku ikut, Mas."
Alden menatapnya sekilas, ada senyum samar yang terbit di wajahnya. "Baik, ayo kita turun."
Naysila mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan merapikan gamis hingga jilbabnya, lalu mengikuti Alden dari belakang.
Mereka keluar dari kamar dan berjalan beriringan di lorong hotel. Alden yang berjalan di depan Naysila, sesekali menoleh ke belakang memastikan Naysila benar-benar mengikutinya (langkah kaki Naysila tidak terdengar karena berjalan pelan).
Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai satu. Di dalam lift itu mereka sama-sama diam seperti biasa. Hingga akhirnya Naysila bertanya, "Apa Ibu dan Ayah gak ikut?"
Alden menggeleng. "Mereka sudah tidur jam segini. Apalagi Ayah, beliau sangat kelelahan dan jelas sehabis shalat isya pasti langsung tidur."
"Oh." Nasyila menanggapi sambil mengangguk.
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di lantai satu dan keluar dari lift. Mereka lalu keluar dari hotel. Udara malam Medan terasa hangat, dengan semilir angin yang membawa aroma makanan dari pedagang sekitar. Jalanan di depan hotel masih ramai, lampu neon dari warung makan dan kafe kecil berkelip di sepanjang trotoar.
Alden melirik Naysila yang berjalan di sampingnya. "Kamu gak apa-apa jalan kaki sedikit? Restoran atau warungnya gak jauh dari sini."
Naysila mengangguk cepat. "Gak apa-apa, Mas."
Alden lalu menurunkan langkahnya, menyesuaikan dengan langkah kecil istrinya. Diam-diam, ia mencondongkan tubuh sedikit, memastikan jarak mereka dekat. Tangan kanannya sempat bergerak, seolah ingin menggenggam tangan Naysila, tapi ia urungkan. Takut itu membuat Naysila tak nyaman.
Sementara itu, Naysila berusaha menutupi degup jantungnya yang makin cepat. Rasanya, malam ini akan berbeda dari malam-malam sebelumnya.
_
Udara malam terasa lembap tapi ramai oleh hiruk pikuk kota. Suara klakson, motor yang lalu-lalang, dan aroma makanan yang semerbak memenuhi sepanjang jalan. Di sudut jalan, tampak sebuah warung sederhana dengan lampu bohlam kuning yang menggantung. Meja-meja kayu berjajar, dipenuhi orang-orang yang sedang makan dengan lahap.
Alden berhenti sejenak, lalu menoleh pada istrinya. "Bagaimana kalau makan di sini? Aku sering makan di sini kalau sedang berkunjung. Lontong Medan sama satenya enak, kamu harus coba."
Naysila menatap warung itu ragu. Sederhana, jauh berbeda dari restoran hotel. Tapi melihat wajah Alden yang tampak antusias, ia hanya mengangguk pelan. "Boleh, Mas."
Alden tersenyum tipis, lalu berjalan lebih dulu sambil memastikan Naysila selalu di sampingnya. Mereka memasuki warung tersebut dan duduk di salah satu meja kosong, tak jauh dari gerobak sate yang berasap menggoda.
"Mas mau pesan apa?" tanya Naysila pelan.
"Aku sih mau lontong sama sate. Kamu?"
Naysila berpikir sebentar, lalu menjawab, "Sama saja, Mas. Aku juga bingung mau pesan apa, soalnya gak tahu."
Alden segera memanggil penjual dan memesan makanan untuk mereka berdua. Sementara menunggu, ia memperhatikan suasana sekitar. Orang-orang tampak santai, mengobrol, bahkan ada yang tertawa keras. Suasana jauh dari kesan kaku.
Naysila meremas ujung lengan gamisnya, merasa canggung. Ia belum terbiasa makan berdua dengan Alden di luar seperti ini. Tapi ketika pandangan mereka tak sengaja bertemu, Alden berkata tenang, "Kamu kelihatan tegang. Padahal ini cuma makan malam biasa, Nay."
Wajah Naysila langsung memerah. "Aku nggak tegang, Mas… cuma… belum terbiasa."
"Apa ini berlebihan buat kamu?"
Naysila menggeleng. "Nggak kok. Aku memang gak biasa saja, Mas."
Alden menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil tanpa Naysila melihatnya. "Kalau kamu merasa ini berlebihan juga gak apa-apa. Tapi yang pasti, aku senang kita bisa jalan berdua seperti sekarang."
Hati Naysila berdebar keras. Ia menunduk makin dalam, pura-pura sibuk dengan ponselnya yang sebenarnya tak ada notifikasi apapun.
Tak lama, pesanan mereka datang. Lontong Medan dengan kuah gulai kental beraroma rempah, ditambah sate yang baru saja dibakar, masih mengepulkan asap.
Alden mengambil sendoknya. "Kamu coba dulu. Enak atau nggak, kamu yang nilai sendiri."
Dengan ragu, Naysila menyendok sedikit lontong lalu mencicipinya. Seketika matanya membulat. "Hmm… enak sekali, Mas."
Alden tersenyum puas. "Aku kan bilang. Medan memang jagonya kalau soal makanan."
"Iya, aku baru tahu."
Mereka pun makan perlahan, ditemani suara bising kota. Sesekali Alden mendorong piring sate ke arah Naysila. "Coba yang ini. Dagingnya empuk."
Naysila menuruti, dan sekali lagi ia terkejut dengan rasanya yang lezat. Tanpa sadar, ia mulai makan lebih lahap dari sebelumnya.
Alden memperhatikannya diam-diam, merasa senang. Dalam hati ia berbisik, "Ternyata dia bisa juga senyaman ini bersamaku. Apakah seharusnya memang begini sejak awal?"
Naysila terus makan tanpa sadar suaminya terus memperhatikan. Ia sangat menikmati makanannya yang lezat. Makanan asing yang baru di nikmatinya pertama kali.
Alden juga mulai memakan miliknya, tapi matanya sesekali tetap curi pandang terhadap Naysila.
Selesai makan, mereka masih duduk sebentar. Angin malam berhembus lembut, membawa suasana tenang di antara mereka.
"Kamu kenyang?" tanya Alden sambil menatap istrinya.
Naysila mengangguk. "Iya, Mas. Kenyang banget. Terima kasih sudah ajak makan di sini."
Alden mengangkat alis, senyum tipis terukir. "Kalau kamu senang, aku juga tenang."
Untuk pertama kalinya malam itu, Naysila menatap Alden sedikit lebih lama dari biasanya. Bahkan senyuman yang dulu tak pernah ia lihat untuknya, kini terlihat dengan jelas di depan matanya. Jantungnya kembali berdebar, tapi kali ini ada hangat yang ikut menyelip.
_______________